Meredam
Ketidakpastian
Anton Hendranata ;
Chief Economist PT Bank Danamon
Indonesia, Tbk
|
KOMPAS, 16 November
2016
Dalam 10 tahun terakhir, dunia diwarnai
berbagai kejutan dan cenderung melawan arus logika yang dianggap rasional.
Kenapa ini bisa terjadi?
Berbagai prediksi cenderung meleset, walau itu
dilakukan oleh lembaga riset yang kredibel dan mapan. Metode statistik dan
ekonometrik yang sudah teruji bertahun-tahun, akurasinya seakan- akan sudah
usang dan terjebak dalam kubangan kesalahan. Tak heran berbagai prediksi
perekonomian terpaksa harus direvisi lebih sering, menunjukkan betapa
kompleks dan dinamisnya ekonomi dunia bergerak.
Tahun ini, paling tidak ada empat kejadian
yang menghebohkan dunia. Pertama, terpilihnya Duterte sebagai Presiden
Filipina yang, maaf, eksentrik dan kontroversial. Selanjutnya Inggris keluar
dari Uni Eropa. Indonesia, September spektakuler, periode I amnesti pajak
tersukses di dunia dengan uang tebusan 0,8 persen terhadap PDB. Dan, yang
terakhir dan spektakuler: Donald Trump terpilih sebagai presiden ke-45 AS.
Menurut penelitian The Economist Intelligence (EIU), kemenangan Trump
merupakan salah satu dari 10 risiko tertinggi yang dihadapi dunia.
Bukan suatu kebetulan
Krisis ekonomi dan moneter global 2008 meluluhlantakkan
tatanan perekonomian global. Negara-negara maju yang sudah mapan satu per
satu berjatuhan: dimulai dari AS, diikuti Jepang, Uni Eropa, dan Rusia.
Tiongkok, yang biasanya pertumbuhan ekonominya pada level dua digit,
terperangkap dengan pertumbuhan yang terus melambat.
Melihat deretan krisis ekonomi yang
bertubi-tubi tersebut, ada baiknya kita sadar dan jangan mengeraskan hati
bahwa serangkaian kejadian yang tidak masuk nalar adalah bukan kejadian yang
kebetulan. Mungkin kita akan kembali dihadapkan kejutan dan keanehan
berikutnya.
Paradigma dan fenomena dunia mulai bergeser
menuju keseimbangan baru yang sulit terbayangkan oleh kita saat ini.
Perekonomian dunia sedang bergerak menuju keseimbangan lain akibat suku bunga
rendah dan negatif, disertai gencarnya mencetak uang melalui kebijakan
quantitative easing (QE) di negara maju. Tak ada yang menduga dan terpaksa
melanggar kaidah teori ekonomi, di mana suku bunga deposito negatif sudah
terjadi di Jepang, Uni Eropa, dan Swiss. Bukan tidak mungkin, suatu saat suku
bunga kredit yang negatif, artinya orang yang meminjam dapat insentif, di
mana pengembalian utangnya akan berkurang dari nominal pinjaman awalnya.
Sudah delapan tahun kita beranjak dari krisis
ekonomi global 2008, sayangnya pemulihan perekonomian dunia, terutama negara
maju, jauh dari yang kita harapkan. Bahkan ada kecenderungan mereka ikut
menekan perekonomian di belahan dunia lain di emerging markets.
Negara maju tampaknya akan sulit meraih
kembali masa kejayaannya karena terjebak dalam hidup yang telanjur boros.
Produksi negara maju menuju titik jenuh serta tidak mampu membiayai
pengeluaran yang sudah telanjur tinggi.
Tenaga kerja sebagai salah satu komponen
krusial dari input produksi makin sulit, mahal, dan langka. Penduduk usia
produktif jauh lebih rendah daripada penduduk usia nonproduktif.
Utang yang seharusnya digunakan untuk
membiayai kegiatan produktif tidak berjalan seperti yang diharapkan alias
”gali lubang tutup lubang”.
Menarik kita simak bersama pembengkakan utang
negara maju. Dalam 10 tahun terakhir, rasio utang terhadap produk domestik
bruto (PDB) negara maju sudah di atas 100 persen. Ini artinya, hasil produksi
tidak mencukupi untuk membayar utang yang terus membengkak.
AS sebagai perekonomian terbesar di dunia,
rasio utangnya tercatat 104 persen pada 2015, meningkat pesat dibandingkan
tahun 2005, yaitu hanya 61 persen. Jepang sudah sejak lama rasio utangnya di
atas 100 persen, Tahun 2005 tercatat 158 persen, terus melonjak menjadi 230
persen pada 2015. Lain lagi dengan zona Eropa, walaupun rasio utangnya
terhadap PDB masih di bawah 100 persen, tren utangnya juga terus mengalami
kenaikan dari 69 persen (2005) menjadi 91 persen (2015).
Mesti superwaspada
Tren kenaikan utang yang mengkhawatirkan
tersebut makin membuat kita harus superwaspada jika melihat kemampuan
membayar utang negara-negara maju tersebut, yang diproksi dengan rumus Z =
(PDB + cadangan devisa) - utang luar negeri. Kemampuan bayar utang semakin
lemah dan menuju kebangkrutan.
Pada 2005, AS nilai Z-nya 3.664 miliar dollar
AS, turun signifikan 91 persen jadi 323 miliar dollar AS pada 2015. Jepang,
nilai Z sekitar 2.386 miliar dollar AS tahun 2015, berkurang jauh dari 3.886
miliar dollar AS pada 2005. Paling mengkhawatirkan zona Eropa. Jika disuruh
membayar utangnya saat ini, kawasan ini akan bangkrut karena utang luar
negerinya melebihi PDB plus cadangan devisanya, di mana nilai Z-nya tercatat
-1.888 miliar dollar AS pada 2015 dan ini sudah berlangsung sejak 2007 dengan
nilai Z = -1.050 miliar dollar AS.
Dengan kondisi ini, menarik disimak kondisi
perekonomian tahun depan. Saya kira perekonomian global masih lemah dan
fluktuasi pasar finansial diperkirakan tidak jauh berbeda dari tahun ini.
Berbagai prediksi menunjukkan tren hampir sama. AS diperkirakan semakin
membaik pada 2017, dengan pertumbuhan ekonomi 2 persen-2,2 persen dari 1,5
persen pada 2016. Sementara Uni Eropa masih mengalami pelambatan, hanya
tumbuh 1,3 persen dari 1,7 persen pada 2016. Sementara Jepang masih terlihat
stagnan dengan pertumbuhan ekonomi 0,8 persen pada 2017.
Pada 2017, kelihatannya hanya AS yang jadi
motor penggerak perekonomian global. Tiongkok masih berkutat dengan
pelambatan ekonominya. Pertanyaan yang menarik adalah mampukah AS jadi
pemimpin pemulihan perekonomian global dengan presiden barunya? Menurut hemat
saya, rasanya agak berat hanya bertumpu pada AS, pundak AS tak sekuat 10
tahun lalu. Kekuatan ekonomi AS kian lemah, ini terlihat dari peranan PDB AS
terhadap dunia yang menurun, dari 28 persen pada 2005 jadi 24 persen pada
2015. Hal ini berkebalikan dengan Tiongkok yang pengaruhnya makin besar, jadi
15 persen pada 2015 dari 5 persen pada 2005. Makin lemahnya peranan AS
dibandingkan Tiongkok juga terlihat dari rasio PDB AS terhadap PDB Tiongkok,
yaitu 6 persen pada 2005, menurun menjadi 2 persen pada 2015.
Oleh karena itu, jika perekonomian global
ingin pulih lebih cepat, perekonomian Tiongkok harus menggeliat bersama-sama
dengan AS. Kebijakan moneter dan fiskal serta perdagangan tiap negara harus
sinkron satu dengan yang lainnya dan harus diikuti oleh negara lainnya.
Harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan menjadi syarat mutlak antarnegara. Ego
kebijakan dari suatu negara yang hanya berpihak pada perekonomian domestik,
rasa-rasanya akan makin membawa aib kehancuran perekonomian global.
Mari kita tunggu keseimbangan baru
perekonomian dunia, yang saling menguntungkan semua pihak ataukah dunia makin
terpuruk karena termakan egosentris? Sudah saatnya dominasi politik dikurangi
yang cenderung menghambat ruang gerak ekonomi dan mendistorsi pemulihan
ekonomi dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar