Busana
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Psikologi UI, Universitas Pancasila,
Universitas Persada Indonesia
YAI, dan STIK/PTIK
|
KORAN SINDO, 06 November
2016
Zaman
sekarang jilbab sudah menjadi busana yang makin populer di Indonesia. Istri
saya dan anak saya sekarang berjilbab, walaupun awalnya tidak. Cucu saya,
yang sekarang kelas 3 SMA, berjilbab di sekolah, tetapi lepas jilbab ketika
jalan-jalan di mal, apalagi kalau ikutan party di lingkungan teman-teman
sebayanya.
Bahkan
sekarang banyak saya lihat anak-anak perempuan yang masih di bawah umur sudah
dijilbabi oleh orang tuanya, bahkan termasuk yang balita, padahal di Arab
sendiri (yang konon adalah sumbernya busana jilbab ini) saya lihat sendiri,
anak-anak perempuan bebas saja ke sana ke mari tanpa jilbab. Saya pun sudah
melihat cadar masuk mal di Indonesia.
Disisi
lain, perkembangan busana muslim ini berlaku juga bagi pria, yang makin lama
makin banyak yang mengenakan celana ngatung, dengan sandal dan berjenggot (kasihanilah
cowok-cowok yang tidak bakat berjenggot). Sebagai pengamat sosial saya
melihat bahwa perkembangan model busana muslim yang sangat luar biasa ini
terjadi sejak 1979, yaitu ketika Ayatullah (gelar ini otomatis berarti:
Syiah) Khomeini, memenangkan revolusi di Iran, dan menjatuhkan kaisar yang
berkuasa pada waktu itu, Shah Reza Pahlavi.
Walaupun
sekarang Syiah dan Sunni bermusuhan dan saling membunuh, pada waktu itu
kemenangan Khomeini, dianggap sebagai kebangkitan dan kemenangan Islam atas
dominasi Barat. Maka sejak itu Islam pun mulai mencuat di segala bidang, dari
bidang politik (beberapa pejabat publik di negara-negara Barat, termasuk
Dubes Inggris untuk Indonesia adalah muslim) sampai terorisme, termasuk juga
di bidang busana ini.
Sebaliknya,
kalau saya mundurkan ingatkan saya ke zaman saya masih sekolah di SMP dan SMA
di tahun 1950-an, tidak ada seorang cewek pun yang berjilbab. Tetapi yang
berbusana you can see juga tidak ada. Busana standar remaja putri dan ibu-ibu
muda pada waktu itu adalah rok panjang sampai ke betis dan busana atasan yang
berlengan.
Penari
serimpi dan penari Bali, dan pengantin-pengantin Jawa, biasa memakai kemben
saja, karena itulah standar busana mereka. Di Makassar baju bodo, yang
transparan, yang merupakan baju tradisional, dikenakan di acara-acara resmi
atau setengah resmi. Semua itu sah-sah saja pada waktu itu, tidak ada yang
protes, apalagi mau mengubah model busana.
Tidak
seperti sekarang, di mana penari serimpi dan penari Bali (yang bukan orang
Bali, muslimah, tetapi tetap ingin menari Bali) harus berbaju lengan panjang
dulu, dan berjilbab, baru deh memakai busana kemben dan aksesori biasanya
kepala. Saya yang sejak kecil biasa melihat penari serimpi atau wayang orang,
jujur saja, merasa disonan melihat penari Pendet, penari Serimpi, bahkan
srikandi wayang orang kok berjilbab.
Tetapi
jangan salah. Kembali ke zaman saya SMP dan SMA, perempuan pakai celana
(maksud saya celana panjang, bukan celana yanglain loh ) dianggaptabu, tidak
sopan. Perempuanpakairok, lakilaki pakai celana, itulah busana yang baku.
Kalau sebaliknya, perempuan pakai celana, dan lakilaki pakai rok, dianggap
anomali (kelainan). Padahal, yang sekarang terjadi justru yang anomali itulah
yang jadi standar.
Sejak
tahun 1970-an celana mulai dikenakan wanita Indonesia dan hari ini hampir
semua wanita Indonesia mengenakan celana panjang untuk kegiaatan sehari-hari,
termasuk yang memakai jilbab pun memakai celana, agar mudah naik-turun
kendaraan umum atau membonceng ojek. Anak-anak sekolah yang seragamnya rok
panjang, sampai semata kaki, tetap memakai celana panjang di bawah roknya.
Bahkan
ibu saya yang selagi muda selalu berkain batik ke mana-mana, di tahun-tahun
akhir hayatnya malah pakai celana ke mana-mana. Dunia busana sudah bertukar
zaman, apa yang dulu baik, sekarang dianggap tidak baik, sedangkan yang dulu
tidak baik, sekarang malah disukai orang. Begitu juga dengan busana pria.
Di
Skotlandia (saya pernah sekolah di Edinburgh pada 1972- 1973), pakaian
tradisional lakilaki adalah tartan, yaitu sejenis rok, selutut, terbuat dari
bahan wol bercorak kotak-kotak (setiap corak menunjukkan klan atau kelas
tertentu), dan konon tidak memakai apa-apa di bawahnya (ini mesti dicek
kebenarannya, karena saya tidak pernah membuktikannya secara kasatmata), dan
busana ini dikenakan misalnya oleh resimen pengawal Ratu Inggris dari
Skotlandia, lengkap dengan bag-pipe (seruling-tas)-nya.
Juga
pria Arab menggunakan baju gamish, yaitu busana sejenis rok panjang semata
kaki, berlengan panjang dan biasanya berwarna putih yang masih dikenakan
sampai sekarang, termasuk oleh para bangsawan dan kaum elite di negara-negara
Arab. Maka sulitlah kalau mau diterapkan salah satu hadis yang melarang
laki-laki berbusana seperti wanita dan wanita berbusana seperti laki-laki.
Dizaman
unisex sekarang, laki-laki memakai anting, bukan hanya di telinga, tetapi
juga di hidung, di alis, di lidah, bahkan di alat vital, sama dengan
perempuan juga. Tetapi ini pun bukan model baru. Kalau kita lihat aksesori suku-suku
di Papua atau Indian (Amerika), bisa kita saksikan betapa ramainya
anting-anting dicucukkan di wajah mereka. Bahkan ada taring babi hutan yang
dicucukkan melintang di hidung ketua suku atau panglima perang suku-suku itu.
Makin tinggi kedudukan seorang pria, makin banyak aksesori di wajahnya.
Jadi, busana itu cerminan budaya. Di zaman
Boedi Oetomo, semua laki-laki yang mengenakan celana dianggap Belanda dan
kafir, karena pribumi yang muslim hanya mengenakan kain dan blangkon (ikat
kepala tradisional Jawa). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar