Dua
Penunggang Kuda
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 03 November
2016
Dua penunggang kuda menjadi buah bibir.
Bertopi laken, mirip koboi pada era wild
west. Sama-sama banyak melempar senyum. Joko Widodo menunggang kuda putih
bernama Salero dan Prabowo Subianto menunggang kuda coklat bernama Principe.
Persis di pengujung Oktober, Senin (31/10), Presiden Jokowi bertemu Prabowo
di kediaman Ketua Umum Partai Gerindra itu di Padepokan Garuda Yaksa di Bukit
Hambalang, Kabupaten Bogor. Tak tersisa lagi rivalitas bebuyutan pada Pilpres
2014. Berbeda adalah dinamika demokrasi, tetapi kebersamaan adalah elan vital
bangsa ini.
"Komunikasi berkuda" menyedot
perhatian. Berkuda memang hobi Prabowo, mantan Danjen Kopassus pada era Orde
Baru. Kuda (Equus caballus) adalah
perlambang kekuatan dan keperkasaan. Secara kultural, kuda adalah simbol
kebebasan dan kecerdasan. Secara filosofis, kuda melambangkan pengendalian.
Penunggang kuda adalah pemegang kendali tali kekang. Para motivator kerap menyebut
spirit kuda adalah kesetiaan, kepekaan, multifungsi, kerja tim, tidak
meremehkan.
Dua penunggang kuda itu adalah pemilik dua
kekuatan politik sah saat ini. Kekuatan-kekuatan politik lainnya yang terserak
di mana-mana pada gilirannya bermuara pada dua kekuatan tersebut. Dalam tiga
tahun ini, dua tokoh itu sudah tiga kali bertemu. Pada 17 Oktober 2014,
sebelum dilantik menjadi presiden, Jokowi menemui Prabowo di Jalan
Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Giliran Prabowo menemui Jokowi
di Istana Bogor, Jawa Barat, 29 Januari 2015. Kebersamaan mereka memberi
teladan bagi praktik demokrasi.
Dari Hambalang, dua tokoh itu memberi pesan
jelas. "Saya berharap tokoh-tokoh agama ikut mendinginkan suasana,
memberikan kesejukan. Tokoh politik juga sama, mendinginkan suasana, memberi
kesejukan," kata Presiden Jokowi. Prabowo menimpali, "Kita negara
majemuk. Banyak suku, agama, ras. Kalau ada masalah, kita selesaikan dengan
sejuk dan damai." Pesan ini jelas terkait rencana aksi unjuk rasa pada
Jumat, 4 November untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama yang dituding menista
agama, terkait ucapannya di Kepulauan Seribu.
Basuki yang berpasangan dengan Djarot Saiful
Hidayat adalah petahana yang ikut Pilkada DKI Jakarta. Basuki-Djarot
ditantang pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno. Suhu Jakarta pun terasa makin panas. Bisa jadi
menyulut panggung nasional. Jokowi pun cepat bergerak. Selepas bertemu
Prabowo, esok harinya, Jokowi bertemu tokoh-tokoh MUI, NU, Muhammadiyah. Prabowo
juga bergerak dengan menemui tokoh politik seperti Presiden PKS, sekutu
Gerindra di panggung politik nasional.
Hari yang sama mantan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyo- no bertemu Menko Polhukam Wiranto. Malamnya, Ketua Umum Partai
Demokrat itu bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rumor pun bertebaran. Apakah
SBY mengklarifikasi karena diduga ada di balik rencana aksi besok? Jusuf
Kalla tak percaya keterlibatan SBY. Esok harinya, SBY mengatakan, unjuk rasa
terjadi karena protes soal Basuki tidak didengar. "Kalau (pendemo) sama
sekali tidak didengar, diabaikan, sampai Lebaran kuda masih ada unjuk rasa
itu," kata SBY.
Terminologi "kuda" lagi-lagi
mencuat. Di Bukit Hambalang; dua penunggang kuda, yang satu Pemegang
Kekuasaan Tertinggi TNI dan satu lagi mantan Panglima Kostrad, mengirim
pesan: jaga persatuan bangsa. Mereka yang tidak peka, tidak setia, mau menang
sendiri, suka meremehkan, malafungsi, bisa terdepak kaki-kaki kekar kuda.
Mengutip Alice Walker, novelis dan aktivis pemenang Pulitzer 1983, bukankah,
"Kuda membuat pemandangan terlihat begitu indah." ●
|
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus