Reformasi
Besar di ESDM
Junaidi Albab Setiawan ;
Advokat; Pengamat Hukum Migas
|
KOMPAS, 17 November
2016
Seusai pelantikan Ignasius
Jonan dan Arcandra Thahar sebagai Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral, dari akun Twitter Presiden Jokowi meluncur kicauan: ”Ignasius
Jonan dan Arcandra Tahar, keduanya profesional, kompeten, dan berani untuk
reformasi besar di ESDM”.
Kicauan itu menggambarkan
tingkat kepercayaan Presiden kepada kedua pejabat itu serta keyakinannya telah
memilih dan menempatkan orang tepat yang diyakini mampu mereformasi
kementerian yang strategis itu. Kementerian ini dalam kurun dua tahun
terakhir kini telah melewati sejumlah kontroversi dan penggantian hingga
empat kali menteri ESDM, mulai dari Sudirman Said, Arcandra Tahar, Luhut
Binsar, dan kini Ignasius Jonan.
Presiden juga tampak sangat
menginginkan segera dilakukan reformasi besar di lingkungan ESDM. Reformasi
seperti apakah itu dan mengapa slogan reformasi ini menjadi pilihan?
Jika dilihat dari situasi
sekarang, reformasi yang dikehendaki Presiden dalam bidang ESDM semestinya
suatu upaya keras mengembalikan konstitusionalitas bidang ESDM dengan cara
membenahi undang-undang dan menegakkan aturan dan membenahi sumber daya
manusia agar tidak menyimpang dari cita-cita berbangsa dan bernegara.
Benahi undang-undang
Saat ini pemerintah sering kali
terjebak dalam situasi dilematis antara idealita di satu sisi dengan realita
dan pragmatisme di sisi lain. Sebagai contoh dalam urusan migas—karena migas
adalah komoditas vital dan strategis di lingkup bidang tugas ESDM yang paling
bermasalah—maka UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 perlu mendapatkan prioritas agar
segera dibenahi. Terlebih lagi setelah UU itu dikoreksi oleh Mahkamah
Konstitusi (MK), kita tidak lagi memiliki UU migas yang lengkap dan mumpuni.
UU Migas yang berlaku saat ini sudah tidak layak pakai karena sudah tidak
sistematis dan utuh.
Selain itu UU Migas Tahun 2001
adalah contoh UU yang beraliran liberal—sekalipun dalam pertimbangannya
terdapat kalimat-kalimat penegasan, seperti ”dikuasai oleh negara”,
”sebesar-besar kemakmuran rakyat”, ”yang paling menguntungkan bagi
negara”—tetapi UU ini juga mengusung liberalisasi migas dengan menempatkan
migas sebagai komoditas bebas sebagaimana layaknya komoditas lain. Pengertian
komoditas adalah barang dagangan yang diperjualbelikan dan bekerja
berdasarkan pada prinsip ekonomi.
Selain itu, UU ini juga
menempatkan negara untuk tunduk kepada rezim hukum kontrak. Maka, yang
berlaku sesungguhnya adalah negara tidak lagi sepenuhnya berdaulat terhadap
migas, tetapi mengikuti arus hukum pasar yang bersumber dari asas kebebasan
berkontrak (pacta sunt servanda).
Tarik-menarik antara amanah konstitusi dan desakan pasar ini tampaknya akan
selalu menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis.
Pada waktu lain, di sektor
hilir, sebagai contoh baru-baru ini Presiden mencanangkan kebijakan ”satu
harga premium Rp 6.500” di Papua. Jika dilihat dari perspektif konstitusi dan
pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, kebijakan ini sah dan masuk
akal serta pemerintah bahkan demi keadilan dan pemerataan wajib menemukan
caranya. Namun, jika dilihat dari perspektif bisnis, kebijakan tersebut
menjadi tidak masuk akal karena tidak ekonomis dan pasti rugi.
Kebijakan itu memaksa PT Pertamina
(Persero) sebagai BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) merugi,
sedangkan menurut para penegak hukum, menyengaja membuat BUMN rugi adalah
perbuatan melawan hukum karena di mata mereka BUMN tidak boleh rugi. Artinya,
pada saat yang sama kebijakan ini juga memaksa Pertamina mundur ke belakang,
menengok kembali peran dan tanggung jawabnya sebagai BUMN yang tidak
semata-mata menumpuk keuntungan (profit
oriented), tetapi juga sebagai agen negara dalam mewujudkan pemerataan
kesejahteraan dalam satu bingkai NKRI sebagaimana tujuan BUMN sebelum masa
reformasi. Padahal, sejak Pertamina berubah mengikuti ketentuan UU PT dan UU
BUMN, peran sosial itu sudah dikubur menjadi sebatas tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social
responsibility).
Selain itu, migas dalam
perspektif UU Migas No 22/2001 adalah komoditas inelastis karena menguasai
hajat hidup orang banyak, seberapa pun harga yang berlaku terhadap komoditas
ini, masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relatif sama. Itu
artinya kebutuhan migas tidak berkurang, bahkan akan bertambah, seiring
meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, semua mata pemburu rente akan
mengarah ke sana karena bisnis migas menjanjikan keuntungan besar.
Mengingat posisi strategis
migas tersebut, maka keberadaannya juga akan berpengaruh kuat kepada
kehidupan sosial politik. Berangkat dari situ, jika migas hanya dilihat dari
kepentingan bisnis ala UU Migas tahun 2001, sangat mungkin migas akan
dikuasai dan dikendalikan segelintir pemilik modal atau mafia migas.
Akibatnya, ”hak menguasai negara” atas sumber daya alam vital dan strategis
yang bermakna mengatur, mengurus, dan mengawasi untuk dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi terdistorsi. Dari sini, ke depan
harus segera dirumuskan batasan dan panduan tentang penerapan ”hak menguasai
negara” yang menjadi amanah konstitusi tersebut dalam praktik bisnis sebagai
pegangan.
Membenahi SDM
Pimpinan KPK berencana
berangkat ke Amerika Serikat untuk bertemu Biro Investigasi Federal AS (FBI)
guna mendalami hasil audit internal MaxPower mengenai dugaan suap kepada
pejabat bidang energi Indonesia tahun 2012-2015 (Kompas, 8/11/16). Kasus ini
mirip dengan kasus ”Program Langit Biru”, yaitu pengadilan Inggris dan
Amerika Serikat menemukan adanya suap terhadap pejabat di Indonesia terkait
pelarangan bensin bertimbal. Sekalipun didukung data dari Serious Fraud
Office/SFO (Inggris) dan The Securities
and Exchange Commission (AS), serta putusan 26 Maret 2010 oleh Hakim Lord
Justice Thomas dari pengadilan di Inggris, kasus itu tetap saja mandek di
Indonesia (Kompas, 12/8/2010).
Berita semacam ini masih terus
saja muncul dan meneguhkan pesimisme kita bahwa pengelolaan migas dan minerba
sampai kapanpun akan selalu diwarnai kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk mengatasi persoalan itu, sejak Orde Baru sampai sekarang pemerintah
sering kali membuat tim penyelesaian independen, informal, dan berada di luar
sistem, seperti ”Komisi Empat”, yang beranggotakan Herman Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo, dan Anwar Tjokroaminoto, untuk menyelidiki penyelewengan
di Pertamina tahun 1970-an.
Selanjutnya dibentuk Dewan
Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP), 2 Februari 1970. Dan yang
terakhir masih hangat di ingatan kita pembentukan Tim Reformasi Tata Kelola
Migas yang diketuai Faisal Basri. Pembentukan tim-tim semacam ini sekalipun
telah menghasilkan beberapa rekomendasi, tetapi tetap saja buntu tidak
berujung memuaskan.
Dalam banyak kasus, negara
seperti tidak berdaya. Lihat, misalnya dalam kasus PT Trans-Pacific
Petrochemical Indotama (TPPI) di kepolisian yang telah menetapkan bekas
direktur TPPI, kepala BP Migas, dan sekretarisnya sebagai tersangka dan
selanjutnya mereka ditahan, tetapi kemudian ditangguhkan penahanannya.
Berdasarkan asas praduga tak
bersalah, mereka belum tentu bersalah, tetapi kasus ini belum menunjukkan
tanda-tanda penyelesaian di depan persidangan yang adil dan transparan. Ini
tentu tidak berimbang dengan berita kerugian negara hingga puluhan triliun
rupiah dan saat penggeledahan yang menyertakan jumlah pasukan besar dengan
senjata lengkap ke kantor SKK Migas.
Contoh lainnya adalah dalam
kasus ”papa minta saham” yang kini memasuki tahap mencari tafsir tentang
prosedur mempergunakan alat bukti rekaman hingga melibatkan MK. Kasus ini
juga tidak lagi bisa dipahami arahnya oleh masyarakat karena pemeriksaan pada
inti persoalan saja belum lagi dilakukan secara lengkap dan terang, tetapi
kini masyarakat malah tergiring oleh opini dan ”retorika hukum” untuk
menyimpulkan bahwa hukumnya yang salah, bukan orangnya.
Kasus Pertamina Energy Trading
Ltd (Petral) kini juga memasuki babak ketidakpastian setelah Kementerian ESDM
menyerahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil audit dari
auditor asing KordaMentha yang berhasil menemukan beberapa masalah, tetapi
anehnya temuan ini bertolak belakang dengan hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang justru tidak menemukan masalah (Kompas, 16/11/2015).
Dalam bidang minerba, negara
juga harus segera melakukan audit sejumlah perusahaan pertambangan minerba di
daerah agar tidak dikuasai kroni-kroni pejabat daerah, dengan cara memberikan
izin hanya kepada orang-orang yang dikehendaki. Selain itu, pemerintah juga
sedang mempertaruhkan kewibawaannya dalam penerapan ketentuan membangun
smelter yang tertuang dalam UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Ketentuan ini mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan
larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang
mentah mulai Januari 2014. Aturan itu tentu dibuat dengan maksud agar
kekayaan minerba bisa maksimal bagi kepentingan bangsa dan negara.
Namun, dengan alasan relaksasi
karena kesulitan keuangan negara, ketentuan UU ini mulai dilanggar dengan
memberikan izin ekspor. Rekomendasi perpanjangan persetujuan ekspor
konsentrat Freeport diperpanjang hingga 11 Januari 2017 setelah izin tersebut
habis pada 8 Agustus 2016. ESDM memberikan surat persetujuan ekspor (SPE) ke
Kementerian Perdagangan pada 10 Agustus 2016.
Maka, kesimpulannya, jika saja
reformasi besar yang dimaksud Presiden itu dimaknai memperbaiki semua lingkup
ESDM dengan cara menyempurnakan perundang-undangan dan konsistensi dalam
penerapannya, penyempurnaan kelembagaan dan mekanisme operasional, serta
membersihkan ESDM dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), maka
reformasi itu menjadi sejalan dengan tujuan dan hakikat reformasi yang
sesungguhnya dan itulah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar