Menunggang
Macan
Indra Tranggono ;
Pemerhati dan Praktisi
Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS, 05 November
2016
Mengelola
kekuasaan ibarat menunggang macan. Orang bisa jaya apabila mampu menguasai
sang macan, tetapibisa juga celaka apabila gagal mengatasinya.
Dalam
beberapa kultur, macan dijadikan lambang keperkasaan dan kewibawaan, layaknya
nilai- nilai yang melekat dalam kekuasaan. Macan juga sering dihubungkan
dengan nilai-nilai kesakralan. Masyarakat Jawa tradisional, misalnya,
menyebut raja hutan itu dengan kyaine (sosok yang dituakan, dihormati, dan
disegani). Maka, ketika kebetulan berpapasan dengan macan, orang Jawa memilih
berhenti, ”mempersilakan” macan lewat terlebih dulu sambil menyapanya dalam
hati dengan menyebut kyaine dengan gemetaran.
Begitu
otoritatifnya sang macan. Keselamatan orang lain ada dalam genggamannya. Ini
persis dengan watak kekuasaan yang serba determinatif dan otoritatif. Karena
itu, manusia dengan seluruh akal budinya berupaya mengatasi kekuasaan.
Dalam
budaya tradisional, biasanya penguasa yang berhasil menunggang macan adalah
mereka yang punya kemampuan berlapis-lapis (kognitif, afektif, dan
psikomotorik). Namun, hal yang tak bisa ditinggalkan adalah kualitas rohani,
seperti yang terproyeksi dalam integritas, komitmen, dedikasi seorang
penguasa.
Logikanya
sederhana. Kekuasaan merupakan realitas politik yang dibangun dari keadaban
dan nilai-nilai kepercayaan publik. Otomatis, kekuasaan wajib memberikan
nilai dan makna bagi publik serta membangun peradaban. ”Nilai” itu tecermin
pada gagasan dan perilaku ideal pelaku kekuasaan dalam menyejahterakan
publik. Adapun ”makna” tecermin pada wujud nyata kesejahteraan yang tentu
dapat dirasakan dan dinikmati publik.
Agar
sehat dan kuat, kekuasaan butuh ”makanan” atau asupan gizi berupa integritas,
komitmen, kapabilitas, dan dedikasi pelaku kekuasaan. Pelaku kekuasaan pun
mendapat nilai kemuliaan dari kekuasaan. Namun, ketika kekuasaan tak
mendapatkan ”makanan” atau ”asupan gizi”, ia pun kelaparan dan berubah
menjadi macan buas yang menerkam, bahkan memangsa, penunggangnya.
Banyak
penyelenggara negara dan pemerintah kini bernasib tragis. Mereka diterkam
sang macan. Ada mantan menteri dan senator yang selama menjabat bercitra
baik, jujur, tegas, dan berani, tetapiakhirnya ditahan KPK. Tuduhannya:
menyalahgunakan kekuasaan yang secara material merugikan negara. Kenyataan
buram tersebut apabila kita tulis bisa memenuhi halaman sejarah bangsa kita.
Lulus
jadi manusia
Mereka
yang akhirnya terpelanting secara tidak hormat dari punggung sang macan
(kekuasaan) sering disebut ora kuat kanggonan drajat lan pangkat (tidak kuat
mendapatkan derajat dan pangkat) karena durung bisa dadi menungsa (belum
lulus jadi manusia). Derajat merupakan tingkatan pencapaian eksistensial
manusia yang melahirkan martabat. Adapun pangkat adalah pencapaian kultural
manusia yang menjadi basis dan ukuran peran sosialnya. Semua itu bermuara
pada proses ”menjadi manusia”. Orang layak disebut lulus menjadi manusia jika
mampu mewujudkan sifat-sifat Tuhan (pengasih, penyayang, pengayom,
adil/obyektif, mengutamakan kebenaran, kebaikan, dan keindahan) dalam
perilakunya.
Untuk
mendapatkan derajat dan pangkat, orang tak hanya cukup jadi pintar (cerdas
secara kognitif) dan terampil, tetapi juga harus lantip dan waskita.
Lantipadalah kecerdasan yang terkait orientasi sosial dan kultural.
Waskitamerupakan kecerdasan yangberorientasi nilai spiritual.
Kepintaran
atau kecerdasan akal hanya menitikberatkan pada perhitungan rasional, yakni
seputar untung-rugi. Orangyang hanya memiliki kepintaran tak lebih dari
pemburu kesempatan, peluang (oportunis) demi kepemilikan kebendaan. Maka,
orang punharus lantip dan waskita sehingga mampu mengorientasikan diri pada
kebenaran, kebaikan kolektif (masyarakat), dan mampu memiliki horizon nilai
lebih luas terkait spiritualitas.
Kenyataannya,
lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan di negeri ini cenderung melahirkan
lulusan setingkat ”pintar”, belum mencapai level lantip, apalagi waskita.
Maka, ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk mengelola kekuasaan di ranah
publik, kalkulasi soal kepentingan dan keuntungan jauh lebih mengemuka
dibandingkan nilai dan makna yang semestinya diberikan masyarakat.
Begitu
pula institusi politik kita seperti partai politik yang gagal melahirkan
pribadi-pribadi berkelas negarawan, melainkan hanya politikus sarat
kepentingan pribadi. Mereka muncul menjadi penunggang macan yang gagal
memberi makan sang macan dengan integritas, komitmen, kapabilitas, dan
dedikasi. Wajar jika macan itu mengaum dan mengamuk serta menerkam
penunggangnya. Muncullah anekdot: masa depan aktivis kekuasaan adalah
penjara.
Dalam
beberapa level, kekuasaan cenderung melahirkan godaan bagi pelakunya untuk
menyimpang dari nilai, etika, norma, dan hukum. Karena itu, jika ada pemimpin
yang lulus dan lolos dari jebakan kekuasaan, ia bisa disebut pribadi
berkarakter atau sosok berkapasitas ksatria yang mampu menggenggam
nilai-nilai kemuliaan akal budi layaknya brahmana. Orang macam itu pasti
memiliki ideologi dan idealisme. Salah satunya modal budaya yang tecermin
dalam sikap ”adil sejak dalam pikiran” (istilah sastrawan Pramoedya Ananta
Toer). Bukan ”berniat nyolongsejak dalam pikiran”.
Akhirnya, keadilanlah yang jadi kunci
pembuka ruang dalam pengelolaan kekuasaan. Keadilan atau obyektivitas
berorientasi pada kebenaran, kepantasan, kewajaran, dan kemuliaan. Memang
sulit diwujudkan karena kekuasaan justru sering digunakan sebagai alat untuk
menenggelamkan keadilan demi memenuhi ambisi ”selalu merasa tidak cukup”.
Integritas, komitmen, kapabilitas, dan dedikasi lenyap. Penguasa pun secara
tidak terhormat terpelanting dari punggung macan, bahkan malah diterkamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar