Prospek
Keadilan Kasus Munir
Usman Hamid ;
Pendiri Public Virtue,
Change.org Indonesia;
Dosen Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera
|
KOMPAS, 05 November
2016
Mari
kita tinggalkan sejenak polemik hilangnya dokumen laporan Tim Pencari Fakta
Kasus Meninggalnya Munir Said Thalib. Bukan berarti keputusan Komisi
Informasi Pusat yang meminta pemerintah agar ”mengumumkan laporan TPF’
menjadi tidak penting.
Putusan
KIP penting karena menjadi alat perjuangan baru yang menerangi gelapnya
penyelesaian kasus Munir. Namun, terlepas nantinya dokumen TPF asli ditemukan
lalu diumumkan atau tidak, kasus ini tak boleh berhenti di situ. Hal ini
karena hingga kini tak satu pelaku pun dihukum setimpal, terutama atas peran
menginisiasi permufakatan jahat meracuni aktivis HAM ini.
Karena
itu, tulisan ini mengulas sejauh mana arah jalan pengusutan kekejian 12 tahun
silam itu akan menemukan peluang hukum sehingga bisa kembali dibuka. Peluang
ini perlu ditelusuri karena Presiden—baik saat membuka pertemuan dengan akademisi
hukum pada September lalu maupun saat memerintahkan Jaksa Agung mencari
dokumen TPF Munir baru-baru ini—telah memberi sinyal hijau bahwa kasus Munir
mau dituntaskan.
Dua
rujukan
Negara
jelas tidak boleh terus- menerus membiarkan pelaku kejahatan itu berkeliaran
bebas tanpa hukuman. Jadi, tindak lanjut atas temuan dan rekomendasi TPF
menjadi sangat krusial, termasuk kelanjutan atas kegagalan negara menghukum
auktor intelektualis pembunuhan Munir.
Ada
dua kajian terdahulu yang perlu dirujuk dan luput dari percakapan publik.
Pertama, eksaminasi publik atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
yang membebaskan Muchdi PR. Eksaminasi ini disusun pada 17 April 2009 oleh
empat ahli hukum, yaitu Adnan Pasliadja, Andre Ata Ujan, Marwan Mas, dan
Zulkarnain. Majelis ini menyimpulkan: ”Majelis hakim tidak memosisikan
dirinya sebagai hakim yang aktif, baik untuk mencari kebenaran materiil
dengan tidak memerintahkan yang berwenang untuk memproses lima orang saksi
yang mengingkari keterangannya dalam BAP dengan dakwaan sumpah palsu maupun
dalam menerapkan hukum pembuktian saksi berangkai (ketting bewijs).”
Memang,
di persidangan waktu itu, saksi-saksi mengubah materi kesaksian mereka
lantaran mengalami intimidasi fisik dan psikis. Lima saksi—rata-rata bawahan
Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN)—mencabut kesaksian mereka yang direkam
selama pemeriksaan penyidik, dan hakim tak memperlihatkan rekaman pemeriksaan
itu. Dua saksi penting gagal dihadirkan, dan hakim tidak menempuh upaya
maksimal dalam menghadirkan mereka. Beberapa saksi kunci telah meninggal
dengan dugaan kematian tak wajar atau menyimpan pertanyaan mengapa kepergian
mereka terkesan mendadak.
Lebih
jauh, menurut para eksaminator, ”sekiranya majelis hakim menerapkan hukum
pembuktian secara benar, tindak pidana penganjuran melakukan pembunuhan
berencana seperti apa yang didakwakan pada dakwaan alternatif pertama telah
terbukti secara sah dan menyakinkan” (Kasum, 2009).
Kedua,
eksaminasi publik atas putusan bebas Muchdi PR yang disusun pada 9 Februari
2010 oleh empat ahli hukum; Prof Soetandyo Wigjosoebroto, Mudzakir, Frans
Hendra Winarta, Fadjrul Falakh, dan M Rudi Rizki. Majelis eksaminasi
menyatakan: ’Mengingat diktum putusan MA ... tidak menerima dengan alasan
permohonan kasasi yang diajukan JPU tidak memberikan argumen dan bukti
dalil... maka ...masih dapat dilakukan upaya hukum... kasasi kembali....’
Sebab, ’ketentuan hukum tidak melarang ... kasasi untuk kedua kali asalkan
dengan argumen dan alasan yang berbeda dengan sebelumnya... demi menemukan
kebenaran material, tegaknya hukum dan keadilan...” (Komnas HAM, 2010).
Kedua
kajian ini merekomendasikan Jaksa Agung melakukan dua upaya hukum luar biasa.
Pertama, menempuh kasasi untuk yang kedua kali. Tak ada larangan atas jumlah
pengajuan kasasi. Karena itu, Jaksa Agung dapat mengajukan kasasi kembali
dengan ”melengkapi hal yang kurang sebagaimana dimuat dalam Putusan MA dengan
menunjuk JPU lain yang independen dan lebih profesional”. Selain itu, upaya
kedua, Jaksa Agung dapat juga ”melakukan upaya hukum yang lain yang relevan,
misalnya peninjauan kembali (PK), jika ditemukan bukti baru (novum),
dilakukan semata demi tegaknya hukum dan keadilan sebagai jaminan
terpenuhinya hak untuk memperoleh keadilan sebagaimana diatur Pasal 24 Ayat 1
dan Pasal 28H Ayat 2 UUD 1945” (Komnas HAM, 2010).
Menimbang
kredibilitas dan keahlian rata-rata para anggota majelis tersebut, dua
peluang hukum tersebut perlu dipertimbangkan dalam mencari keadilan. Tentu
perlu upaya luar biasa aparat penegak hukum—polisi, jaksa, hakim—dan
kelembagaan pemerintah lainnya, terutama BIN yang sekarang. Jika Kejaksaan
Agung dan Polri bersungguh- sungguh dalam mencari bukti atau keadaan baru,
bukan mustahil MA akan meninjau kembali putusan terdahulu dan menghukum
tersangka lama yang menggerakkan Pollycarpus dalam meracun Munir atau
mengorbankan orang-orang lain dalam maskapai ini yang ikut dihukum. Sebab,
jadi ironi jika mereka yang merupakan ”korban” operasi intelijen telah
dihukum, tetapi sang penggerak operasi intelijennya divonis bebas.
Jadi
barometer
Tantangannya
kembali pada kehendak politik. Eksekutif tertinggi negeri ini memang telah
menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus Munir. Namun, komitmen ini
perlu dijabarkan melalui instruksi dan arahan jelas agar dijalankan secara
efektif oleh lembaga hukum yang berwajib. Tanpa penjabaran konkret, aparat
pelaksana bisa ragu-ragu dalam bertindak, terutama apabila mengusut peranan
orang-orang yang dekat dengan kekuasaan.
Keadilan perjuangan istri Munir, Suciwati,
tak hanya dinanti oleh kedua anak tercintanya, atau keluarga besar Munir dan
korban-korban kejahatan HAM masa lalu yang juga berjuang, tetapi menjadi
barometer penegakan mutu demokrasi, hukum, dan HAM Indonesia. Klaim-klaim
kesuksesan reformasi politik—kepolisian, militer, dan intelijen— jadi
sempurna ketika sistem nasional kita berhasil mengatasi kendala-kendala
penyangkalan berbentuk apa pun (termasuk hilangnya laporan TPF) dalam
pembunuhan konspirasi yang merenggut nyawa pendekar kemanusiaan Indonesia:
Munir Said Thalib (1965-2004). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar