Senin, 06 April 2015

Feminisme Indonesia sebagai Panutan

Feminisme Indonesia sebagai Panutan

Jean Couteau  ;  Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 05 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Biasanya, organ tubuh wanita yang itu dibayangkan oleh kaum pria sebagai benjolan sepasang. Oleh wanita dan anak-anaknya, organ itu adalah media menyusui. Maka jangan heran bila yang dilakukan oleh seorang gadis Eslandia baru-baru ini cukup menggegerkan khalayak. Gadis tersebut, Adda Smáradóttir, 17 tahun, memasang foto dirinya di Twitter dengan payudara sebelah kiri disingkap. Pose itu rada banal: ia menyodorkan putingnya sebagaimana dilakukan jutaan wanita setiap hari ketika menyusui bayinya. Tetapi, ini justru tidak ada bayi! Jadi, Twitter-nya yang berjudul #Free TheNipple itu merupakan pernyataan ”konseptual” nan feminis.

Dia seolah berkata: ”Akulah yang mempunyai tubuh, bukan kau, wahai kaum pria” dan ”lihatlah, kefemininan tubuhku tidak harus seksual.” Menarik, kan? Tidak mengherankan juga bila Twitter-nya segera ”go viral” dan ditanggapi dengan aneka komentar menarik seperti yang ini: Sudah seratus tahun para pria bebas memperlihatkan putingnya dengan bertelanjang dada, mengapa kami, kaum wanita, tidak boleh. Suatu gugatan yang tak terbantahkan bila dilihat dari sudut kesetaraan ”jender”, kan?

Para aktivis feminis, di banyak negara, memang sering menyerang patriarki dengan membalikkan posisi tubuh perempuan, dari ”pasif” menjadi ”aktif”: Mereka betul-betul bosan melihat dirinya, sebagai wanita, senantiasa direduksi pada tubuhnya, apakah atas nama kebebasan—oleh media-media modern—ataupun atas nama kodrat atau agama, oleh pembela tradisi. Maka, membuang rasa malu, mereka dengan gamblang menjadikan tubuhnya sebagai senjata, alat penyadaran. Sasarannya adalah patriarki, di mana pun berada dan di dalam bentuk apa pun ada.

Misalnya, di negeri-negeri Barat, kelompok yang menamakan diri ”Femen” tak segan-segan ”menelanjangi” diri di depan umum di hadapan kamera untuk memprotes cara tubuh kaumnya ditelanjangi dan ”dijadikan obyek” oleh media demi memenuhi kebutuhan akan profit dari kapitalisme modern.

Adapun di negeri-negeri Arab, seperti Tunisia dan Mesir, mereka sebaliknya menelanjangi dirinya untuk memprotes kewajiban perempuan menutupi ”auratnya”, bahkan kadang sampai seluruh wajahnya, demi terjaganya monopoli pria atas keseluruhan jiwa-raga lawan jenisnya ini. Jadi, baik di Barat maupun di Timur Tengah tujuannya sama: menggugat kuasa kaum pria. Dengan menelanjangi diri, mereka merasa dirinya menelanjangi patriarki.

Apakah radikalisme itu tepat dan efisien? Dilihat dari sudut normatif, yaitu ideal emansipasi kaum perempuan, foto Twitter si Adda itu serta adegan para kaum Femen memang tidak ada celanya. Namun, lain halnya bila kita berganti perspektif dengan mempertimbangkan faktor sejarah dan multikulturalisme global: Ternyata semua pemrakarsa gugatan feminis di atas adalah wanita Barat atau didikan Barat. Kebaratan itu menjamin kegagalan gerakannya oleh karena lebih dipersepsikan sebagai serangan kultural Barat ketimbang sebagai sarana emansipasi dan pembebasan kaum perempuan. Akibatnya mudah diduga: dikalahkan atas nama ”agama” dan ”bangsa”, seperti terlihat baru-baru ini di negeri-negeri Arab. Lapis identiter ”agama” dan ”bangsa” ternyata unggul atas lapis ”jender”.

Untungnya feminisme Indonesia berbeda. Kaum feminis radikal kebarat-baratan tidak begitu aktif di sini dibandingkan dengan di Barat atau di negeri Arab. Tidak terdengar aksi-aksinya yang menghebohkan, apalagi yang melabrak norma ”moral” agama. Gerakan feminis Indonesia lebih lihai. Alih-alih menyinggung sensitivitas agama, agama sebaliknya dirangkul. Buku suci ditafsir kembali secara terbuka dan tafsiran baru itulah yang dipakai untuk melawan patriarki tradisional dan meraih kemajuan menuju emansipasi dan peningkatan posisi sosial wanita. Misalnya, gerakan feminis Islami itu menekankan persamaan dasar antara pria dan wanita sebagai insan ilahi, yang sebagai pasangan suami-istri dikaitkan satu sama lain oleh kewajiban saling mendukung, menghormati, dan saling melindungi. Adapun gerakan feminis Hindu menekankan polaritas filsafati dari Ketuhanan antara unsur Purusa/Pria/Spiritual dan unsur Pradana/Wanita/Material untuk menegaskan kesetaraan dasar antara kaum pria dan wanita.

Upaya ”tafsir kembali” ini menunjukkan agama di dalam posisi yang selaras dengan kemajuan zaman dan kemanusiaan. Selain menjamin emansipasi perempuan, pendekatan lunak feminisme Indonesia ini memperkuat masyarakat sipil dan bisa jadi juga merupakan benteng yang paling kokoh untuk menjaga Indonesia dari godaan radikalisme agama mana pun. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar