Pertengkaran
Rhenald Kasali ; Akademisi,
Praktisi Bisnis dan Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
|
JAWA POS, 24 April 2015
DULU
orang tua tidak terlalu risau melihat anak-anaknya berkelahi. Bahkan, kita diserahkan
guru untuk bertarung secara jantan: satu lawan satu di lapangan sekolah.
Perkelahian
cara itu ada koridornya. Misalnya, tidak main keroyok, tidak pakai senjata,
dan ada wasitnya. Tetapi, kalau cara dulu tersebut kita terapkan sekarang,
mungkin kita semua bakal masuk penjara karena melanggar HAM.
Anak-anak
berkelahi umumnya karena belum bisa menerima cara pandang atau pendapat yang
berbeda dengan dirinya. Belum tahu cara yang tepat untuk menyalurkan emosi.
Namun,
bagaimana sekarang? Relatif lebih damai. Tetapi, begitu beritanya meledak,
kita jadi terkaget-kaget: bullying satu
kelas, penindasan, pengeroyokan pakai senjata yang mematikan, perampasan, dan
kata-kata kasar begitu mudah menyulut kebencian masal, bahkan di kalangan
anak-anak sekalipun. Tidak jarang pula orang tua jadi terlibat. Hal kecil pun
dibuat menjadi besar.
Perkelahian Orang Dewasa
Hari-hari
ini kita dipertontonkan si mulut-mulut besar (di panggung politik) yang biasa
membual di media massa terlibat pertengkaran hebat. Bahkan ada yang memukul
dan masuk ke dalam berita dunia. Segala kebobrokan dirinya selalu disalahkan
kepada orang lain.
Dari
pengamatan saya, mereka yang bermulut besar dan senang mengancam itu ternyata
hanya berani karena ada orang kuat di belakangnya. Belakangan, masyarakat pun
melabeli mereka begini: Tampang Rambo,
hati Rinto. Artinya, kalau bosnya sudah kena masalah, bekingnya hilang
dan belangnya ketahuan gampang nangis juga dia.
Tetapi,
harus diakui, sangat banyak konflik orang tua di negeri kita ini yang masih
dilandasi hal-hal primitif: uang, jabatan, dan mudah tersinggung. Baru-baru
ini, saya harus berhadapan dengan warga yang menutup jalan di kampung.
Bayangkan, semua boleh lewat, kecuali orang baru yang terlihat lebih mapan.
Setelah ancam-mengancam, akhirnya ketemu juga ujungnya: minta kompensasi
karena dia merasa jalan itu dulu diwakafkan almarhum nenek moyangnya.
Bayangkan,
keikhlasan nenek moyang dinodai keturunan yang serakah dan mudah dihasut
tetangga. Tetapi, setelah kompensasi dibayar, tetangganya mengompori hal lain
lagi. Rupanya, mereka tersinggung karena tidak diajak bicara, tidak kebagian
pula. Primitif sekali, bukan?
Daripada
songong menjunjung diri, mending saya ajak Anda menyaksikan perkelahian orang
dewasa yang diurus secara profesional.
Mei
mendatang, ada dua orang tua yang berkelahi dan ditonton miliaran pasang
mata. Mereka adalah Manny Pacquiao, 36, dan Floyd Mayweather Jr, 38. Manny
adalah petinju asal Filipina dan Floyd dari Amerika Serikat. Dalam
perkelahian tersebut, Manny akan dibayar USD 100 juta dan Floyd USD 150 juta.
Kalau dirupiahkan, nilainya lebih dari Rp 1,3 triliun dan Rp 1,9 triliun.
Saya kira, itu jumlah yang pantas untuk diperebutkan. Sah, halal, dan bayar
pajak pula.
Kejadian
tersebut tentu berbeda dengan nelayan-nelayan pantura yang awal April lalu
bertengkar dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di hadapan
presiden di Istana Negara. Para nelayan setuju dengan larangan penggunaan
cantrang atau modifikasi jaring trawl. Cantrang akan membuat ikan-ikan kecil
ikut terjaring. Itu tentu akan mengancam kelestarian.
Menteri
Susi ingin larangannya berlaku per September 2015. Namun, para nelayan tidak
setuju. Mereka menginginkan masa transisi yang lebih lama, persis dengan
gertakan pemerintah lalu yang memaksa penambang membangun smelter.
Ini
menjadi dilema bagi pemimpin, mau populer atau membangun masa depan? Kalau
mau populer, ikuti saja apa kata rakyat. Amanlah kursi menteri, aman pula
bagi Jokowi. Ketika pemerintah SBY mengulur batas waktu kewajiban membangun
smelter, majalah The Economist pun
menyindirnya dalam cover depan: SMELTDOWN!
Di
negeri ini, sangat banyak konflik atau pertengkaran yang justru dilakukan
orang-orang dewasa. Gubernur Ahok vs DPRD, KPK vs Polri, sesama pengurus
parpol, antarparpol, tawuran mahasiswa vs polisi, dan sebagainya. Maaf, semua
masih serbaprimitif.
Banyak Cara untuk Menaklukkan
Kebanyakan
di antara kita memang lebih suka tidak berkonflik. Apalagi bertengkar. Banyak
cara yang bisa kita lakukan. Bukankah Sun Tzu mengajarkan, ’’To fight and conquer in all our battles
is not supreme excellence; supreme excellence consists in breaking the
enemy’s resistance without fighting.’’
Sikap
yang agak dekat dengan akomodatif adalah kompromi. Dalam kompromi, kita
menerima kemauan lawan. Tetapi, di sisi lain, kita juga memaksa lawan
menerima kemauan kita. Bukan take and
give, tetapi give then take.
Dengan
lawan, kita pun bisa bersikap kolaboratif. Caranya, bersama-sama kita
ciptakan musuh bersama.
Kalau
menghindar sudah tidak bisa, kompromi tidak mungkin lagi, apa boleh buat lah.
Tetapi, emosi harus terkendali. Bagi sejumlah orang, konflik adalah nutrisi
utama untuk kemajuan. Pengusaha asal Texas, AS, Margaret Heffernan bilang
begini, ’’For good ideas and true
innovation, you need human interaction, conflict, argument, debate.’’
Karena
itu, dalam setiap kesempatan, Heffernan selalu membagi pandangan hidupnya, ’’Let’s not play the game. Let’s change
it.’’ Dia selalu bilang, ’’Beranilah untuk berbeda pendapat.’’ Anehnya,
hati mereka bisa tenang meski mulut berdebat. Kepalanya tetap adem. Tidak ada
ancam-mengancam atau saling menyalahkan.
Dengan
logika semacam itu, bagaimana sikap Anda melihat adu jotos antara anggota DPR
kita yang terhormat? Saya punya satu kutipan yang menarik dari Miguel Angel
Ruiz, seorang spiritualis asal Meksiko. Dia mengatakan, ’’People like to say that the conflict is between good and evil. The
real conflict is between truth and lies.’’
Anda yakin pertengkaran itu terjadi
karena mereka ’’benar-benar’’ sedang memperjuangkan kepentingan kita? Saya
tidak yakin! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar