Pengembalian
Biaya Operasi Migas
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen
Universitas Trisakti
|
KOMPAS, 25 April 2015
Pengembalian
biaya operasi migas yang diambil dari hasil produksi, atau yang saat ini oleh
publik lebih dikenal sebagai cost recovery, sering dipandang sebagai sumber
inefisiensi di sektor migas.
Mekanisme
cost recovery yang diterapkan dalam kerangka sistem kontrak bagi hasil (KBH)
oleh sebagian pihak dianggap sebagai pintu masuk mafia migas meraup untung
melalui penggelembungan biaya operasi dan memasukkan biaya lain yang tak
perlu. Muncul desakan dan rekomendasi agar sistem KBH dengan mekanisme cost
recovery dihapuskan, diganti dengan sis- tem pengusahaan yang mendasarkan
penerimaan negara atas pajak dan royalti. Sebaiknya pemerintah mengkaji lebih
dalam, melihat berbagai aspek, dan merumuskan kembali apa yang sesungguhnya
jadi tujuan sebelum menjalankan rekomendasi ini.
Istilah
cost recovery sesungguhnya tak ada dalam KBH. Yang ada recovery of operating
costs, pengembalian biaya operasi dari produksi. Biaya operasi ini pada
dasarnya adalah pengeluaran yang (terlebih dulu) dibelanjakan kontraktor
dalam eksplorasi dan eksploitasi migas. Mekanisme pengembalian biaya operasi
muncul sebagai konsekuensi logis dipilihnya sistem KBH ketika di satu sisi
negara tak perlu terlebih dulu menanggung investasi dan risiko, tetapi di
sisi lain negara tetap memiliki kendali atas pengelolaan kegiatan usaha migas
secara langsung.
Dalam
pelaksanaannya, pengendalian atas pengembalian biaya operasi ini dilakukan
melalui mekanisme persetujuan dan audit. Saat ini persetujuan atas
pengembalian biaya operasi migas adalah melalui Satuan Kerja Khusus Migas,
sedangkan audit dapat melibatkan BPK, BPKP, atau otoritas perpajakan. Jadi,
di samping dipandang optimal dari sisi investasi (negara mendapat hasil tanpa
harus mengeluarkan biaya dan terekspos risiko terlebih dulu), esensi paling
mendasar sistem KBH dengan mekanisme pengembalian operasi di dalamnya adalah
bahwa kendali atas pengelolaan kegiatan usaha migas secara langsung tetap ada
di tangan negara.
Menggantikan
sistem KBH dengan sistem tax-royalty akan membawa konsekuensi mengubah sistem
kontrak jadi sistem perizinan dan menjadikan sifat kegiatan usaha migas yang
semula dilakukan negara dengan investor melalui hubungan bisnis (perdata)
jadi hubungan bersifat publik. Kendali negara atas kegiatan pengelolaan migas
relatif akan berkurang sebab negara tak langsung terlibat di dalamnya.
Bentuk
kendali dan penguasaan oleh negara atas kegiatan usaha migas lebih tidak langsung
karena lebih menekankan aspek pengaturan, bukan pengelolaan. Esensi lebih
menonjol sistem tax-royalty adalah memberikan keleluasaan lebih bagi investor
lebih otonom mengelola wilayah migas sendiri, sedangkan negara (hanya)
berkepentingan pada aspek fiskal penerimaan bersih yang berasal dari pajak
dan royalti yang dibayarkan.
Landasan berbeda
Jadi,
dua sistem di atas memang memiliki landasan pemikiran dan filosofi berbeda.
Dalam hal ini, sebagaimana lazim pada kegiatan usaha migas di seluruh dunia, tak
satu sistem pun yang selalu cocok dan dapat menjawab semua masalah untuk
semua keadaan. Saran saya, pemerintah sebaiknya jangan melakukan generalisasi
dengan menghapus semua kontrak KBH dan menggantikannya secara keseluruhan
dengan sistem tax-royalty. Jika hal itu dilakukan, konsekuensi terbesar yang
dapat menjadi bumerang bagi pemerintah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan
ketakpastian amat tak kondusif, khususnya bagi iklim investasi.
Pemerintah
mesti ingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang
membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas) pada 13 November 2012 secara jelas menyebutkan bahwa bentuk penguasaan
negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang dikehendaki konstitusi-dan harus
dilakukan pemerintah-adalah dengan melakukan pengelolaan migas secara
langsung.
Sistem
tax-royalty yang mendasarkan pengusahaan melalui perizinan pada dasarnya
mengonstruksikan bentuk pengelolaan negara secara tak langsung. Karena itu,
rekomendasi saya: (1) sistem pengusahaan migas sebaiknya tetap dilakukan
melalui sistem kontrak antara investor dan perusahaan negara yang ditunjuk
mewakili negara (dapat lebih dari satu perusahaan negara), dan tak diubah
jadi sistem perizinan; (2) dilakukan pembenahan sistematis atas kekurangan
yang ada dalam implementasi sistem KBH, khususnya dalam aspek pengendalian
biaya operasi dan birokrasinya; (3) jika dipandang perlu dan dapat memberikan
untung maksimal bagi negara, pemerintah dapat selektif menerapkan sistem
kontrak bentuk lain di luar KBH yang memberikan fleksibilitas dan otonomi
lebih kepada kontraktor pada wilayah migas yang telah matang, seperti kontrak
jasa, kontrak gross-production split, atau kontrak kerja sama lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar