Muktamar
NU dan Revitalisasi Nahdlatulogi
A Halim Iskandar ; Ketua
DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim
|
JAWA POS, 22 April 2015
DALAM buku Nahdlatul Ulama: Dinamika
Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010), Mohammad Afifuddin memunculkan
kembali pemikiran otentik KH A. Muchith Muzadi (Mbah Muchith), salah seorang
kiai sepuh yang dihormati kaum Nahdliyin. Dalam buku tersebut, dikisahkan
Mbah Muchith sering berpesan kepada para santrinya untuk tetap tekun
mempelajari dan menjalankan prinsip-prinsip Nahdlatulogi.
Nahdlatulogi adalah manifestasi dari postulat intelektual Mbah
Muchith sekaligus keyakinan ideologisnya: mempelajari sejarah dan sepak
terjang NU tidak cukup hanya meneropong dengan kacamata ilmu pengetahuan
konvensional (umum). Pengalaman Mbah Muchith puluhan tahun berkiprah di NU,
baik sebagai aktivis ansar, pengurus PBNU, anggota legislatif, dan salah satu
deklarator PKB, mengantarkan pada sikap bahwa NU adalah organisasi unik yang
tidak tuntas dikaji hanya berdasar referensi para sarjana asing (orientalis).
Karena itu, jika ingin ''menguliti'' NU, ilmunya juga harus ''unik'',
metodologinya pun mesti ''antik'' (non-mainstreaming).
Mbah Muchith menyebutnya Nahdlatulogi (ilmu tentang Nahdlatul Ulama):
perpaduan antara pendekatan ilmu pengetahuan umum, metodologi ala pesantren,
plus skill membaca kekhasan dunia kiai dan santri dalam dialektikanya
menghadapi kompleksitas persoalan sosial-keagamaan.
Dalam substansi pemikiran Mbah Muchith tersebut, terkandung
makna bahwa Nahdlatulogi adalah independensi NU untuk merumuskan paradigma
(kerangka berpikir) yang dibangun dari konstruksi intelektual, kultural,
maupun teologis yang selama ini diyakini NU. Sikap semacam itu sangat penting
mengingat ilmu pengetahuan tidak pernah netral (bebas nilai). Selalu ada
bias-bias tertentu (bias kekuasaan) dalam sebuah konstruksi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana dikatakan Ahmad Baso dalam buku NU Studies:
Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme
Neo-liberal (2006), posisi NU selama ini masih sering dijadikan objek (maf'ul) bagi para penulis dan peneliti
asing (orientalis). Akibatnya, di era poskolonial seperti sekarang ini, NU
masih susah menempatkan dirinya menjadi subjek (fa'il) dan punya daya untuk menyusun narasi tentang dirinya
sendiri. Maka, dalam konteks ini, Nahdlatulogi merupakan salah satu ikhtiar
untuk menjadikan NU sebagai fa'il (subjek bagi diri sendiri).
Pertanyaannya kemudian, apa relevansi Nahdlatulogi dengan
Muktamar Ke-33 NU yang insya Allah diselenggarakan pada Agustus mendatang di
Jombang, Jawa Timur?
Demokrasi ala Nahdlatulogi
Sebagaimana disampaikan Khoiron dalam tulisannya, Meneguhkan
Supremasi Kiai (Jawa Pos, 3/4), muktamar NU telah bermetamorforsis menjadi
''dekaden'' dan terseret euforia sistem perpolitikan nasional yang sangat
liberal pascareformasi. Muktamar ke-31 di Boyolali dan muktamar ke-32 di
Makassar menjadi contoh bagaimana muktamar berjalan seperti arena pilkada.
Spanduk, baliho, pamflet, dan bendera kandidat bertebaran di sekitar arena
muktamar. Celakanya, praktik money
politics juga ditengarai terjadi di arena muktamar.
Salah seorang pengurus Fatayat NU Jawa Timur Maimunah Saroh
dalam tulisannya, Kontroversi Pemilihan Rais Am (Jawa Pos, 13/4), justru
meragukan dan cenderung menolak penerapan AHWA dalam Muktamar Ke-33 NU.
Alasannya, selain AHWA belum menjadi kesepakatan Munas-Konbes NU 2014,
Maimunah meragukan keilmuan, wawasan, kezuhudan, kearifan, ketokohan, serta
kemampuan menyerap informasi secara adil dan berimbang yang sekaliber dengan
KH As'ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, KH Ahmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan
kiai lain yang menurutnya layak memimpin NU melalui sistem AHWA.
Selain itu, Maimunah membantah Khoiron yang menyatakan penerapan
AHWA dalam 30 kali muktamar NU, kecuali pada muktamar ke-31 dan 32. Di mana,
menurut Maimunah, hanya muktamar ke-27 Situbondo, AHWA digunakan. Terkait
perbedaan tersebut, mari kita telusuri secara konseptual.
Konsep AHWA terinspirasi pada satu konsep pemilihan pemimpin di
era kekhalifahan Umar bin Khattab, di mana pemilihan pemimpin tidak dilakukan
dengan mekanisme voting, tetapi dipilih secara sengaja dengan model
penunjukan oleh forum para ulama-ulama sepuh kepada salah seorang yang
dianggap memenuhi kualifikasi secara moral (integritas) dan keilmuan
(keikhlasan-kealimannya). Konsep tersebut telah menjadi tradisi suksesi
kepemimpinan NU selama kurang lebih 30 kali muktamar.
Sebagai contoh, KH Wahab Hasbullah hanya bersedia menggantikan
KH Hasyim Asy'ari setelah wafatnya beliau, dan penggantian posisi, dari rais
akbar menjadi rais am. Begitu pula dengan KH Bisri Syansuri yang tidak
berkenan menerima jabatan rais am karena masih ada KH Wahab Hasbullah. Pun
demikian dengan KH Sahal Mahfudh yang baru bersedia menggantikan KH Ilyas
Ruhiyat setelah dipaksa para kiai lainnya.
Artinya, sejarah transisi kepemimpinan di NU menunjukkan
kekhasan yang dilatarbelakangi tradisi pesantren, sama sekali jauh dari
intrik politik yang diinspirasi demokrasi liberian. Transisi kepemimpinan NU
tidak didasari prinsip one man one vote.
Tradisi kepemimpinan NU selalu didasarkan pada derajat keilmuan dan
kezuhudan, didasari pengabdian, keikhlasan, dan totalitas kepatuhan (keta'dhiman) untuk menerima amanah.
Dengan demikian, sejatinya AHWA selalu menjadi roh dalam tradisi kepemimpinan
NU dan menjadi spirit dalam mayoritas sejarah muktamar NU.
Karena itu, sebagai respons terhadap gejala liberalisasi politik
yang melampaui batas seperti saat ini, para ulama NU dan Nahdliyin merasa
yakin bahwa konsep AHWA sebagai satu-satunya konsep kepemimpinan paripurna
yang dalam historiografi NU terbukti mampu menjaga kewibawaan NU dan
kewibawaan ulama di mata umat.
Namun, menjelang pelaksanaan muktamar ke-33 yang dipusatkan di
empat pesantren di Jombang beberapa bulan mendatang, tiba-tiba muncul manuver
dari sebagian kalangan di NU yang menolak rekomendasi para kiai-ulama untuk
kembali ke konsep AHWA. Mereka berdalih bahwa NU harus berani menerima konsep
demokrasi untuk dijadikan mekanisme dalam muktamar. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan penggunaan ukuran legitimasi yang digunakan Maimunah.
Menurut dia, rais am yang dipilih AHWA –yang hanya beranggota beberapa kiai–
akan lebih rendah legitimasinya dibandingkan dengan ketua umum yang dipilih
semua muktamirin. Tentu, konsep tersebut merupakan konsep yang diadopsi dari
demokrasi liberal, sebagaimana juga diterapkan dalam pelaksanaan pemilu,
pilkada, maupun pemilihan ketua umum parpol.
Dengan demikian, jelaslah bahwa argumen utama beberapa kalangan
yang menolak penerapan AHWA dibangun di atas fondasi modernisasi liberal yang
berkiblat pada peradaban Barat. Menurut kalangan ini, apabila tidak ingin
tertinggal dari arus sejarah peradaban kontemporer yang berporos pada
peradaban (demokrasi) Barat, NU harus mulai memodernisasi dirinya. Salah
satunya dengan penerapan one man one
vote dalam kepemimpinan NU, kemudian mengabaikan variabel kealiman, kezuhudan, serta keta'dhiman yang menjadi dasar kepemimpinan dalam NU.
Dalam konteks inilah muncul relevansi untuk menghadirkan kembali
wacana tentang Nahdlatulogi dalam muktamar 2015. Pertimbangannya, tidak semua
wacana dari peradaban Barat (termasuk demokrasi liberal) harus ditelan
mentah-mentah oleh NU. Jangan sampai hanya atas dasar ingin disebut
''modern'' dan tidak ingin dituduh organisasi kolot, NU ikut arus mainstream
yang justru kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar ke-NU-an. Sebab, jika
mengikuti kerangka berpikir Nahdlatulogi, sesungguhnya konsep AHWA merupakan
mekanisme yang juga sesuai dengan kaidah demokrasi. Sebab, pada dasarnya,
substansi AHWA sama dengan hakikat musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut
prinsipiil, mengingat parameter demokrasi tidak selamanya harus mengacu pada
rujukan peradaban Barat. Para ulama NU yang meyakini substansi demokrasi
Pancasila sejak muktamar pada 1936 di Banjarmasin jelas punya kompetensi
untuk merumuskan sendiri parameter demokrasi sesuai dengan nilai-nilai
ke-NU-an.
Maka, muktamar Jombang adalah momentum untuk merevitalisasi
prinsip Nahdlatulogi. Caranya, mari kita kawal Ahlul Halli Wal Aqdi sebagai
formulasi demokrasi ala NU di muktamar ke-33. Dengan demikian, muktamar 2015
yang mengambil tema Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan
Dunia benar-benar menghadirkan NU masa depan yang mbarakahi (memberkati), serta meneguhkan NU di mata dunia sebagai
salah satu jamiah pengusung Islam
rahmatan lil alamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar