Kamis, 23 April 2015

Muktamar NU dan Revitalisasi Nahdlatulogi

Muktamar NU dan Revitalisasi Nahdlatulogi

A Halim Iskandar  ;   Ketua DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim
JAWA POS, 22 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM buku Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010), Mohammad Afifuddin memunculkan kembali pemikiran otentik KH A. Muchith Muzadi (Mbah Muchith), salah seorang kiai sepuh yang dihormati kaum Nahdliyin. Dalam buku tersebut, dikisahkan Mbah Muchith sering berpesan kepada para santrinya untuk tetap tekun mempelajari dan menjalankan prinsip-prinsip Nahdlatulogi.

Nahdlatulogi adalah manifestasi dari postulat intelektual Mbah Muchith sekaligus keyakinan ideologisnya: mempelajari sejarah dan sepak terjang NU tidak cukup hanya meneropong dengan kacamata ilmu pengetahuan konvensional (umum). Pengalaman Mbah Muchith puluhan tahun berkiprah di NU, baik sebagai aktivis ansar, pengurus PBNU, anggota legislatif, dan salah satu deklarator PKB, mengantarkan pada sikap bahwa NU adalah organisasi unik yang tidak tuntas dikaji hanya berdasar referensi para sarjana asing (orientalis). Karena itu, jika ingin ''menguliti'' NU, ilmunya juga harus ''unik'', metodologinya pun mesti ''antik'' (non-mainstreaming). Mbah Muchith menyebutnya Nahdlatulogi (ilmu tentang Nahdlatul Ulama): perpaduan antara pendekatan ilmu pengetahuan umum, metodologi ala pesantren, plus skill membaca kekhasan dunia kiai dan santri dalam dialektikanya menghadapi kompleksitas persoalan sosial-keagamaan.

Dalam substansi pemikiran Mbah Muchith tersebut, terkandung makna bahwa Nahdlatulogi adalah independensi NU untuk merumuskan paradigma (kerangka berpikir) yang dibangun dari konstruksi intelektual, kultural, maupun teologis yang selama ini diyakini NU. Sikap semacam itu sangat penting mengingat ilmu pengetahuan tidak pernah netral (bebas nilai). Selalu ada bias-bias tertentu (bias kekuasaan) dalam sebuah konstruksi ilmu pengetahuan.

Sebagaimana dikatakan Ahmad Baso dalam buku NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal (2006), posisi NU selama ini masih sering dijadikan objek (maf'ul) bagi para penulis dan peneliti asing (orientalis). Akibatnya, di era poskolonial seperti sekarang ini, NU masih susah menempatkan dirinya menjadi subjek (fa'il) dan punya daya untuk menyusun narasi tentang dirinya sendiri. Maka, dalam konteks ini, Nahdlatulogi merupakan salah satu ikhtiar untuk menjadikan NU sebagai fa'il (subjek bagi diri sendiri).

Pertanyaannya kemudian, apa relevansi Nahdlatulogi dengan Muktamar Ke-33 NU yang insya Allah diselenggarakan pada Agustus mendatang di Jombang, Jawa Timur?

Demokrasi ala Nahdlatulogi

Sebagaimana disampaikan Khoiron dalam tulisannya, Meneguhkan Supremasi Kiai (Jawa Pos, 3/4), muktamar NU telah bermetamorforsis menjadi ''dekaden'' dan terseret euforia sistem perpolitikan nasional yang sangat liberal pascareformasi. Muktamar ke-31 di Boyolali dan muktamar ke-32 di Makassar menjadi contoh bagaimana muktamar berjalan seperti arena pilkada. Spanduk, baliho, pamflet, dan bendera kandidat bertebaran di sekitar arena muktamar. Celakanya, praktik money politics juga ditengarai terjadi di arena muktamar.

Salah seorang pengurus Fatayat NU Jawa Timur Maimunah Saroh dalam tulisannya, Kontroversi Pemilihan Rais Am (Jawa Pos, 13/4), justru meragukan dan cenderung menolak penerapan AHWA dalam Muktamar Ke-33 NU. Alasannya, selain AHWA belum menjadi kesepakatan Munas-Konbes NU 2014, Maimunah meragukan keilmuan, wawasan, kezuhudan, kearifan, ketokohan, serta kemampuan menyerap informasi secara adil dan berimbang yang sekaliber dengan KH As'ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, KH Ahmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan kiai lain yang menurutnya layak memimpin NU melalui sistem AHWA.

Selain itu, Maimunah membantah Khoiron yang menyatakan penerapan AHWA dalam 30 kali muktamar NU, kecuali pada muktamar ke-31 dan 32. Di mana, menurut Maimunah, hanya muktamar ke-27 Situbondo, AHWA digunakan. Terkait perbedaan tersebut, mari kita telusuri secara konseptual.

Konsep AHWA terinspirasi pada satu konsep pemilihan pemimpin di era kekhalifahan Umar bin Khattab, di mana pemilihan pemimpin tidak dilakukan dengan mekanisme voting, tetapi dipilih secara sengaja dengan model penunjukan oleh forum para ulama-ulama sepuh kepada salah seorang yang dianggap memenuhi kualifikasi secara moral (integritas) dan keilmuan (keikhlasan-kealimannya). Konsep tersebut telah menjadi tradisi suksesi kepemimpinan NU selama kurang lebih 30 kali muktamar.

Sebagai contoh, KH Wahab Hasbullah hanya bersedia menggantikan KH Hasyim Asy'ari setelah wafatnya beliau, dan penggantian posisi, dari rais akbar menjadi rais am. Begitu pula dengan KH Bisri Syansuri yang tidak berkenan menerima jabatan rais am karena masih ada KH Wahab Hasbullah. Pun demikian dengan KH Sahal Mahfudh yang baru bersedia menggantikan KH Ilyas Ruhiyat setelah dipaksa para kiai lainnya.

Artinya, sejarah transisi kepemimpinan di NU menunjukkan kekhasan yang dilatarbelakangi tradisi pesantren, sama sekali jauh dari intrik politik yang diinspirasi demokrasi liberian. Transisi kepemimpinan NU tidak didasari prinsip one man one vote. Tradisi kepemimpinan NU selalu didasarkan pada derajat keilmuan dan kezuhudan, didasari pengabdian, keikhlasan, dan totalitas kepatuhan (keta'dhiman) untuk menerima amanah. Dengan demikian, sejatinya AHWA selalu menjadi roh dalam tradisi kepemimpinan NU dan menjadi spirit dalam mayoritas sejarah muktamar NU.

Karena itu, sebagai respons terhadap gejala liberalisasi politik yang melampaui batas seperti saat ini, para ulama NU dan Nahdliyin merasa yakin bahwa konsep AHWA sebagai satu-satunya konsep kepemimpinan paripurna yang dalam historiografi NU terbukti mampu menjaga kewibawaan NU dan kewibawaan ulama di mata umat.

Namun, menjelang pelaksanaan muktamar ke-33 yang dipusatkan di empat pesantren di Jombang beberapa bulan mendatang, tiba-tiba muncul manuver dari sebagian kalangan di NU yang menolak rekomendasi para kiai-ulama untuk kembali ke konsep AHWA. Mereka berdalih bahwa NU harus berani menerima konsep demokrasi untuk dijadikan mekanisme dalam muktamar. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan ukuran legitimasi yang digunakan Maimunah. Menurut dia, rais am yang dipilih AHWA –yang hanya beranggota beberapa kiai– akan lebih rendah legitimasinya dibandingkan dengan ketua umum yang dipilih semua muktamirin. Tentu, konsep tersebut merupakan konsep yang diadopsi dari demokrasi liberal, sebagaimana juga diterapkan dalam pelaksanaan pemilu, pilkada, maupun pemilihan ketua umum parpol.

Dengan demikian, jelaslah bahwa argumen utama beberapa kalangan yang menolak penerapan AHWA dibangun di atas fondasi modernisasi liberal yang berkiblat pada peradaban Barat. Menurut kalangan ini, apabila tidak ingin tertinggal dari arus sejarah peradaban kontemporer yang berporos pada peradaban (demokrasi) Barat, NU harus mulai memodernisasi dirinya. Salah satunya dengan penerapan one man one vote dalam kepemimpinan NU, kemudian mengabaikan variabel kealiman, kezuhudan, serta keta'dhiman yang menjadi dasar kepemimpinan dalam NU.

Dalam konteks inilah muncul relevansi untuk menghadirkan kembali wacana tentang Nahdlatulogi dalam muktamar 2015. Pertimbangannya, tidak semua wacana dari peradaban Barat (termasuk demokrasi liberal) harus ditelan mentah-mentah oleh NU. Jangan sampai hanya atas dasar ingin disebut ''modern'' dan tidak ingin dituduh organisasi kolot, NU ikut arus mainstream yang justru kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar ke-NU-an. Sebab, jika mengikuti kerangka berpikir Nahdlatulogi, sesungguhnya konsep AHWA merupakan mekanisme yang juga sesuai dengan kaidah demokrasi. Sebab, pada dasarnya, substansi AHWA sama dengan hakikat musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut prinsipiil, mengingat parameter demokrasi tidak selamanya harus mengacu pada rujukan peradaban Barat. Para ulama NU yang meyakini substansi demokrasi Pancasila sejak muktamar pada 1936 di Banjarmasin jelas punya kompetensi untuk merumuskan sendiri parameter demokrasi sesuai dengan nilai-nilai ke-NU-an.

Maka, muktamar Jombang adalah momentum untuk merevitalisasi prinsip Nahdlatulogi. Caranya, mari kita kawal Ahlul Halli Wal Aqdi sebagai formulasi demokrasi ala NU di muktamar ke-33. Dengan demikian, muktamar 2015 yang mengambil tema Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia benar-benar menghadirkan NU masa depan yang mbarakahi (memberkati), serta meneguhkan NU di mata dunia sebagai salah satu jamiah pengusung Islam rahmatan lil alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar