KAA,
Konflik Timur Tengah, dan Indonesia
Muhammad Ja’far ; Pengamat
Politik Timur Tengah
|
KORAN TEMPO, 22 April 2015
Konflik
Timur Tengah dan persoalan radikalisme merupakan salah satu isu penting yang
dibicarakan dalam peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 2015 di
Indonesia (Koran Tempo, 20 April 2015). Dalam kancah politik global, saat ini
persoalan tersebut menjadi salah satu hal yang cukup urgen. Persoalan
radikalisme tidak lagi terbatas sebagai problem di kawasan timur tengah, tapi
juga meluas ke berbagai negara Asia, Eropa, dan Afrika sendiri.
Banyak
negara kini sedang menghadapi ancaman radikalisme transnasional dengan
Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) sebagai organisasi teraktualnya. Ini
metamorfosis dari problem terorisme yang penanganannya tidak tuntas dengan
pendekatan solusi yang salah. Pada saat yang sama, stabilitas politik di
Timur Tengah juga mengalami degradasi yang sangat signifikan selama 4 tahun
terakhir. Agenda revolusi menjelma menjadi bola liar yang memantul ke segala
arah kepentingan politik-ekonomi. Bahkan, di negara seperi Libya, Tunisia,
dan Suriah, spirit perubahan secara revolusioner dalam batas tertentu justru
berbalik arah menjadi ancaman radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Pembahasan
dua isu tersebut dalam KAA menjadi signfikan karena negara-negara yang hadir
dalam konferensi tersebut juga merupakan subyek-subyek yang terkait langsung
ataupun tidak langsung dengan fenomena tersebut. Beberapa negara Timur Tengah
hadir dalam konferensi ini, seperti Mesir, Turki, Iran, Palestina, Irak, dan
negara lainnya. Di sisi lain, konferensi tersebut dihadiri negara-negara yang
berpotensi menjadi mediator proses komunikasi dan interaksi antarnegara
terkait. Indonesia salah satunya.
Indonesia
bukan hanya memiliki peran historis yang sentral dalam terbentuknya KAA, tapi
juga mewakili spirit dasarnya. Konflik antarnegara Timur Tengah serta ancaman
radikalisme sangat terkait dengan absennya paradigma moderatisme dan
toleransi dalam beragama. Ketika menginisiasi terbentuknya KAA, spirit utama
yang diusung oleh para pendiri bangsa adalah perdamaian dunia dan keadilan
global. Presiden Sukarno dan beberapa pemimpin karismatik dari negara Asia
dan Afrika berniat menularkan dua spirit tersebut ke tingkat global. Inilah
signfikansi KAA sebagai sebuah spirit, dan Indonesia merupakan salah satu
inisiator.
Wajah
Islam moderat yang berkembang selama berabad-abad di Indonesia adalah corak
ideal yang didambakan oleh negara-negara Timur Tengah. Bahkan, dalam batas
tertentu, kesejukan Islam Indonesia merupakan imajinasi politik-sosial yang
mereka impikan tapi terasa “mustahil” diwujudkan. Kejenuhan pada konflik
politik berbalut agama membuat negara-negara tersebut menoleh ke Indonesia
sebagai prototipe Islam yang menenangkan. Di negeri ini, agama bersanding
mesra dengan kebudayaan untuk membangun perdamaian dan toleransi.
Meski
belakangan dihantui ancaman radikalisme berbalut baju Negara Islam
Irak-Suriah (ISIS), resistansi masyarakat sipil terhadap paham ini masih
cukup tinggi, terutama di bawah bendera organisasi kemasyarakatan, seperti
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dua elemen sipil ini adalah modal sosial
yang tidak kita temukan di negara-negara Timur Tengah. Kedua ormas ini telah
memberikan kontribusi penting dalam sejarah berdirinya bangsa dan negara
Indonesia dengan spirit utama perdamaian, toleransi, serta keadilan.
Pilar-pilar
sosial-keislaman seperti inilah yang sangat dirindukan oleh negara-negara
Timur Tengah. Kelebihan Indonesia dibanding negara Timur Tengah adalah
kekuatan pilar sipilnya. Pada sisi lain, kekurangan Indonesia yang kadang
muncul adalah kurang optimalnya negara dalam menjalankan perannya, sehingga
kerap disubstitusi oleh kekuatan sipil. Namun, secara umum, toleransi dan
perdamaian cukup membudaya dalam kehidupan beragama di negeri ini.
Ancaman
paham ISIS merupakan salah satu problem aktual yang penyelesaiannya butuh
sinergi antara negara di kawasan Asia dan Afrika. Radikalisme yang ditebarkan
ISIS memiliki kemampuan infiltrasi lintas negara. Fenomena berkumpulnya (meeting point) para milisi dari
berbagai negara di Suriah-Irak untuk berafiliasi dengan ISIS merupakan salah
satu bukti konkret latennya paham ini. Banyak negara kini sedang menghadapi
gejala tersebut, termasuk Indonesia. Pemicu keberangkatan para milisi
tersebut bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga paradigmatik. Di
negara-negara maju dengan basis kesejahteraan yang cukup tinggi, seperti
negara Eropa, tidak sedikit warga negara yang memilih berangkat “berjihad”
bersama ISIS. Adapun kanal-kanal sosial-kultural yang membantu negara dalam
menjalankan tanggung jawabnya menciptakan perdamaian dan toleransi tidak
sebanyak di Indonesia.
Tentu
saja, dibanding kompleksitas persoalan konflik Timur Tengah dan radikalisme,
KAA hanya forum temporer saja yang butuh tindak lanjut secara nyata. Sebagai
pemijakan spirit, forum ini bisa cukup membantu merangkai asa perdamaian dan
toleransi. Indonesia memiliki cukup variabel untuk merangkai asa tersebut:
Islam, kebudayaan, dan toleransi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar