Enam
Bulan yang Hambar
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS, 29 April 2015
Apakah pembaca kaget
dengan hasil survei evaluasi enam bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
yang dirilis harian ini?
Saya yakin, mayoritas
pembaca akan hadir dengan jawaban yang sama: tidak. Meski terjadi sedikit
kenaikan (7,1 persen) di bidang politik dan keamanan, jawaban
"tidak" tersebut sulit untuk digeser karena adanya penurunan
tingkat kepuasan di bidang-bidang lain.
Khusus di wilayah
penegakan hukum, dibandingkan tiga bulan pertama, tingkat kepuasan responden
mengalami penurunan melebihi 16,5 persen. Merujuk hasil survei Kompas (27/4),
pada tiga bulan pertama, mayoritas responden (59,7 persen) memberikan nilai
baik atas kinerja di bidang hukum. Namun tiga bulan berikutnya, penilaian
responden menurun tajam menjadi 43,2 persen.
Bagaimana menjelaskan
penurunan tajam tingkat kepuasan responden terhadap kinerja bidang hukum
pemerintahan Jokowi-JK selama enam bulan pertama berkuasa? Pertanyaan ini
menjadi begitu penting karena tingkat kepuasan dalam bidang hukum menurun dua
kali lebih besar dibandingkan enam bulan pertama pemerintahan SBY-JK. Hasil
survei Kompas (20/4/2010), kepuasan kepada SBY-JK hanya menurun dari 61,2
persen pada tiga bulan pertama menjadi 53,2 persen tiga bulan berikutnya.
Dukungan ke KPK
Dalam posisi sebagai
pemerintah baru, duet Jokowi-JK memiliki peluang besar meraih kepuasan
masyarakat dalam berbagai bidang, termasuk bidang hukum. Pandangan begini
hadir karena 42 prioritas utama penegakan hukum yang tertuang dalam Nawacita
Jokowi-JK dapat dikatakan amat padat dan konkret yang sekaligus merupakan
jawaban terhadap sebagian besar agenda hukum dan penegakan hukum negeri ini.
Banyak pihak percaya,
bilamana Jokowi berupaya dengan keras merealisasikan pohon janji di wilayah
hukum dan penegakan hukum sejak awal, tingkat kepuasan responden tidak akan
mengalami penurunan. Bahkan, bukan tidak mungkin kepuasan responden pada tiga
bulan pertama akan melewati persentase yang pernah diraih SBY-JK.
Namun, selama tiga
bulan pertama, Jokowi tidak menunjukkan pergerakan signifikan mewujudkan
janji bidang hukum yang tertuang dalam Nawacita. Meskipun demikian, kepuasan
responden masih berada di atas angka 50 persen.
Salah satu alasan yang
mungkin dapat menjelaskan kepuasan responden masih berada di atas garis merah
pada tiga bulan pertama: Jokowi-JK lebih banyak fokus menghadapi tekanan
politik karena terbelahnya dukungan dari DPR. Di tengah tekanan politik dari
sebagian kekuatan politik di DPR, pasti tidak mudah mewujudkan agenda bidang
hukum. Begitu pula sorotan tajam sebagian kalangan dalam pengangkatan Jaksa
Agung pun tak mampu menghancurkan kepuasan masyarakat.
Oleh karena itu, sulit
dibantah, turunnya tingkat kepuasan masyarakat pada tiga bulan kedua hampir
pasti dipicu oleh ketidakmampuan Jokowi-JK merealisasikan janji mendukung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terkait dengan komisi antirasuah ini,
Jokowi-JK berjanji mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan dan pendanaan KPK.
Alasan mendasar Jokowi
sampai kepada janji itu, dalam praktik pemberantasan korupsi, KPK telah
menjadi tumpuan harapan masyarakat. Karena itu, KPK harus dijaga sebagai
lembaga yang bebas dari pengaruh kekuatan politik. Tidak hanya itu, begitu
pentingnya posisi dan perannya di tengah desain besar agenda pemberantasan
korupsi, Jokowi-JK merasa perlu menegaskan komitmen mereka untuk menolak
segala bentuk upaya yang dapat berujung pada pelemahan KPK.
Namun, ketika ujian
untuk membuktikan dukungan ke KPK datang, Jokowi-JK tak menunjukkan dan
memberikan respons memadai. Buktinya, ketika KPK diobok-obok setelah KPK
menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, langkah nyata
untuk melindungi KPK tak hadir dengan layak. Padahal, banyak pihak mendesak
Jokowi agar bersikap tegas menghentikan kemungkinan pihak-pihak tertentu
menggunakan institusi kepolisian melakukan serangan balik kepada KPK. Tidak
hanya itu, Jokowi pun diminta menunjukkan sikap tegas mencegah kepolisian
melakukan tindakan kriminalisasi terhadap semua elemen KPK.
Mencermati situasi
yang melilit KPK setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak
keliru menilai bahwa Jokowi-JK gagal melewati ujian pertama pelemahan KPK.
Padahal, sekalipun dikatakan ujian pertama, sejauh ini, peristiwa tragis yang
dialami KPK sejak pertengahan Januari lalu dapat dikatakan sebagai serangan
paling mematikan sejak lembaga ini dibentuk.
Harusnya, membaca
komitmen yang tertuang dalam Nawacita, tak ada alasan tidak melakukan langkah
darurat menyelamatkan KPK. Namun, entah apa yang sesungguhnya terjadi,
langkah nyata penyelamatan yang berpihak kepada KPK dan sekaligus berpihak
kepada agenda pemberantasan tidak hadir.
Boleh jadi,
penyelamatan KPK bukanlah variabel tunggal menurunnya tingkat kepuasan
masyarakat. Misalnya, dalam periode tiga bulan kedua, Jokowi juga dihadapkan
pada inkonsistensi dalam proses pengusulan calon Kepala Polri. Padahal, dalam
Nawacita dinyatakan akan memilih Kepala Polri yang bersih dan antikorupsi.
Namun, ketika mengusulkan nama Budi Gunawan ke DPR, komitmen tersebut pantas
digugat dan dipertanyakan.
Dalam batas penalaran
yang wajar, isu di sekitar pengusulan calon Kepala Polri tidak akan begitu
banyak menurunkan tingkat kepuasan responden bilamana Jokowi mampu mengambil
langkah konkret menyelamatkan KPK. Namun, begitu KPK dibiarkan porak poranda,
imajinasi Jokowi dalam bidang hukum sangat dipertanyakan. Bahkan tidak
terlalu berlebihan mengatakan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi agenda
yang bukan prioritas selama enam bulan pertama Jokowi-JK.
Pemulihan cepat
Apabila hendak melihat
secara positif, rendahnya tingkat kepuasan terhadap agenda hukum tidak
berarti kiamat bagi Jokowi-JK. Bahkan, dalam waktu tak terlalu lama, kepuasan
masyarakat dapat didorong naik untuk segera keluar dari zona merah. Karena
sumbangan terbesar atas kemerosotan di bidang hukum dipicu komitmen kepada
KPK, pemulihan cepat mestinya juga diarahkan ke lembaga ini.
Dalam waktu dekat,
karena masa jabatan pimpinan KPK akan segera berakhir, Jokowi harus memilih
anggota tim seleksi yang tidak diragukan masyarakat. Selain dapat memulihkan
kepercayaan masyarakat kepada KPK, tim seleksi harus berasal dari kalangan
yang memiliki komitmen yang tidak diragukan dalam agenda pemberantasan
korupsi. Melihat gejala yang muncul ke permukaan, pertimbangan ini perlu
disampaikan karena tim seleksi menjadi titik penting guna menyelamatkan masa
depan KPK. Seandainya Jokowi salah dalam memilih anggota tim seleksi, KPK
kian sulit diselamatkan.
Banyak pihak percaya,
sekiranya Jokowi-JK mampu membuktikan komitmen mereka dalam menyelamatkan KPK
sebagaimana tertuang dalam Nawacita, kepuasan masyarakat dalam bidang
penegakan hukum pelan-pelan dapat dipulihkan lagi. Namun, apabila yang
terjadi adalah sebaliknya, Jokowi-JK tak hanya akan dinilai tak memiliki keinginan
menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi, tetapi lebih dari itu:
pasangan ini dapat saja dinilai secara sengaja menyisihkan agenda di bidang
hukum. Dengan demikian, selama enam bulan pertama agenda hukum terasa begitu
hambar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar