Relevansi
Konferensi Asia Afrika
Makmur Keliat ; Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan
Internasional,
FISIP, Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 20 April 2015
Mengapa merayakan Konferensi Asia Afrika? Apakah
signifikansi KAA enam dasawarsa lalu
itu terhadap kerja sama antarnegara berkembang yang dikenal dengan istilah
Kerja Sama Selatan-Selatan?
Tantangan-tantangan apakah yang dihadapi untuk meningkatkan KSS
itu? Bagaimana mengatasinya?
Identitas diplomasi
Indonesia
Tentu saja terdapat sejumlah alasan untuk menyatakan mengapa KAA
selalu penting dan relevan. Bagi
Indonesia, misalnya, KAA adalah bagian dari identitas diplomasi dan politik
luar negerinya. Mustahil untuk membayangkan adanya keberanian dari arsitek
utama diplomasi Indonesia untuk mengingkari identitas yang telah diletakkan
pada awalnya oleh Soekarno itu.
Diselenggarakan sekitar satu dasawarsa setelah Indonesia
merdeka, KAA akan selalu melekat sebagai bagian dari untaian narasi politik
luar negeri Indonesia sepanjang negeri ini hadir sebagai entitas
negara-bangsa. Terlebih lagi Dasasila Bandung yang dihasilkan dari KAA 1955
memuat sejumlah prinsip normatif yang hingga kini masih tetap mengemuka
di tataran internasional.
Sebagai contoh, jauh sebelum isu HAM muncul pada era gelombang
demokrasi politik 1990-an, penghormatan terhadap hak-hak fundamental manusia
ternyata telah tercantum sebagai prinsip pertama dalam Dasasila Bandung
tersebut.
Gaung dari sejumlah prinsip lainnya dari Dasasila itu juga hingga kini tetap terasa, seperti
penghormatan terhadap piagam PBB, keutuhan wilayah, kesetaraan ras dan
bangsa, penghindaran penggunaan
kekuatan bersenjata dalam penyelesaian sengketa, prinsip tidak ikut campur
tangan dalam masalah dalam negeri, dan pemajuan kerja sama internasional.
Atas dasar sejumlah prinsip normatif ini pula, KAA telah
memberikan inspirasi politik yang sangat kuat
untuk mendorong pembentukan berbagai kerja sama lainnya di antara
negara berkembang, seperti Gerakan
Non-Blok awal 1960-an, forum K-77, dan juga KSS yang muncul pada 1980-an.
Dengan perspektif normatif dan historis seperti ini, penguatan
KSS sebagai tema peringatan KAA kali ini adalah sesuatu yang dapat dipahami.
Tema ini setidaknya menyampaikan dua pesan penting berikut. Pesan pertama,
KSS adalah ekspresi simbolik bahwa dekolonisasi legal-formal melalui
pernyataan kemerdekaan tidaklah cukup. Fakta menunjukkan, dekolonisasi
puluhan tahun lalu tidak serta- merta mengakhiri kemiskinan dan ketimpangan.
Bagian terbesar dari penduduk dunia yang hidup dengan
pendapatan/ pengeluaran di bawah 1 dollar AS per hari sesungguhnya tetap
berada di negara berkembang. Ditinjau
dari perspektif ini, KSS adalah bagian dari jalan panjang yang harus ditempuh
negara berkembang untuk mewujudkan dekolonisasi legal-formal menjadi
dekoloniasi de facto itu. Intinya "Selatan" harus bekerja sama dan
saling membantu untuk mewujudkannya.
Dalam memberikan program bantuan, KSS memiliki dua karakter yang sangat
khas. Bantuan itu pertama-tama tidak
digerakkan oleh pasokan (supply driven)
seperti umumnya terjadi dalam pola tradisional negara maju ke negara
berkembang, tetapi berdasarkan kebutuhan dari negara penerima dan karena itu
dapat disesuaikan menurut kondisi negara penerima. Ini berarti pemetik
manfaat terbesar haruslah negara penerima bantuan.
Dalam pola tradisional sebaliknya yang terjadi. Bagian terbesar
dari bantuan itu mengalir kembali ke donor melalui mekanisme bantuan yang
mengikat (tied aid).
Karakter kedua adalah semangat untuk memolakan kerja sama
bantuan dalam posisi sederajat (equal footing). Ini berarti pemberi
bantuan sekali waktu dapat menjadi penerima bantuan. Hal ini dimungkinkan
karena basis kerja sama didasarkan pada pemikiran bahwa tiap negara
berkembang memiliki "keunggulan" dalam bidang-bidang tertentu ketika
menangani masalah-masalah pembangunan.
Pesan kedua, gagasan peningkatan KSS menyimbolkan adanya
keyakinan tentang terjadinya pergeseran peta geopolitik dan geo-ekonomi
dunia. Bipolar telah berakhir. Dunia kini tengah bergerak ke multipolar.
Karena itu potensi sumber pendanaan untuk KSS tidak hanya tersedia di negara
maju. Tiongkok, misalnya, telah muncul sebagai kekuatan baru (the rising power) bersama dengan
negara berkembang lainnya.
Patut dicatat bahwa menurut laporan PBB, setengah dari produk
domestik bruto (PDB) dunia pada 2012 dihasilkan oleh negara berkembang. Porsi
ini diperkirakan akan meningkat hingga sekitar 60 persen pada akhir dasawarsa
ini. Disebutkan pula bahwa nilai total KSS pada 2011 mencapai kisaran angka
antara 16,1 miliar dollar AS dan 19 miliar dollar AS. Aliran penanaman modal
langsung (PMA) atau foreign direct
investment (FDI) ke negara berkembang pada 2013 diperkirakan mencapai
angka sekitar 42 persen dari keseluruhan total FDI dunia.
Keyakinan terhadap adanya pergeseran peta geo-ekonomi dan
geopolitik ini pula yang telah
mendorong beberapa negara maju, Jepang misalnya, untuk ikut terlibat aktif
dalam pemberian bantuan untuk meningkatkan KSS. Melalui mekanisme triangular
relationship, kini dimungkinkan bagi negara maju untuk ikut berpartisipasi
dalam program bantuan KSS dengan syarat pelibatannya dilakukan melalui negara
berkembang.
Pengalaman yang sama, needs driven, dan dapat disesuaikan
menurut kebutuhan telah pula
memunculkan dukungan komunitas internasional yang cukup luas terhadap program
bantuan melalui KSS. Patut dicatat, telah terdapat desakan melalui mekanisme
Majelis Umum PBB untuk mencantumkan KSS sebagai bagian integral dari agenda
pembangunan setelah 2015.
Sejumlah tantangan
Di luar dua pesan penting
ini, KSS juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pada tataran internasional dan regional,
tantangan utamanya terkait dengan tidak terdapatnya organisasi tunggal yang
secara spesifik dibentuk khusus untuk menangani KSS. Di tingkat internasional
organisasi PBB, misalnya, kita hanya menemukannya sebagai bagian dari unit
kecil di UNDP yang dikenal dengan nama UNOSSC.
Di tingkat regional, perhatian organisasi regional terhadap KSS
juga sangat minimal karena fokusnya adalah pada gagasan perdagangan bebas dan
bukan pada pemberian bantuan.
Tidak adanya organisasi spesifik untuk penguatan KSS ini, pada
gilirannya telah menciptakan kesukaran untuk mendapatkan data deskriptif yang
baik tentang potensi keunggulan
negara-negara berkembang ketika menangani masalah-masalah pembangunan.
Kesukaran lainnya adalah tidak terdapatnya agenda dan komitmen yang kuat
untuk memobilisasi sumber- sumber pendanaan.
Walau tampak semakin
penting, KSS hingga kini tidak memiliki patokan seberapa besar sebenarnya
target nilai pemberian bantuan yang mau dicapai. Sebagai bahan perbandingan,
barangkali menarik untuk mencermati agenda bantuan pembangunan resmi (ODA)
negara maju ke negara berkembang.
Walau tidak terealisasi sepenuhnya, Komisi Pearson pada awal
1960-an, misalnya, telah merekomendasikan
target 0,7 PDB dari setiap
negara maju perlu dialokasikan sebagai bagian dari bantuan pembangunan resmi.
Komitmen seperti ini, sejauh yang diketahui, belum pernah muncul sebagai
agenda resmi untuk memperkuat KSS.
Tantangan lainnya berada pada tingkat nasional. Tidak semua
negara berkembang memiliki lembaga khusus yang menangani KSS. Dalam kasus
Indonesia, misalnya, tanggung jawab untuk KSS setidaknya berada di bawah tiga
instansi, yaitu Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Negara, dan Bappenas.
Pola tanggung jawab yang tersebar
dengan otoritas majemuk seperti ini tentu saja menciptakan beberapa
kesulitan.
Kesulitan pertama,
mengidentifikasikan data dan informasi tentang seberapa banyak
sebenarnya program KSS yang telah dilakukan oleh Indonesia, baik dari segi
program maupun jumlahnya. Kesulitan kedua, model koordinasi yang dilakukan
akan menciptakan kesulitan yang lebih besar untuk melakukan evaluasi terhadap
hasil (outcome) dari program bantuan yang diberikan melalui KSS itu.
Atas dasar pertimbangan ini, barangkali gagasan tentang one
single gate policy untuk semua program KSS ini perlu untuk segera diwujudkan
di Indonesia. Intinya adalah keseriusan untuk memajukan KSS haruslah diiringi
dengan keseriusan untuk penataan kelembagaan
baik pada tataran nasional, regional, dan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar