Bangsaku,
Jangan Bunuh Diri!
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 21 April 2015
Bunuh diri itu hak ataukah perbuatan pidana? Itulah pertanyaan
yang muncul dalam diskusi di kelas, pada kuliah Filsafat Hukum, Program Studi
Ilmu Filsafat di UGM beberapa hari lalu.
Sebagai pengampu mata kuliah, penulis memberi kebebasan kepada
mahasiswa untuk berpendapat sesuai dengan aliran filsafat hukum yang
diminatinya. Sungguh menarik. Tidak terbayang bahwa topik di diskusi itu
ternyata menjadi peringatan tentang fenomena sosial yang sedang melanda
negeri ini. Begitu banyak anak bangsa mengalami depresi kemudian bunuh diri.
Apakah, bangsa ini juga akan bunuh diri? Di Kediri, Jumat, 3
April 2015, satu keluarga (ayah, ibu, anak) bunuh diri. Dari sepucuk surat
tulisan tangan yang ditemukan polisi di tempat kejadian diketahui bahwa
keluarga itu merasa lelah, putus harapan, karena tekanan ekonomi. Di Subang,
Jumat, 3 April 2015, ditemukan sosok pria tanpa identitas tewas tergantung di
pohon mangga. Belum bisa dipastikan motif korban nekat mengakhiri hidupnya,
diduga karena depresi.
Di Aceh, Jumat, 3 April 2015, seorang anggota Provost Polres
Bireuen tewas diduga akibat bunuh diri dengan menggunakan senjata api
miliknya sendiri jenis revolver. Sebelum tewas, korban sempat menunaikan
ibadah salat Jumat dan menidurkan anak bungsunya. Di Makassar, 14 Maret 2015,
seorang karyawan distributor kopi ditemukan tewas gantung diri di sebuah
ruko, di Jalan Topaz Raya, Kecamatan Panakukkang.
Dari hasil olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan surat
wasiat yang ditulis korban. Di Makassar pula, Sabtu 04 Maret 2015, anggota
Provost Polsekta Manggala tewas bunuh diri, menembak kepala sendiri dengan
pistol. Di Jakarta, Sabtu, 4 April 2015 seorang pria berniat bunuh diri
dengan cara meloncat dari jembatan penyeberangan orang di Semanggi. Banyak
kasus bunuh diri lainnya, tidak mungkin seluruhnya dimuat dalam halaman
terbatas ini.
Kasus-kasus bunuh diri tersebut membuka mata, betapa rapuhnya
pertahanan diri saudara-saudara kita menghadapi gempuran masalah kehidupan,
sekalipun kadang sepele misalnya karena beban ekonomi, cemburu, atau suatu
penyakit. Kita iba, prihatin, dan perlu peduli. Sangat tidak tepat memahami
bunuh diri (mati) sebagai hak, sebagaimana hak untuk hidup.
Hidup dan kehidupan adalah anugerah Tuhan. Perlu disyukuri,
dinikmati, dan dimanfaatkan sebagai kesempatan beribadah. Bahwa dalam
kehidupan tidak pernah sepi dari masalah telah menjadi keniscayaan. Masalah
itu dapat dimaknakan sebagai ujian. Apabila lulus, derajat kehidupan,
kebahagiaan, lebih meningkat. Ujian perlu dihadapi dengan kesiapan mental dan
semangat juang. ”Dunia tidak sesempit daun kelor”.
Alkisah, diceritakan oleh ahli spiritual, suatu hari Nasrudin
bertanya lembut kepada Tuhan: ”Kenapa saya diberi istri cantik?” Dengan sejuk
Tuhan menjawab: ”Itu sebabnya kamu memilih dia.” ”Sudah cantik lembut lagi
Tuhan,” kata Nasrudin. Lagi-lagi Tuhan menjawab dengan jawaban yang sama:
”Itulah sebabnya kamu memilih dia.” Sebelum pamitan sama Tuhan, dengan penuh
permintaan maaf Nasrudin bertanya: ”Kenapa istri saya bodoh sekali?”
Dengan tenang Tuhan menjawab: ”Itulah sebabnya dia memilih
kamu.” Saya mencoba merefleksikan kisah kocak di atas pada kehidupan
bernegara. Pascareformasi 1998, begitu banyak harapan untuk hidup lebih
demokratis, ada penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM). Para eksponen
reformasi tidak mau hidup dalam suasana depresi karena tirani kekuasaan.
Muncullah banyak tokoh politik yang maunya hanya demokrasi dan
HAM lebih baik. Noda kecil saja yang mengganggu demokrasi dan HAM dikritik
habis-habisan. Mereka lupa bahwa konsep demokrasi dan HAM tidak tunggal,
melainkan bersifat dinamis kontekstual. Itulah sebabnya, ketika ego (keakuan)
dan kebodohan menyembul kuat, konflik berdemokrasi dan HAM sulit dicari dasar
penyelesaiannya.
Kehidupan demokratis dan manusiawi dalam bernegara tidak muncul
tiba-tiba, kecuali ada usaha sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa.
Diibaratkan taman surga, bunga-bunga indah nan mewangi tidak tumbuh alamiah,
melainkan ditanam dengan memilih bibit berkualitas terbaik, disiram secara
ajek, diberi pupuk, dan diproteksi dengan obat-obatan hama.
Bibit-bibit bunga indah itu sebenarnya ada di bumi pertiwi. Para
founding fathers telah memberi
contoh, bagaimana menggali nilai-nilai Pancasila untuk dirumuskan sebagai
dasar negara. Perjuangan seperti itulah yang perlu dilakukan untuk mewujudkan
demokrasi dan HAM yang cocok untuk Indonesia.
Sayangnya, amat langka eksponen reformasi yang paham tentang arti
kepekaan filosofis-ideologis dalam rangka menyuburkan demokrasi dan HAM di
Indonesia. Lihatlah, saling jegal antarpartai politik, saling sikut
antarsesama pelaku bisnis, saling terkam antarsesama penegak hukum. Tidak ada
niatan kerja sama, gotong-royong, bahu-membahu.
Orientasinya pada kemenangan, bukan pada keharmonisan. Wajar dan
rasional, siapa pun dalam posisi lemah akan menjadi korban. Siapa pun yang
kalah, menjadi korban, beban ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya
semakin berat. Tak berdaya, frustrasi, dan ujungnya depresi. Maraknya kasus
bunuh diri, dalam perspektif psikolog hukum, terjadi karena pelakunya
mengidap depresi berat.
Sejujurnya, bangsa
ini sedang mengidap depresi, ada yang pada tingkat rendah, sedang, maupun
berat. Lilitan utang luar negeri, hilangnya kedaulatan atas penguasaan sumber
daya alam, tekanan pasar bebas, maraknya korupsi, peredaran narkoba,
menjadikan sebagian penyelenggara negara depresi. Ketika tekanan psikologis
sedemikian kuat, sementara mentalitas filosofis-ideologis rapuh, saling
menjegal, saling sikut, dan menindas rakyat dengan beban pajak menjadi
pilihan.
Warga negara yang tak mampu menyiasati kehidupan yang serba
hedonistik dan materialistik cenderung memilih bunuh diri. Selayaknya bangsa
ini melakukan otokritik, dengan menjawab pertanyaan, ketika kasus bunuh diri
semakin marak, ”Apa yang salah dengan
bangsa ini, jangan-jangan dalam proses menuju kehancuran, bunuh diri?” Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar