Investasi,
Utang, dan Kemandirian Bangsa
Hendrik Kawilarang Luntungan ; Wakil
Sekjen Bidang Ekonomi DPP Perindo;
Alumni The Australian National University
|
KORAN SINDO, 21 April 2015
Beberapa waktu lalu, dalam interval dan kesempatan berbeda,
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla beserta rombongannya
masing-masing berkunjung ke beberapa negara ekonomi maju Asia antara lain
China, Jepang, dan Singapura.
Tujuannya sama: mengundang lebih banyak lagi investasi mereka ke
Tanah Air. Tentu disertai jaminan berbagai kemudahan. Singapura kini tercatat
sebagai penanam modal terbanyak setelah beberapa waktu sebelumnya dipegang
Taiwan. Dalam banyak sisi, tujuan lawatan pemerintahan baru Republik
Indonesia ini tidak banyak berbeda dengan cara rezim Orde Baru yang selalu
mengandalkan utang asing.
Orde Baru, seperti kita ketahui bersama, sedari awal
terbentuknya memang telah membuka lebar-lebar pintu penanam modal asing di
seluruh sektor kehidupan rakyat. Sepanjang perjalanannya, perekonomian Orde
Baru tak pernah terlepas dari rezim utang asing. Ironisnya, hingga rezim ini
berakhir, utang Indonesia tetap saja menggunung. Sejarah mencatat: naik dan
runtuhnya Orde Baru akibat utang.
Dalam buku-buku teks ekonomi, apa yang disebut investasi memang
beda dengan utang. Namun, pada hakikatnya mirip. Di balik investasi dan utang
berdiri kepentingan pemberinya. Tak ada yang gratis dan murni dalam bisnis.
Semuanya punya hitungan. Termasuk untuk apa yang disebut sebagai success fee,
rente buat mediator investasi atau utang.
Maret 2014, Bank Indonesia melaporkan utang luar negeri
Indonesia USD276,5 miliar (lebih dari Rp3.250 triliun dengan kurs Rp13.000).
Ini angka bombastis dalam sejarah Indonesia berdiri. Besarnya utang ini akan
menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia. Sudah saatnya rezim utang
tersebut diakhiri.
Perbankan Indonesia belum terlalu kuat sebagai penyangga
perekonomian nasional dengan APBN Rp2.000 triliun dan GNP mendekati USD500 miliar.
Perbankan kita masih tertinggal di kawasan ASEAN. Hanya tiga yang masuk
listing15 bank besar di ASEAN yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia
(BRI), dan Bank Central Asia (BCA).
Sementara urutan tiga bank besar di regional ini milik
Singapura: DBS, UOB, dan OCBC. Per 2013, kredit perbankan kita mencapai
Rp3.045,51 triliun, 30%-nya disalurkan ke perusahaan publik. Hanya 25%
disalurkan ke sektor produktif. Artinya, sebagian besar kredit perbankan
masih disalurkan ke sektor non-tradableatau yang tidak berdampak kepada
penyerapan angkatan kerja secara tetap seperti properti dan konsumsi produk
impor.
Makanya, selama 10 tahun belakangan kita menciptakan ekonomi
balon. Membesar, tapi tidak berisi. Kalau ada, isinya udara. Ini kemudian
menjadi penyebab ada kemakmuran semu. Walau BI membuat ketentuan minimum 20%
dana perbankan harus disalurkan untuk kredit usaha kecil, belum sepenuhnya
tercapai. Sebagian besar kredit perbankan nasional masih untuk konsumsi bukan
produksi.
Jumlah UMKN saat ini mencapai 56,5 juta unit dan 98,9% adalah
usaha mikro. Sedangkan jumlah koperasi di Indonesia mencapai 200.808 unit.
Mengapa bisa demikian? Jawabannya mungkin lebih mengenaskan lagi: karena
lebih dari 50% saham perbankan kita sudah dikuasai asing. Artinya, lebih Rp1.551
triliun dari total aset perbankan Rp3.065 triliun dikuasai asing.
Bagaimana kita bisa berharap mereka membela kepentingan nasional
dan peduli kepada program wong cilikdan kemandirian bangsa? Presiden Jokowi
dan Wapres JK harus putar cara berpikir. Hentikan Indonesia dijadikan pasar
lagi. Stop mengemis utang dari asing. Cara berpikir harus diubah ke Indonesia
yang lebih produktif. Asing tetap kita butuhkan kehadirannya di republik ini
untuk ikut menopang pembangunan, tetapi hanya sebagai pelengkap.
Ideologi ekonomi yang semacam itu hanya bisa diwujudkan dengan
mengembangkan kebijakan regulasi nasional dan daerah yang acuan dasarnya
adalah UUD 1945 Pasal 33. Sayangnya, bangsa ini sudah terlalu jauh
menempelkan ideologi ekonominya kepada ideologi liberal. Bila ini tidak bisa
diubah, sudah hampir pasti, pembangunan ekonomi di negeri ini tetap akan
diabdikan kepada kepentingan asing.
Gagasannya mirip dengan Indonesia Incorporatedyang sudah
menggema di era-80-an. Sayangnya, gagasan ini lebih enak dikonsumsi sekadar
menjadi slogan ketimbang menjadi langkah nyata. Pemerintah harus bersinergi
dengan pengusaha nasional karena sebenarnya mereka sudah teramat mampu.
Jokowi-JK harus tumbuhkan pengusaha-pengusaha muda nasional dengan cara
permudah akses kredit melalui bank-bank nasional.
Itulah gunanya bank BUMN untuk menjadi promotor kebijakan
ekonomi pemerintah. Bukan jadi bank yang 100% komersial. Kemudian dari situ
tumbuhkan pengusaha-pengusaha daerah. Bukan rahasia lagi jika pengusaha
daerah sulit mendapat kredit produktif. Selalu harus melalui persetujuan
pusat (Jakarta). Sekarang akses modal untuk usaha besar hanya bisa diakses
dari Jakarta.
Bagaimana daerah bisa maju? Padahal, yang lebih mengetahui medan
bisnis lokal adalah para pengusaha lokal. Terpikirkah pemerintah jika ada
orang tak mampu, namun memiliki ide brilian dan butuh dorongan modal usaha.
Melemahnya rupiah belakangan ini momen yang tepat untuk terjadi konsolidasi
perbankan nasional dan reorientasi visi dari komersial semata menjadi agent
of development. Indonesia terlalu besar untuk jatuh.
Mengapa? Sedikitnya ada enam alasan. Pertama, jumlah penduduk
yang besar yakni sekitar 240 juta jiwa. Kuantitas sebanyak itu pasar yang
menarik. Kedua, sumber daya alam yang berlimpah di sektor pertanian dan
pertambangan. Ketiga, Indonesia memiliki bonus demografi hingga 20-30 tahun
ke depan, di mana sekitar 50% dari jumlah penduduk adalah kelompok usia
produktif, yang akan merupakan engine of economy growth.
Kekuatan keempat yang dipunyai Indonesia adalah cadangan devisa
yang besar. Kelima, Indonesia memiliki kestabilan politik di kawasan. Keenam,
kekuatan ekonomi Indonesia terletak pada capaian peringkat layak investasi
dari sejumlah lembaga pemeringkat internasional. Menjelang peringatan Hari
Kebangkitan Nasional Ke-107 beberapa saat lagi, sudah seharusnya menjadi
perenungan kita bersama:
Apa makna kebangkitan? Apakah proses bangkitnya suatu bangsa
harus melalui modal-modal asing? Dan, apakah peran asing itu pada gilirannya
bisa membuat kita mandiri? Indonesia bukanlah suatu bangsa dan negara yang
lahir dari belas kasihan. Bukan juga yang lahir dari pecahan konflik
internal. Terlebih lagi, bukan suatu negara bangsa yang lahir dari suatu
konspirasi internasional.
Indonesia adalah suatu negara bangsa yang dilahirkan dari
perjuangan panjang rakyat yang maha dahsyat untuk merebut kemerdekaan dari
kolonial. Satu negara bangsa yang lahir dari pergulatan The Founding Fathers.
Perjuangan merebut kemerdekaan merupakan buah dari kesadaran kolektif bangsa
Indonesia yang terbentuk dari kondisi objektif dan keinginan untuk suatu
cita-cita bangsa yang lebih baik di masa yang akan datang.
Pergeseran kekuatan global ke timur tak terelakkan lagi. Karena
itu, Indonesia harus membangun kekuatan ekonominya dari dalam agar tidak
hanya tercatat sebagai objek sejarah. Seperti Jepang dan Korea Selatan yang
mampu membangun negaranya dengan kekuatan nasionalisme bangsanya yang sangat
tinggi. Hingga sekarang.
Kita memerlukan pemimpin nasional yang punya nyali besar
membangkitkan semangat nasionalisme memajukan Indonesia, yang memiliki
komitmen politik dan bersedia menggelar karpet merah bagi pengusaha-pengusaha
nasional dan daerah untuk kemajuan ekonomi bangsa. Setelah kebangkitan ini
barulah kita bisa menatap datangnya kemandirian bangsa.
Kita perlu merenung tentang dosa yang sudah kita perbuat.
Membaca dan memahami apa yang disampaikan tokoh kemanusiaan dunia Mahatma
Gandhi: kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu tanpa
kemanusiaan, ilmu tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa
moralitas, ibadah tanpa pengorbanan. Selamat merenung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar