Tak
Ada Superhero
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS, 29 April 2015
Dalam cerita fiksi,
orang jujur selalu memenangi pertarungan melawan orang jahat. Seorang
pendekar dielu-elukan warga setelah jurusnya yang mematikan mampu merobohkan
gembong penjahat. Warga akhirnya lega mendapat pembebasan dari sang
superhero. Kehidupan normal kembali. Pembaca lega dan bisa tidur nyenyak.
Begitulah peran dan
fungsi superhero sebagai pembebas,
seolah-olah sudah dibakukan alias menjadi konvensi karakter tokoh dalam
cerita silat versi komik. Si Buta dari Gua Hantu (Ganes TH) mampu mengalahkan
hegemoni Si Mata Malaikat. Begitu pula Panji Tengkorak (Hans Djaladara),
Parmin, Pendekar Gunung Sembung (Djair), dan para superhero lain ciptaan Teguh
Santosa, Jan Mintaraga, Hasmi, serta komikus lain. Superhero serupa institusi
nilai di mana para pembaca komik menemukan sosok ideal, panutan moral.
Era kejayaan komik
silat khas Indonesia memang telah lewat, berkat ketakpedulian negara
memproteksi. Namun, komik telah membentuk kultur naratif generasi pembacanya
mengenali konflik nilai, benturan berbagai watak tokoh, sekaligus
penyelesaian konfliknya. Dalam diri pembaca, minimal tersisa keyakinan bahwa
kejahatan bisa di- hancurkan oleh kebenaran. Imajinasi selalu lebih kaya
daripada realitas di mana manusia menemukan kembali dunia ideal.
Berhadapan dengan
realitas yang dikonstruksi kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
publik tidak menemukan sosok superhero. Persoalan terlalu kompleks. Jika
ribuan Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, atau Gundala Putra Petir
didatangkan pun, mereka tak mampu menghadapi gembong penjahat riil yang
mengangkangi berbagai lini kehidupan, baik di level negara maupun di level
masyarakat. Dunia realitas adalah dunia darah-daging yang dikendalikan kuasa
politik, modal, sosial, dan budaya yang tak tunduk pada etika dan moralitas.
Dunia komik adalah dunia fiksi: nilai-nilai ideal dihadirkan untuk secara
sengaja dimenangkan sang kreator.
Di dalam fiksi, orang
boleh bermimpi tentang segala yang ideal, surgawi. Namun, di dalam realitas,
imajinasi mereka diatur dan ditertibkan oleh kekuasaan yang tak menghendaki
nilai-nilai ideal itu terwujud. Justru di dalam distorsi atau jungkir-balik
nilai-nilai itu, para penguasa, para penghamba materi dapat untung. Bahkan,
distorsi nilai itu sengaja dibuat agar seluruh sistem ideal hidup
bermasyarakat dan bernegara tak jalan, stagnan, beku, atau macet. Di sini
para penguasa dan perekayasa sosial, politik, hukum, ekonomi, dan budaya meraih
kemenangan.
Mengakali peraturan
Jangan kaget jika kita
menemukan hakim yang sangat cerdik, tetapi pura-pura bodoh ketika ia
mengakali peraturan dan undang-undang, demi memenangkan seorang koruptor
berseragam resmi atau berdasi. Jangan heran pula jika institusi antikorupsi
sengaja dilumpuhkan karena terlalu berbahaya bagi kaum koruptor berkuasa.
Bagi para penyelenggara bermental korup, negeri ini tak lebih dari koloni
kekayaan untuk dijarah. Sambil melantunkan lagu "Indonesia Raya",
mereka membobol APBN, APBD, atau mengeksploitasi jabatan dan kekuasaannya
meraup untung pribadi.
Negeri ini sudah
bangkrut nilai, etik, dan moral. Banyak orang berubah jadi predator yang
melaksanakan kekejaman dengan cara sopan. Karena itu, tak terlalu bermakna
ketika muncul sedikit orang baik sebagai pemimpin. Sepuluh atau seratus orang
baik tak akan mampu berbuat apa-apa menghadapi ratusan ribu bahkan jutaan
orang bermental korup. Kekuasaan selalu berurusan dengan perimbangan
kekuatan.
Krisis nilai negeri
ini disebabkan korupsi yang dilakukan politik kartel, oligarki, maupun mafia.
Negeri ini amat membutuhkan ribuan bahkan jutaan penyelenggara negara ala
Eliot Ness, penegak hukum jujur
berani yang mampu melumpuhkan gembong
mafia Al Capone (film Untouchables
karya Brian De Palma, 1987). Negeri ini telah dikuasai jutaan Al Capone.
"Al caponisme" merasuk ke dalam darah dan sumsum para penjarah.
Prinsip "tak tersentuh hukum"
mereka wujudkan dengan cara apa pun. Kaum al-capone itu harus dihadapi
bersama: penyelenggara negara jujur bisa bersatu dengan jutaan rakyat
melakukan gropyokan korupsi/koruptor, serupa komunitas petani menggropyok
tikus-tikus di sawah mereka.
Kita tidak berada di
dunia komik, di mana kita bisa tidur nyenyak karena masih ada superhero.
Jangan sampai anak cucu kita bangga berkata, "Saya adalah keturunan koruptor sejati, kaya raya, dan tak
tertangkap!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar