Mahalnya
Memaknai Proses Hukum
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa
45, Makassar
|
KORAN SINDO, 27 April 2015
Ada dua proses hukum yang patut
ditelisik yang terjadi pada minggu ketiga April 2015. Pertama, saat terdakwa
Sutan Bhatoegana dalam nota keberatan (eksepsi) yang ditulis sendiri berjudul
”Mahalnya Arti Sebuah Kejujuran” dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta (20/4/2015). Kedua, saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) yang jadi tersangka dugaan mengarahkan
saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan
kepala daerah di Mahkamah Konstitusi pada 2010.
Saat BW diperiksa penyidik Badan
Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri (23/4/2015), heboh diberitakan di
media online bahwa ia akan ditahan. Tapi setelah diperiksa selama 4 jam,
Bareskrim Polri memutuskan tidak menahan BW. Alasannya karena BW dinilai
kooperatif dalam menjalani pemeriksaan. Pembatalan penahanan menimbulkan pertanyaan,
sebab sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwwa BW akan ditahan (KORAN SINDO , 24/4/2015).
Dugaan adanya intervensi dari luar sehingga BW tidak ditahan
mencuat ke ruang publik. Boleh jadi karena ada kekhawatiran akan timbul riak
politik dan kecaman publik, terutama dari para aktivis dan pengamat
antikorupsi. Meskipun dibantah, pimpinan KPK juga menggelar konferensi pers
atas kabar penahanan yang simpang-siur.
Menurut Plt Ketua KPK Taufiqurachman Ruki, plt pimpinan KPK
lainnya Johan
Budi sudah menelepon
langsung Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menanyakan perihal penahanan
itu (Kompas , 24/4/ 2015).
Kapolri menyebut tidak ada
penahanan terhadap BW karena selain belum ada hal yang urgen dan perlu
berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung soal kelengkapan berkas penyidikan, juga
yang bersangkutan koperatif. Namun BW diharapkan oleh petinggi penegak hukum
berbaju cokelat itu tidak memprovokasi penyidik dengan menyebut dirinya
dikriminalisasi dan tetap bersikap kooperatif.
Substansi
Kejujuran
Pada peristiwa pertama yang patut
ditelisik, Sutan menyebut dirinya menjadi korban jargon KPK mengenai adagium
yang selalu digaungkan ”berani jujur itu hebat”. Sutan mengaku ”ketika
dirinya jujur, kok malah dijerat”. Penulis buku Ngeri-Ngeri Sedap Menggoyang Senayan yang cukup perspektif itu
sepertinya mengeluarkan semua unek-uneknya di depan pengadilan.
Sutan menyebut dirinya selalu
menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya sehingga banyak mendapat
tawaran menjadi narasumber. Sebagai simbol politisi yang bersih, Sutan
menyebut mendapat apresiasi dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dengan memberikan kata sambutan pada bukunya.
Sutan juga tidak memasalahkan
dakwaan jaksa, hanya mengeluhkan apa yang dirasakan selama diproses KPK.
Tentu Sutan mengkritik KPK atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi
(hadiah) atau janji dari Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Waryono Karyo saat menjabat sebagai ketua Komisi VII DPR periode 2009-2014.
Ia merasa selalu jujur dalam
kehidupannya sesuai dengan keinginan KPK tentang kehebatan jika berani jujur,
baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat maupun dalaman mengelola
kekuasaan. Tapi eksepsi Sutan dijawab Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Dody
Sukmono, dalam sidang Pengadilan Tipikor (23/4/2015) bahwa eksepsi Sutan
hanya curahan hati (curhat) atas kasus yang sedang membelitnya.
Memaknai substansi sebuah
kejujuran, bisa saja dikaji dari sisi penggunaan justice collaborator (JC).
JC merupakan salah satu cara yang diberikan dalam proses hukum dengan syarat
secara sukarela bekerja sama dengan penyidik atau penuntut umum membongkar
siapa saja yang terlibat dalam perkara pidana itu.
JC bisa diberikan sesuai dengan
Surat Edaran MA Nomor 4/2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice
Collaborator yang diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama antara LPSK,
Kejaksaan Agung, kepolisian, KPK, dan MA. Ada beberapa syarat penerapan JC
dalam SE-MA tersebut.
Pertama, hanya berlaku pada tindak
pidana tertentu, serius dan/atau terorganisasi. Korupsi merupakan salah satu
tindak pidana yang serius, terorganisasi, bahkan kejahatan luar biasa
lantaran melanggar hakhak sosial dan ekonomi rakyat. Kedua , pelakunya bukan
pelaku utama dan mengakui perbuatannya. Ketiga, bersedia menjadi saksi dalam
proses peradilan untuk membongkar semua yang terlibat. Keempat, mengembalikan
semua aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Apakah Sutan akan bekerja sama
mengungkap siapa pelaku yang lain, sebab yang terbaca dalam eksepsinya bukan
mengakui apa yang didakwakan? Tanpa bermaksud mendikte perkara itu karena
”asas praduga tak bersalah” harus dikedepankan, sikap jujur yang didengungkan
itu tidak akan berarti apa-apa dari aspek pembuktian.
Sebab informasi dari pelaku JC
akan dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan
itu. Namun hal itu berguna bagi pelaku JC. Kesaksian dan informasinya akan
meringankan hukumannya, bahkan dapat dibebaskan dari hukuman.
Pertimbangan
Penahanan
Pada peristiwa kedua soal
pertimbangan atau alasan tersangka atau terdakwa dikenakan penahanan, perlu
menyimak ketentuan KUHAP yang saya kira sudah sering didengar publik.
Penahanan dikenakan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
hakim di sidang pengadilan.
Dalam Pasal 21 KUHAP diatur
tentang syarat formal penahanan, yaitu harus ada surat perintah penahanan dan
ditembuskan kepada keluarga yang ditahan sesaat setelah penahanan. Ada juga
syarat materiil yang dibagi atas dua penilaian. Pertama, penilaian objektif,
yaitu ada dugaan keras bahwa tersangka/ terdakwa telah melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Begitu pula tindak pidana yang
dilakukan–termasuk percobaan dan pembantuan–diancam pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih (Pasal 21 ayat 4 hurufa KUHAP). Atau melakukan tindak pidana
yang ancaman pidananya kurang dari 5 (lima) tahun penjara seperti diatur
dalam Pasal 21 Ayat (4) huruf-b KUHAP. Misalnya melanggar Pasal 282 ayat (3),
Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 372, atau Pasal 378 KUHPidana.
Kedua, penilai subjektif yang
digunakan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang akan melakukan
penahanan. Yang dinilai secara subjektif adalah (a) ada kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa
akan merusak atau menghilangkan barang bukti, (b) ada kekhawatiran
tersangka/terdakwa akan melarikan diri, dan (c) ada kekhawatiran
tersangka/terdakwa akan mengulangi tindak pidana yang dilakukannya.
Timbul pertanyaan publik, apakah
tersangka yang berbicara di ruang publik atau disebut memprovokasi kalau
dirinya ditetapkan tersangka karena diduga kriminalisasi, bisa dijadikan
dasar dan alasan penahanan? Ini tidak dijelaskan dalam KUHAP, kecuali dinilai
lagi secara subjektif memengaruhi penyidikan.
Tapi kebiasaan selama ini di KPK,
tersangka ditahan–kecuali tertangkap tangan–apabila berkas perkara penyidikan
atau pemeriksaan (BAP) sudah mendekati rampung dan siap dilimpahkan ke
penuntutan. Boleh jadi KPK beralasan karena saat BAP dinyatakan lengkap oleh
jaksa pemeriksa, semua barang bukti dan tersangka harus diserahkan.
Apakah seperti itu yang terjadi
pada BW sehingga sempat beredar berita akan ditahan meski BAP belum
dilimpahkan ke kejaksaan? Kalau memang penilaian subjektif penahan terpenuhi,
itu kewenangan penyidik.
Mengenai klaim dugaan
kriminalisasi, tentu harus dibuktikan dalam proses hukum, mulai dari
penyidikan sampai pembuktian di depan sidang pengadilan, apakah dakwaan
terbukti atau tidak. Ternyata begitu mahal memaknai proses hukum di negeri
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar