Menyoal
Hukuman Mati terhadap Buruh Migran
Wahyu Susilo ; Analis
Kebijakan Migrant CARE
|
KORAN SINDO, 22 April 2015
Pekan lalu, hanya berselang sehari, dua buruh migran Indonesia
yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Arab Saudi harus
menghadapi eksekusi mati setelah segala upaya pembebasannya (baik melalui
upaya hukum dan pemaafan) menemui jalan buntu.
Beberapa laporan media asing mengungkapkan bahwa eksekusi
terhadap Siti Zaenab dan Karni ini bagian dari ”eksekusi massal” terhadap
puluhan orang asing yang dijatuhi hukuman mati dalam minggu kemarin.
Kementerian Luar Negeri RI dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa dua
eksekusi tersebut berlangsung tanpa notifikasi yang diberikan kepada
Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi.
Setelah eksekusi Siti Zaenab, Duta Besar Kerajaan Arab Saudi
untuk Indonesia dipanggil Kementerian Luar Negeri RI dan menjanjikan akan
mengomunikasikan protes Pemerintah Indonesia mengenai eksekusi tanpa
notifikasi tersebut. Namun, dalam kenyataannya, hanya selang waktu sehari,
eksekusi tanpa notifikasi kembali terjadi dan dilakukan terhadap Karni.
Realitas tersebut memperlihatkan bahwa memang hingga saat ini
ada arogansi dari otoritas Arab Saudi untuk tetap melaksanakan eksekusi
terpidana mati tanpa notifikasi. Tentu saja ini tak boleh ditoleransi oleh
Pemerintah Indonesia. Persoalan lain yang juga menjadi sorotan mengenai eksekusi
mati terhadap buruh migran Indonesia di Arab Saudi adalah kinerja diplomasi
dan politik luar negeri Indonesia.
Terakumulasinya jumlah buruh migran Indonesia terancam hukuman
mati yang jumlahnya ratusan adalah bentuk kegagalan diplomasi perlindungan
buruh migran Indonesia masa lalu yang akan terus berlanjut hingga saat ini
jika tidak ada perubahan mendasar dari postur diplomasi dan politik luar
negeri Indonesia.
Migrant CARE sejak 2005 telah mengingatkan Pemerintah Indonesia
akan kemungkinan ada eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia di Arab
Saudi dan Malaysia. Saat itu Migrant CARE mengadvokasi kasus Adi bin Asnawi,
buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia, dan
bersama-sama Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melanjutkan
advokasi pembelaan terhadap Siti Zaenab yang eksekusinya sempat ditunda
berkat high level diplomacy yang dilakukannya.
Dari pengalaman advokasi kasus Adi bin Asnawi (yang akhirnya
dibebaskan pada 2009) terungkap bahwa di penjara tempat Adi bin Asnawi
ditahan terdapat ratusan buruh migran Indonesia yang mengalami kasus serupa.
Sementara dari kasus Siti Zaenab terungkap bahwa upaya penundaan eksekusi
yang sempat berhasil diperoleh dari advokasi Presiden Gus Dur ternyata tidak
dilanjutkan lagi oleh presiden penerusnya, Megawati Soekarnoputri dan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Kasus Siti Zaenab baru mulai dibuka kembali setelah eksekusi
mati terhadap Ruyati terjadi pada Juni 2011. Eksekusi ini terjadi hanya
berselang empat hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan
pidato utama di sidang International
Labour Conference di Jenewa dengan pernyataan bahwa Indonesia sudah
sangat maksimal memberikan payung regulasi untuk perlindungan buruh migran
Indonesia yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Eksekusi mati terhadap Ruyati juga membuka kotak Pandora
mengenai realitas hukuman mati yang dihadapi buruh migran Indonesia yang
sebelumnya menjadi informasi gelap tersumbat rapat-rapat dan tak pernah
tersampaikan ke pemerintah pusat. Dari hasil investigasi terhadap beberapa kasus
hukuman mati yang dialami oleh buruh migran Indonesia, ketertutupan informasi
dari otoritas negara tujuan dan pasifnya diplomasi perlindungan buruh migran
Indonesia menyebabkan keterlambatan dalam upaya pembelaan melalui mekanisme
peradilan.
Dalam kasus Ruyati terungkap bahwa hingga divonis mati, Ruyati
tidak didampingi pengacara, penerjemah, tenaga kesehatan, serta layanan
konseling. Di mana pun tempatnya, terdakwa yang menghadapi ancaman hukuman
mati wajib mendapatkan layanan bantuan hukum, penerjemah, layanan konseling,
dan kesehatan.
Data-data buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati
seharusnya disampaikan sebagai data mendesak kepada Presiden agar bisa
dijadikan bahan diplomasi tingkat tinggi (high
level diplomacy) seperti yang pernah dilakukan Presiden Abdurrahman
Wahid. Kuat dugaan, selama ini datadata buruh migran Indonesia yang terancam
hukuman mati tersembunyi rapat di laci-laci karena tak bisa dilaporkan
sebagai dokumen ”asal bapak senang” (ABS).
Dilema lain yang juga menjadi rintangan bagi advokasi pembelaan
buruh migran Indonesia adalah masih berlakunya penerapan pidana mati (dan
eksekusinya) dalam hukum positif Indonesia. Ini membuat upaya pembebasan
buruh migran Indonesia terancam hukuman mati yang dilakukan Pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak memiliki legitimasi politik dan moral.
Jika Presiden Jokowi benarbenar ingin melindungi buruh migran
Indonesia sebagai perwujudan ”negara hadir” sebagaimana yang dituliskan dalam
visi-misi Nawacita, dia harus meneladani apa yang dilakukan mantan Presiden
Abdurrahman Wahid dengan melakukan high
level diplomacy langsung dengan kepala negara/pemerintahan di mana
terdapat buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Selain itu,
secara domestik juga harus membuat peta jalan yang komprehensif untuk
mengakhiri pidana mati dalam hukum positif di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar