Peringatan
60 Tahun KAA
Makarim Wibisono ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 20 April 2015
Kepala-kepala negara, menteri-menteri, dan pejabat-pejabat
tinggi dari Asia dan Afrika mulai berdatangan ke Jakarta dan Bandung dalam rangka
memperingati Konferensi Asia Afrika. Mereka akan menghadiri Konferensi
Tingkat Tinggi dalam rangka Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika yang
akan didahului oleh Konferensi Tingkat Menteri dan Konferensi Tingkat Pejabat
Tinggi.
Kalau Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 hanya dihadiri 29
delegasi dari Asia dan Afrika, KAA 2015 yang berlangsung 19-24 April 2015
dihadiri oleh delegasi dari 109 negara dan 41 wakil organisasi internasional
serta pengamat. Melihat persiapan perhelatan raya ini, ada yang
mempertanyakan apakah "Semangat Bandung" dan solidaritas bangsa
Asia dan Afrika yang efektif di zaman bipolarisme itu masih cocok dan relevan
dalam konteks baru multipolarisme?
Konteks bipolarisme
Dalam periode tahun 1950-an, dunia berada di dalam sistem yang
berkubu pada dua kutub, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Menteri
Luar Negeri AS John Foster Dulles telah menarik garis yang tegas dan
memberikan alternatif terbatas pada negara-negara yang baru merdeka; apakah
negara Anda bersama AS atau menjadi lawannya. Konstelasi politik semacam ini
sangat membatasi ruang gerak negara-negara Asia dan Afrika.
Oleh karena itu, kata-kata "kemiskinan" dan
"keterhinaan" berkumandang di Gedung Merdeka Bandung 1955 sebagai
identitas bersama. Timbul rasa kebersamaan yang kohesif tecermin dalam
"Semangat Bandung" melawan campur tangan asing dan menghentikan
kesewenang-wenangan negara besar terhadap negara kecil atau lemah.
Menghadapi tantangan tersebut, dirumuskan Dasasila Bandung yang
menghimpun aspirasi yang muncul dari kegalauan yang dirasakan di Asia dan
Afrika. Secara cerdas telah disusun prinsip-prinsip yang bagaikan zamrud
dalam untaian konsep yang jitu. Mulai dari penghormatan pada kedaulatan
negara dan integritas wilayah, persamaan semua negara besar dan kecil,
non-intervensi, tidak campur tangan dalam urusan internal negara lain,
penyelesaian sengketa secara damai, penghormatan pada hak asasi manusia (HAM)
fundamental, mendorong kerja sama dan kepentingan bersama, hingga
penghormatan pada keadilan dan kewajiban internasional.
Ini kemudian diakui sebagai benih-benih multilateralisme yang
mendorong lahirnya Gerakan Non-Blok dan menjadi pola pegangan PBB dalam
mendorong terjadinya konsensus.
Tokoh-tokoh karismatik, seperti Soekarno, Nehru, Gamal Abdel
Nasser, U Nu, dan Chou En Lai, berpengaruh besar dalam mendorong kesepakatan
dan tidak saja berbicara di ruang sidang di Gedung Merdeka, tetapi juga
berpidato dalam rapat raksasa di alun-alun terbuka yang dihadiri oleh publik
secara luas. Semangat Bandung menggelora bukan hanya di kalangan elite,
melainkan juga di kalangan massa.
Program mengatasi kemiskinan dalam rangka kerja sama
Selatan-Selatan juga berhasil disusun oleh Komite Ekonomi. Pada pokoknya
solidaritas Asia-Afrika diarahkan untuk mendorong kemajuan ekonomi melalui
kerja sama teknik, pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas dan
memajukan kualitas sumber daya manusia.
NAASP
Berbeda dengan kesepakatan yang dihasilkan Komite Politik,
program-program kerja sama Asia-Afrika di bidang ekonomi dan kebudayaan
miskin pelaksanaan sehingga gaungnya meredup. Dalam kaitan ini, KTT
memperingati KAA yang ke-50 pada 2005 di Bandung telah menyepakati Strategi
Kemitraan Baru Asia-Afrika atau New Asian-African Strategic Partnership
(NAASP) sebagai wahana untuk menghidupkan kembali semangat kerja sama di
bidang ekonomi.
Hal ini ditopang fakta bahwa ekonomi Afrika mulai menggeliat dan
negara-negara Asia masih menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia.
Meskipun memiliki banyak tantangan seperti memproduksi barang
yang sama, kesamaan tujuan ekspor, serta belum adanya jaringan sistem
pembiayaan dan keuangan, kerja sama Selatan-Selatan antar- Asia-Afrika telah
mengembang ke luar batas kerja sama teknik. Nilai kerja sama teknik antardua
benua ini menurut estimasi PBB antara 16 miliar dollar AS dan 19 miliar
dollar AS.
Arus modal yang melintas wilayah batas negara telah meningkat
secara signifikan. Sime Darby dari Malaysia telah menanamkan modal sekitar
600 juta dollar AS untuk mengembangkan kebun kelapa sawit di Afrika, ZAMBEEF
dari Zambia telah menanam modal untuk mengembangkan peternakan di
negara-negara tetangganya, dan perusahaan sabun B-29 dari Indonesia telah
menanamkan modalnya di Etiopia.
Dalam kaitan ini, Indonesia sebagai tuan rumah akan menyelenggarakan
Pertemuan Bisnis Asia Afrika (AABS) 21-22 April di Jakarta untuk
mempertemukan CEO dari 47 negara Asia dan Afrika dengan CEO Indonesia.
Diharapkan mereka dapat mendiskusikan peningkatan kerja sama bisnis,
perdagangan, dan investasi. Untuk ini telah dirancang empat agenda meliputi
infrastruktur, perdagangan, agribisnis, dan kemaritiman.
Gagasan kompetitif
Adalah suatu tantangan bagi Indonesia, bagaimana mengusahakan
agar hasil KTT Asia Afrika 2015 dapat menghasilkan nilai tambah pada gagasan
lain yang sedang dalam proses pengembangannya, misalnya ASEAN akan melahirkan
Komunitas ASEAN pada akhir 2015, Sasaran Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDG) akan disepakati dalam waktu segera,
demikian juga formula pengganti Protokol Kyoto yang akan disepakati di Paris
akhir tahun ini, serta Kemitraan Ekonomi Baru untuk Pembangunan Afrika
(NEPAD) yang didukung Jepang. Salah satu yang dipersiapkan sebagai hasil KTT
Asia Afrika 2015 adalah peningkatan NAASP yang akan mendorong kemakmuran
Afrika. Hendaknya program dan rencana kegiatannya saling memperkuat dengan
NEPAD dan program lain yang sejenis dan dihindarkan adanya pengulangan atau
tumpang tindih satu sama lain yang dapat menyebabkan pemborosan.
Di bidang politik, KTT Asia Afrika 2015 akan menghasilkan
dokumen mengenai Palestina yang saat ini sedang mengalami krisis. Serangan
Israel pada Juli 2014 telah menghancurluluhkan Gaza, sedangkan proses
rekonstruksi berjalan tersendat-sendat sehingga banyak anak-anak yang
meninggal karena hipotermia. Di samping itu, masalah tersedianya air,
listrik, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi sangat memprihatinkan.
Ditambah lagi dengan masalah penahanan anak-anak, permukiman baru di
Jerusalem, penghancuran rumah karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan
di Tepi Barat (West Bank), dan pemindahpaksaan suku Badui yang biasa
berpindah-pindah.
Dasasila Bandung menghormati HAM fundamental dan persamaan hak
semua bangsa. Majelis Umum PBB 2012 telah memberikan status baru
"pengamat PBB bukan anggota" setara dengan status Vatikan di PBB
dan mengakui hak bangsa Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Bisakah
bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang berkumpul di Jakarta tampil kohesif untuk
memberikan dorongan politik yang kuat dan solidaritas kolektif bagi
perjuangan bangsa Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar