Demokrasikah
Solusinya?
Ninok Leksono ; Pemimpin
Redaksi Kompas
|
KOMPAS, 23 April 2015
"Lantas dalam pilar
sosial dan budaya akan dimuat antara lain isu nilai-nilai demokrasi,
pemberdayaan perempuan, dan pengurangan risiko akibat bencana alam." (Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Kompas, 19/4)
Dalam berita Kompas di atas juga disebutkan kehadiran 86 dari
109 negara yang diundang, yang terentang dari Tiongkok, Korea Utara, Vietnam,
Myanmar, Singapura, Kamboja, hingga Jepang. Sebagian negara di atas cukup
kiranya mewakili sejumlah hal, mulai dari tingkat kemajuan ekonomi hingga
sistem politik yang dianut.
Memang, jika kita simak evolusi politik di negara-negara Asia
Afrika dari awal abad ke-20 hingga dekade kedua abad ke-21 sekarang ini,
tampak jejak-jejak penting. Meski benih nasionalisme bisa ditelusuri hingga
sebelum Perang Dunia II, seperti halnya yang berlangsung di Nusantara, dalam
periode setelah PD II, gerakan nasionalis menjadi cukup kuat untuk menantang
tata kolonial di Asia dan Afrika. Perjuangan kemerdekaan didorong kekalahan
Jepang dan melemahnya kekuasaan kolonial Eropa. Semenjak itu, dalam rentang
waktu yang amat singkat, banyak negara Asia dan Afrika meraih kemerdekaannya
(Wayne C McWilliams dan Harry
Piotrowski, The World Since 1945: A History of International Relations, 1990).
Setelah meraih kemerdekaan, sistem politik demokrasi diadopsi
sejumlah negara baru ini. Namun, banyak di antaranya yang lalu memunculkan
orang kuat, yakni pemimpin yang karena sangat besar jasanya semasa upaya
mencapai kemerdekaan lalu menjadi begitu berkuasa. Tak bisa dilupakan pula
pengaruh Perang Dingin yang secara de
facto membelah dunia ke dalam Blok Barat dan Blok Timur. Di Asia dan
Afrika, jejak Perang Dingin luas teramati, bahkan warisannya masih kita amati
di Semenanjung Korea hingga hari ini. Korea Selatan yang harus melalui masa
otoritarianisme kini berhasil mengukuhkan diri menjadi negara demokratis.
Sebaliknya, meski Perang Dingin telah usai, Korea Utara masih tak beranjak
menjadi negara demokratis.
Pertanyaan yang relevan di sini adalah "Apa persisnya definisi dan tolok ukur demokrasi?" Di
satu sisi, demokrasi telah menjadi fenomena global, tetapi di sisi lain masih
sulit menjawab pertanyaan di atas.
Secara tradisional, negara demokratis antara lain dicirikan
penerapan sistem politik terbuka multipartai dan pergantian kekuasaan
dilakukan melalui pemilihan umum yang bebas, ekonomi pasar bebas, juga
kebebasan pers dijamin. Adapun negara tak demokratis dicirikan kekuasaan
terpusat di elite satu partai. Sistem ekonominya pun tertutup dan pers
dikontrol pemerintah. Namun, definisi semacam itu kini digugat realita baru.
Tiongkok, misalnya, masih menerapkan sistem komunis, tetapi raksasa ini
praktis sudah menerapkan ekonomi pasar.
Ketika membahas demokrasi di Asia Selatan, dikemukakan bahwa
demokrasi lebih daripada sekadar kebebasan politik, tetapi juga termasuk
konsep keadilan dan kesetaraan sosial ( www.idea.int).
Membandingkan Indonesia dengan sejumlah negara tetangganya, kita
bisa menimbang, bagaimana demokrasi bisa memberikan nilai tambah dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa. Memang secara prosedural negara kita telah
menjadi negara demokrasi, dan sering kita banggakan sebagai (negara)
demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan AS.
Namun, apakah adopsi sistem politik ini telah memberi
kemaslahatan sebesar-besarnya bagi perikehidupan rakyat? Berbicara dengan
warga negara-negara tetangga yang juga menganut sistem demokrasi, tetapi
menurut tolok ukur kita baru terbatas, sering kita mendengar pernyataan
menohok, apa arti demokrasi jika yang terjadi seperti Indonesia.
Memang ada kebebasan berekspresi, tetapi hal itu sejauh ini
hanya menghasilkan kegaduhan politik yang tidak produktif. Sementara ekonomi
sering dibanggakan bagus dan diramalkan bakal menjadi ekonomi ketujuh
terbesar pada tahun 2030, kurs rupiah terhadap dollar AS rawan merosot.
Komoditas penting yang banyak dibutuhkan rakyat banyak diimpor, menyebabkan
neraca perdagangan defisit.
Mendiang Lee Kuan Yew pernah dikutip menyatakan bahwa dirinya
tidak pernah berguru pada teoretikus demokrasi mana pun. Baginya, lebih
penting dari demokrasi adalah bisa menegakkan keadilan dan ketertiban sosial
serta membawa negara maju.
Saat mengenang Konferensi Asia Afrika, demokrasi menjadi salah
satu topik. Namun, di luar itu, ada banyak isu baru yang dirasakan mendesak.
Selain mendukung negara Palestina, momentum 60 tahun KAA harus dapat
menggelorakan kembali kearifan nasionalisme yang pernah ada, tetapi kini
harus dikemas dalam semangat membangun kemitraan demi kemajuan bangsa-bangsa
Asia dan Afrika. Asia yang secara umum lebih maju harus bisa mengulurkan
tangan bagi Afrika. Lagu tema Piala Dunia 2010 menyebutkan "Waka Waka (This Time for
Africa)".
Dengan segala kekurangan yang masih ada dalam demokrasi Asia,
sebagian ulasan dalam buku Culture
Matters: How Values Shape Human Progress (Harrison dan Huntington, Ed, 2001)
yang membandingkan bagaimana Korea (Selatan) bisa melaju dan Ghana
ketinggalan meski keduanya berada dalam kondisi lebih kurang sama pada tahun
1960-an, kita pandang masih relevan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar