Kartini
Penyelamat Gunung Kendeng
Firdaus Cahyadi ; Aktivis Lingkungan
|
KORAN TEMPO, 20 April 2015
Kartini yang lahir dari bangsawan Jawa pada 21 April 1879 di
Jepara, Jawa Tengah, melalui surat-suratnya, mengkritik kondisi sosial yang terjadi
pada saat itu. Ia memberontak terhadap kondisi sosial yang merugikan
perempuan pada waktu itu. Tak mengherankan jika hingga kini ia dikenal
sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia. Namun sayangnya Kartini
meninggal pada usia 25 tahun di Rembang, Jawa Tengah.
Kini, di Rembang, tempat Kartini mengembuskan napas terakhirnya,
telah lahir Kartini-Kartini baru. Mereka adalah ibu-ibu perkasa yang ingin
menyelamatkan pegunungan karst Kendeng, Jawa Tengah. Pada Maret 2015, sudah
273 hari para ibu Rembang itu melakukan aksi perlawanan terhadap rencana
pembangunan pabrik semen.
Salah satu Kartini baru itu bernama Sukinah. Tak hanya melakukan
aksi protes dari dalam tenda, Ibu Sukinah bersama ibu-ibu Rembang lainnya
rela menempuh jarak ratusan kilometer untuk melanjutkan perlawanannya ke
Jakarta. Di kota yang menjadi pusat pemerintahan republik ini, para Kartini
baru itu mendatangi kantor-kantor pemerintahan untuk mengadukan upaya
perusakan karst di Kendeng, Jawa Tengah.
Kenapa ibu-ibu Rembang itu berkeras menyelamatkan Gunung Kendeng
dari rencana pembangunan pabrik Semen? Gunung Kendeng adalah pegunungan karst
yang melintasi empat kabupaten di Jawa Tengah. Pemerintah sendiri melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional mengungkapkan bahwa kawasan yang memiliki bentang alam karst
merupakan kawasan lindung geologi.
Bukan hanya itu, Gunung Kendeng juga memiliki kekayaan berupa
keanekaragaman hayati. Terdapat 24 jenis flora dan 50-an lebih jenis fauna.
Dan yang lebih penting lagi adalah terdapat sekitar 200 mata air di dalam
Gunung Kendeng yang menghidupi masyarakat sekitarnya.
Air adalah hak asasi manusia. Perjuangan ibu-ibu Rembang yang
menolak pembangunan pabrik semen di atas sumber air adalah bagian dari
perjuangan hak asasi manusia. Mereka berjuang bukan hanya untuk kehidupan
mereka saat ini, tapi juga untuk anak-cucunya kelak.
Seperti pada saat Kartini memperjuangkan hak-hak kaum perempuan,
perjuangan Kartini-Kartini baru dari Rembang itu untuk menyelamatkan Gunung
Kendeng pun mendapat banyak hambatan. Pemerintah, yang selalu mengumbar
jargon akan melindungi kepentingan warganya, pun tampak bimbang dalam
memutuskan kasus ini. Pemerintah seperti bingung untuk memilih melindungi
hak-hak warga Rembang atau kepentingan perusahaan semen.
Perguruan tinggi yang berisi para pakar pun tidak sepenuhnya
mendukung perjuangan para Kartini baru ini. Sebagian pakar dari perguruan
tinggi ternama justru secara terang-terangan berpihak kepada kepentingan
pabrik semen ketimbang menyelamatkan sumber-sumber kehidupan warga Rembang
yang sedang diperjuangkan para Kartini baru itu.
Perjuangan mereka untuk menyelamatkan Gunung Kendeng adalah
perjuangan kita semua. Kini memang kepentingan korporasi sedang mengancam
sumber-sumber kehidupan warga Rembang, tapi bukan tidak mungkin ke depan
kepentingan korporasi itu juga akan mengancam sumber-sumber kehidupan kita
sebagai warga negara. Untuk itu, tampaknya tak ada alasan untuk tidak
mendukung gerakan Kartini baru dari Rembang tersebut dalam menyelamatkan
sumber-sumber kehidupannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar