Tantangan
dan Peluang Kerja Sama Asia-Afrika
Faustinus Andrea ; Staf
Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
|
KORAN SINDO, 22 April 2015
Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung pada
19-14 April 2015 di Jakarta dan Bandung
dengan sejumlah agenda penting untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan
di Asia dan Afrika telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Tujuannya adalah membangun tatanan dunia baru yang lebih
seimbang dan adil. Tentu saja tujuan ini selain terlalu abstrak, juga sulit
terealisasi dengan baik. Betapa tidak, dunia kini tengah dihadapkan pada
kesenjangan antara negara kaya/negara industri maju di satu pihak dan negara
miskin/ negara berkembang di lain pihak. Munculnya Uni Eropa, Kelompok G-8
dan G-20 mengindikasikan bahwa negara kaya dan negara-negara maju saling
mengikatkan diri dan semakin proteksionistis.
Di sisi lain kelompok Selatan berusaha menggalang persatuan dan
mengatur posisi mereka untuk mengantisipasi perilaku negara-negara Utara
dengan mencoba mengandalkan kekuatan sendiri seperti tercermin pada Kelompok
77, KAA, dan Kelompok 15 dalam Konferensi Nonblok.
Tetapi, pergerakan organisasi kelompok tersebut sulit
berkembang. Pertama, kurang dikelola secara serius. Kedua, dokumen kemitraan
strategis baru Asia-Afrika (NAASP) yang dihasilkan pada KTT Asia-Afrika 2005
di Bandung tidak dikelola secara konkret menghadapi perubahan drastis Benua
Asia dan Afrika. Ketiga , konsep Dasa Sila Bandung sulit diterjemahkan dalam
masa kekinian.
Dari berbagai problematika itu, artikel ini mengulas peluang dan
tantangan kerja sama Asia-Afrika masa depan. Pendekatan kerja sama kemitraan
komprehensif Indonesia dalam mengelola bentuk kerja sama barangkali dapat
menjadi salah satu acuan guna menjembatani hubungan strategis antardua benua,
Asia dan Afrika, menghadapi tantangan keseimbangan global.
Kemitraan Komprehensif
Indonesia dalam melakukan kerja sama luar negeri sulit
menghindari kemitraan global sebagai bagian dari diplomasi, termasuk KAA.
Pada saat yang sama kemitraan komprehensif juga menjadi bagian penting dari
diplomasi luar negeri Indonesia.
Dalam dunia yang semakin mengglobal, pemerintah baru Presiden
Jokowi-JK, yang memperoleh legitimasi dari rakyat, patut memprakarsai kebijakan
luar negeri yang lebih proaktif dan well thought out jika ia ingin dilihat
sebagai negara yang secara strategis dan politis mampu menciptakan stabilitas
dan perdamaian kawasan.
Meski politik luar negeri adalah prioritas kedua dari program
Pemerintah Indonesia, setelah masalah-masalah domestik, namun menjadi
keharusan bagi pemerintah baru Indonesia melakukan terobosan baru politik
luar negeri bebas aktif guna memajukan stabilitas domestik dan memperkuat
posisi tawar Indonesia.
Kebijakan luar negeri pemerintah baru Indonesia dalam KAA
haruslah dibuat dengan sebuah kebijakan luar negeri yang adaptif terhadap
lingkungan internasional yang berubah. Kemitraan komprehensif sebagai bentuk
peningkatan hubungan kerja sama negaranegara dalam 15 tahun terakhir ini
menjadi sangat populer.
Indonesia juga mengadopsi istilah ini sebagai bentuk dari kerja
sama yang tidak saja bertumpu pada satu isu, melainkan lebih luas untuk
melakukan berbagai kerja sama. Saat ini Indonesia memiliki kemitraan
komprehensif dengan beberapa negara seperti Jepang, China, India, Australia,
Brasil, Afrika Selatan, dan lain-lain.
Meski secara resmi dengan Amerika Serikat, kemitraan
komprehensif belum sepenuhnya tercipta, namun AS dan Indonesia terus berupaya
merumuskan elemen-elemen penting, termasuk visi di antara dua negara. Dalam
konteks itu, eksistensi peran Indonesia sebagai kelompok Selatan di ASEAN,
ASEAN Regional Forum, East Asia Summit, APEC, G-8,G-20, dan OKI, pun diterima
di dunia internasional dalam memperluas berbagai bentuk kerja sama
multilateral.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang relatif cukup tinggi, yaitu
sekitar 5,4% sangat diperhitungkan oleh dunia menjadi suatu langkah konkret
kemitraan itu. Beberapa langkah penyesuaian sebagai bentuk dari kemitraan
komprehensif Indonesia adalah: Pertama, memanfaatkan proses demokrasi di
Indonesia sebagai modalitas bentuk bagi politik luar negeri dan diplomasi
Indonesia.
Kedua, politik luar negeri Indonesia harus diarahkan untuk
melindungi proses demokrasi di Indonesia. Ketiga, sasaran politik luar negeri
Indonesia harus dibuat sedemikian rupa sehingga ia merupakan hasil dari
sebuah keseimbangan antara keharusan menjaga kredibilitas internasional
Indonesia dan komitmen untuk menegakkan demokrasi di dalam negeri.
Barangkali perwujudan pendekatan ini dapat menambah konsep
Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP) yang kini tengah dihidupkan
kembali menjadi sebuah deklarasi KAA di Bandung, menjadi langkah konkret,
sehingga dapat membawa manfaat untuk memperkuat organisasi di tengah
perubahan global sekarang ini.
Tantangan KAA
Kendati demikian, bentuk kemitraan global yang diwujudkan dalam
begitu banyak pertemuan-pertemuan tingkat tinggi dunia untuk mengatasi
berbagai masalah umat manusia seringkali menghadapi banyak tantangan. Hasil
konkret belum menunjukkan tingkat yang sebanding dengan visi dan janjijanji
kemitraan global.
Misalnya, 23 tahun pasca-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Jeneiro dan hampir 18 tahun Protokol Kyoto diluncurkan, belum ada
keputusan penting yang telah dibuat oleh negara-negara maju dan negara-negara
berkembang untuk secara bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan (Menlu RI Hassan Wirajuda, 2007).
Demikian halnya dengan substansi dari Golden Jubilee KAA di
Bandung pada 2005, yang disiapkan oleh Asia-Africa
Sub-Regional Organization Conference (AASROC), yang menekankan kerja sama
ekonomi dan pembangunan yang lebih konkret, hingga kini tidak ada wujudnya.
Padahal, AASROC harapannya dapat memperkuat kerja sama dan memperoleh
keuntungan multilateral secara ekonomis.
Dalam hal ini, kemitraan global dapat diartikan terlalu abstrak,
di tengah kebiasaan kita yang lebih berpikir mengenai bangsa dan negara.
Dengan perubahan dunia sekarang yang begitu cepat, kerja sama negaranegara
Asia-Afrika sulit untuk memperoleh kebersamaan apabila tidak ada semangat
pembaharuan yang mendasari kerja sama itu. Globalisasi menempatkan Asia dan
Afrika sebagai kelompok marginal.
Karena itu, dua benua itu sepakat untuk melakukan tindakan
bersama guna mendapatkan keuntungan yang sepadan dari era globalisasi.
Sementara itu, sejumlah persoalan seperti liberalisasi perdagangan, termasuk
perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), belum dapat diarahkan secara
langsung pada upaya pembangunan negara berkembang.
Tindakan negara-negara Asia-Afrika untuk segera membangun
lingkungan internasional, dengan menciptakan kerja sama yang selama ini
terabaikan, juga menghadapi sejumlah tantangan. Padahal, komunike akhir KAA
1955 dalam beberapa pasalnya menyebutkan, masalah kerja sama ekonomi, teknik,
sumber pendanaan bagi negara peserta KAA, kebutuhan untuk menstabilkan
perdagangan komoditas, dan lainlain, agar ditindaklanjuti.
Di bidang kebudayaan komunike tersebut memuat hasrat untuk
memperbarui ikatan kultural lama dengan mengembangkannya dalam konteks dunia
modern sekarang. Seruan untuk meningkatkan kerja sama secara intensif di
bidang pendidikan, iptek, juga disebutkan. Tetapi, semangat Bandung tidak
dilaksanakan dan pengembangan mekanisme kerja sama inter-regional yang
efektif dan memadai, tampaknya tidak mampu dilakukan oleh negara-negara
Asia-Afrika.
Pesan Bandung sebagai hasil dari peringatan 60 Tahun KAA berupa
pesan politik dan moral kepada dunia, juga tidak cukup untuk menjawab
tantangan yang dihadapi Asia-Afrika saat ini. Barangkali perwujudan strategi
baru dalam kemitraan Asia-Afrika yang dapat dilakukan dan membawa manfaat di
tengah perubahan global sekarang ini adalah:
Pertama , kemitraan harus didasarkan pada berbagai inisiatif
yang muncul, bukan bersandar pada agenda yang sudah ada, atau kerangka kerja
sama dan agenda yang berlaku di kedua benua. Kedua, skala prioritas di bidang
kerja sama yang lebih bisa mendekatkan kedua kawasan dengan tukar menukar
pengalaman dan memperkenalkan strategi kemitraan baru kepada seluruh
organisasi di dua benua.
Ketiga, upaya mempromosikan kemitraan dan dialog Asia-Afrika,
kepada berbagai institusi, termasuk jadwal-jadwal kegiatan sebelum dan
sesudah KAA 2015. Keempat, melaksanakan strategi kemitraan baru dengan dasar
prinsip Dasa Sila Bandung, dengan tetap menghormati kebinekaan, baik di
bidang ekonomi, sosial, maupun budaya dalam tingkat pembangunan dan
kemakmuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar