Megakorupsi
Pendidikan di DKI
Febri Hendri AA ; Koordinator
Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW
|
KOMPAS, 27 April 2015
Tak ada yang lebih fantastis daripada kasus
dugaan korupsi pengadaan UPS (uninterruptible
power supply) Jakarta. Kerugian negara akibat kasus ini ditaksir Rp 186,4
miliar. Inilah kasus korupsi di sektor pendidikan terbesar yang pernah
disidik aparat penegak hukum setakat ini.
Kerugian negara akan meningkat tajam manakala
aparat penegak hukum juga menyidik tiga kasus lagi: pengadaan pencetak dan
pemindai 3D serta enam judul buku. Korupsi pengadaan tiga jenis barang ini
ditaksir Rp 91,5 miliar. Kerugian negara sekitar Rp 278 miliar hanya dari
empat kasus korupsi pendidikan Jakarta.
Tak hanya itu, mata anggaran APBD pendidikan
DKI Jakarta lainnya juga rawan korupsi. Terdapat 484 kegiatan di dinas
pendidikan dengan alokasi dana Rp 1,9 triliun yang berpotensi korupsi.
Potensi korupsi terjadi karena realisasi dan pengadaan barang dan jasa untuk
mata anggaran itu ditengarai bermasalah.
Megakorupsi
Kasus korupsi pendidikan Jakarta 2014 dapat
disebut sebagai megakorupsi pendidikan karena inilah kasus korupsi pendidikan
dengan kerugian negara terbesar yang pernah disidik aparat penegak hukum.
Kurun 2003-2013 aparat penegak hukum berhasil menyidik dan menetapkan
tersangka pada 295 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan total kerugian
negara Rp 619,0 miliar.
Jika dibandingkan dengan kerugian negara dalam
pengadaan UPS, pencetak 3D, pemindai 3D, dan enam judul buku, maka kerugian negara
dalam empat kasus ini hampir separuh dari kerugian negara dalam 295 kasus
korupsi pendidikan di seluruh Indonesia. Jika penyidik berhasil menindak 484
kegiatan mata anggaran pendidikan yang berpotensi korupsi, maka kerugian
negara jauh lebih besar dari total seluruh kasus korupsi pendidikan yang
selama ini ditindak aparat penegak hukum. Pantaslah disebut, megakorupsi
pendidikan Indonesia saat ini terdapat dalam pengelolaan anggaran pendidikan
di DKI Jakarta.
Modus korupsi
Besarnya alokasi anggaran pendidikan telah
menarik berbagai aktor menikmati gurihnya kelebihan dana sektor ini. Pejabat
pemerintah, pengusaha, dan politisi merupakan aktor yang selalu berusaha
menggasak dana untuk generasi muda ini. Kejahatan tiga aktor ini terbukti
dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana prasarana sekolah Jakarta.
Pengusaha dan kelompoknya berusaha meyakinkan politisi dan pejabat Dinas
Pendidikan agar meningkatkan kualitas sarana prasarana sekolah. Mereka
biasanya melakukan seminar, sosialisasi, dan membiayai pelatihan guru
ke luar negeri guna melegitimasi bahwa barang yang mereka jual benar-benar
dibutuhkan sekolah.
Mereka juga royal mengeluarkan biaya bagi
pejabat, politisi, dan keluarganya berlibur ke luar negeri agar mendapat
akses terhadap anggaran pendidikan. Jika barang jualan pengusaha menjadi
kegiatan dalam anggaran pendidikan, mereka akan memberi imbalan kepada
anggota DPRD, pejabat, dan pegawai pemerintah. Besarnya ditentukan
berdasarkan alokasi anggaran yang disetujui dalam APBD: 7-10 persen total anggaran
yang disetujui.
Utak-atik anggaran tak hanya berkisar pada
penyusupan mata anggaran tertentu, tetapi juga bermain pada nilai dan volume
barang. Tak jarang penggelembungan telah dimulai sejak penyusunan dan
penetapan standar biaya barang dan jasa. Jika nilainya digelembungkan jauh
lebih tinggi dari harga pasar, maka anggaran juga bisa digelembungkan dari
sisi volume. Seharusnya yang dibutuhkan hanya beberapa unit barang, kemudian
digelembungkan beberapa kali lipat dari unit barang yang dibutuhkan. Tujuannya
agar alokasi mata anggaran kegiatan itu jauh lebih besar. Itulah yang terjadi
dalam mata anggaran catudaya DKI Jakarta: harga pada standar biaya barang dan
jasa telah digelembungkan sejak penyusunan dan penetapan standar biaya
penyusunan APBD. Jumlah sekolah yang menerima manfaat dari kegiatan itu pun
meningkat dari hanya beberapa sekolah menjadi 49 sekolah.
Setelah APBD disahkan, pengusaha akan mengawal
pengadaannya. Kegiatan yang tak diusulkan pengusaha, tapi merupakan titipan
anggota DPRD dijual kepada broker atau pengusaha lain atau diarahkan pada
perusahaan tertentu yang memiliki afiliasi dengan politisi itu. Pengawalan
pengadaan barang dan jasa melibatkan pejabat pembuat komitmen (PPK) di tiap
instansi. Tahap pertama yang dilakukan adalah bagaimana memastikan PPK
menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS) sesuai dengan harga yang telah ada
dalam skenario pengusaha itu. Untuk memastikan, PPK dan pengusaha akan
membuat rekayasa HPS berdasarkan harga dari distributor yang telah mereka
tunjuk.
Setelah HPS ditetapkan PPK, pengadaan masuk
dalam tahap lelang oleh Pokja Pengadaan di Unit Layanan Pengadaan. Pada tahap
ini pengusaha akan mengatur sedemikian rupa sehingga peserta lelang sebagian
besar merupakan perusahaan yang berada dalam kendali mereka. Kendali ini
dibuat dalam bentuk surat dukungan perusahaan yang mereka miliki pada
perusahaan peserta lelang. Dengan begitu, pengusaha telah berusaha sedemikian
rupa sehingga perusahaan apa pun yang menang akan membutuhkan pasokan barang
dari perusahaannya.
Sang pengusaha bisa mendapat perusahaan
peserta lelang dari broker atau spesialis yang memiliki jasa menyediakan
perusahaan mengikuti lelang. Jasa ini cukup dibayar dengan fee yang
besarnya ditentukan berdasarkan besarnya dana proyek. Lelang juga diatur
sedemikian sehingga peserta lelang yang lolos kualifikasi adalah perusahaan
yang telah ditentukan sebelumnya. Pemenang lelang biasanya juga ditentukan
sebelum lelang sehingga tak ada perusahaan yang tak mereka kenal menjadi
perusahaan pemenang lelang.
Setelah lelang, pengusaha melalui
perusahaannya memasok barang melalui pemenang lelang pada tiap sekolah.
Mereka memasang alat dan menyediakan tenaga ahli seakan-akan hal itu berasal
dari pemenang lelang. Pada akhirnya pengusaha tidak lupa memberi uang terima
kasih kepada semua pihak terkait pengadaan ini dengan nilai beragam.
Besarnya alokasi anggaran pendidikan tiap
tahun akan terus dihantui korupsi. Politisi, pengusaha, dan birokrat selalu
menemukan cara menggasak anggaran ini. Maka, dibutuhkan perbaikan sistem antikorupsi
lebih sistematis terhadap perencanaan, penganggaran, pengadaan, dan
pertanggungjawaban pengelolaan anggaran pendidikan.
Guna mencegah korupsi anggaran ini, pemerintah
harus membangun sistem perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa
pemerintah, dan transaksi keuangan sehingga tercatat dengan baik dan terbuka
bagi publik. Saat ini sudah ada e-planning untuk perencanaan secara
elektronik sehingga perencanaan sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Juga
ada e-budgeting untuk mengatur perhitungan dan pencatatan
kebutuhan anggaran membiayai program pemerintah. Untuk pengadaan juga sudah
ada e-procurement untuk mencatat semua kegiatan dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah.
Juga e-purchasing untuk memfasilitasi
seluruh transaksi pembelian. Semua aktivitas berbasis elektronik tercatat dan
itu memudahkan pelacakan aksi koruptor menggasak anggaran pendidikan.
Partisipasi rakyat perlu didorong rakyat dalam
pengelolaan dana publik ini supaya rakyat dapat menjatuhkan sanksi pada
pemilu atau pilkada dengan tak memilih anggota badan legislatif dan partai
politik yang korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar