Antisipasi
Efek Perlambatan Ekonomi Global
Firmanzah ; Rektor
Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 20 April 2015
Baru-baru ini Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan
laporan tentang World Economic Outlook
yang menyatakan tren perlambatan ekonomi global masih akan terjadi hingga
2020. Menurut Olivier Blanchard, Direktur Riset IMF, terdapat beragam faktor
sangat kompleks yang membentuk arah perekonomian global. Mulai dari ancaman
suku bunga di Amerika Serikat (AS) sampai ketegangan di Timur Tengah. Dari
pelemahan harga komoditas dunia sampai volatilitas nilai tukar mata uang.
Pemulihan ekonomi global yang tadinya diperkirakan terjadi
pascakrisis subprime-mortgage dan krisis utang Eropa ternyata memberikan
bentuk yang berbeda antara negara maju dan negara emerging. Dalam laporannya,
IMF memperkirakan rata-rata potensi pertumbuhan ekonomi negara maju untuk
periode 2015-2020 sebesar 1,6%.
Proyeksi ini naik sedikit dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kelompok
negara ini sepanjang tahun 2008-2014 sebesar 1,3%. Proyeksi rata-rata
pertumbuhan 2015-2020 masih di bawah ratarata pertumbuhan ekonomi negara maju
sebelum krisis 2001-2007, yaitu sebesar 2,25%. Sementara untuk kelompok
negara emerging, IMF memproyeksikan rata-rata potensi pertumbuhan 2015- 2020
sebesar 5,2%.
Proyeksi ini jauh lebih rendah dari rata-rata realisasi
pertumbuhan ekonomi negara emerging sepanjang tahun 2008-2014 yang sebesar
6,5%. Sementara untuk tahun 2015, IMF memperkirakan ratarata pertumbuhan
ekonomi negara maju akan sedikit membaik menjadi 2,4%, dibandingkan dengan
realisasi tahun lalu, 1,8%. Sementara kelompok negara emerging, kecuali
India, justru menunjukkan arah berlawanan.
Apabila pada tahun lalu rata-rata per-tumbuhan ekonomi kelompok
negara emerging tercatat 4,6%, tahun ini diperkirakan hanya sebesar 4,3%.
Melemahnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang sangat dipengaruhi sejumlah
faktor seperti melemahnya harga dan permintaan komoditas dunia, melemahnya
pertumbuhan ekonomi China, menguatnya mata uang dolar AS, dan melemahnya
konsumsi domestik.
Risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi global akan semakin
meningkat apabila penyesuaian suku bunga oleh The Fed benar-benar dilakukan
pada tahun ini. Tanpa adanya penyesuaian suku bunga The Fed, dampak pelemahan
perekonomian global mulai kita rasakan di dalam negeri. Baru-baru ini Bank
Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,2%
dan di bawah target APBN-P sebesar 5,6%.
Bank Indonesia juga memperkirakan pertumbuhan kredit kuartal I
2015 hanya sebesar 11% dan jauh di bawah target awal 15-17%. Salah satu
penyebab yang membuat target penyerapan kredit rendah adalah pelemahan
konsumsi domestik. Indikator lain juga menarik kita cermati bersama di mana
data dari Gaikindo yang menyebutkan realisasi penjualan kendaraan roda empat
pada kuartal I 2015 turun sebesar 14- 15% dibandingkan dengan periode yang
sama tahun lalu.
Melemahnya daya beli masyarakat menjadi faktor yang memicu
penurunan realisasi penjualan automotif. Sejumlah laporan dan analisis juga
menunjukkan perlambatan di sejumlah sektor lain seperti properti dan ritel
seiring dengan perlambatan dunia usaha dan daya beli masyarakat akibat
melemahnya daya beli, terbatasnya ruang ekspansi usaha di sektor mineral dan
tambang, serta pelemahan harga komoditas ekspor Indonesia.
Pemerintah perlu secara komprehensif menyusun kebijakan untuk
memitigasi dampak perlambatan perekonomian global. Menjaga daya beli
masyarakat dan bergairahnya iklim dunia usaha perlu terus dijaga dan bahkan
ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan target pajak sebesar 40,3% dari
Rp1.058 triliun menjadi Rp1.484,6 triliun perlu tetap memperhatikan kondisi
perekonomian dunia dan domestik saat ini.
Pada saat ini dunia usaha
di dalam negeri justru sangat membutuhkan stimulus fiskal untuk terus
berkembang dan terselamatkan dari dampak perlambatan ekonomi global dan
regional. Tren perlambatan perekonomian global justru perlu direspons dengan
kebijakan fiskal yang produnia usaha agar lapangan pekerjaan terus tersedia,
pemanfaatan potensi ekonomi menjadi optimal, total output dan produksi
nasional meningkat.
Pemerintah juga diharapkan dapat segera merealisasi rencana
pembangunan infrastruktur yang dalam APBN-P 2015 mendapatkan porsi anggaran
yang sangat besar. Pembangunan infrastruktur juga akan dapat mendorong
bergairahnya dunia usaha baik yang terkait langsung maupun tidak langsung.
Kecepatan dan ketepatan (governance)
penyerapan anggaran ABPN-P 2015 akan membantu perekonomian nasional untuk tetap
berdaya tahan (resilience) dari
perlambatan perekonomian global dan regional. Sektorsektor mulai dari jasa
konstruksi, konsultan, besi dan baja, semen, produk-produk petrokimia sampai
ke sektor pembiayaan dan jasa asuransi akan terdorong dengan adanya
pengerjaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Sebaliknya, keterlambatan penyerapan anggaran dan pengerjaan
proyek infrastruktur berarti akan mengurangi golden opportunity kita dalam menguatkan perekonomian nasional di
tengah perlambatan ekonomi global. Mengingat pembentukan produk domestik
bruto (PDB) kita mayoritas dikontribusi oleh konsumsi domestik, menjaga daya
beli masyarakat perlu menjadi prioritas nasional di tengah perlambatan
perekonomian dunia.
Daya beli masyarakat sangat dipengaruhi ketersediaan lapangan
kerja, selain juga oleh harga kebutuhan pokok. Tidak kurang terdapat 56 juta
unit usaha atau 99% bentuk usaha nasional adalah sektor UMKM yang 55 juta di
antaranya adalah sektor mikro. Oleh karenanya menjadi semakin penting bagi
pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk terus meningkatkan aksesibilitas
keuangan, peningkatan kemampuan produksi, dan akses pasar bagi sektor UMKM.
Data BPS, Januari 2014, menyebutkan bahwa sektor ini menyerap
tidak kurang 107 juta orang yang terlibat secara produktif di sektor ini.
Menjaga sektor ini terus berkembang akan berdampak sangat besar terhadap daya
tahan perekonomian domestik di tengah turbulensi perekonomian global.
Kita tentu optimistis, pengalaman melalui turbulensi
perekonomian global akibat krisis subprime-mortgage di AS pada 2008 merupakan
modal berharga menghadapi situasi perekonomianduniasaat ini. Meskipun sempat
melemah pada 2009 sebesar 4,5%, pada 2010 ekonomi Indonesia mencatatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% dan meningkat lagi menjadi 6,5% pada 2011.
Saat ini dengan percepatan pembangunan infrastruktur, jika
diimbangi dengan kebijakan yang produnia usaha dan menjaga daya beli
masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya tidak hanya lebih
berkelanjutan, tetapi juga akan lebih berkualitas. Dengan demikian
perlambatan perekonomian global akan termitigasi secara baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar