Pembiayaan
Pendidikan Berkeadilan
Agus Wibowo ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 20 April 2015
PEMBIAYAAN pendidikan,
khususnya pembiayaan pendi dikan di tingkat dasar merupakan hal penting,
tetapi kadang luput dari perhatian kita. Padahal, pembiayaan pendidikan di
tingkat dasar itu berkaitan erat dengan kesempatan setiap anak bangsa
mengakses pendidikan. Model pembiayaan pendidikan yang keliru akan menutup
kesempatan anak bangsa yang kurang mampu untuk mengakses pendidikan.
Sebaliknya, model pembiayaan pendidikan yang dikaji dengan baik, akan tepat
sasaran dan menjamin kesempatan seluas-luasnya setiap anak bangsa mengakses
pendidikan tanpa pandang bulu.
Di era otonomi selama ini,
pemerintah pusat telah mendesentralisasikan pembiayaan bersama aspek-aspek
lain melalui otonomi pendidikan kepada daerah. Hal ini sepintas positif dan
tak ada yang janggal. Namun, sebenarnya kebijakan tersebut perlu kita koreksi
kembali. Sisi positif dari kebijakan ini, yakni pemerintah daerah ikut
dilibatkan dan berperan aktif dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan,
khususnya di daerah masing-masing. Lebih dari itu, keterlibatan pemerintah
daerah diharapkan mampu menambah nominal anggaran pendidikan di
daerahnya--yang semula hanya sekitar 12% dari total APBN.
Namun, praktik di lapangan
tidak demikian. Ternyata, desentralisasi anggaran pendidikan dari pemerintah
pusat ke daerah, justru dijadikan satu dengan anggaran aspek kesehatan dalam
dana anggaran umum (DAU) setiap kabupaten atau kota. Ini jelas ironis sekali.
Dahulu saja ketika masih dipisah dana pendidikan sangat minim sekali porsi
pembagiannya. Lantas apa jadinya jika digabung dengan dana kesehatan? Lebih
banyak data menyebut minimnya alokasi dana bagi dunia pendidikan.
Kurang adil
Model pembiayaan pendidikan di
sekolah kita, tulis Boediono (2009), selama ini kurang adil.Itu karena
kesamaan besarnya dana pembiayaan pendidikan dasar selama ini hanya mengacu
pada sekolah, tidak mengacu pada siswa. Artinya, dana untuk tiap-tiap sekolah
sama, tetapi berbeda penerimaannya untuk setiap siswa. Padahal, menurut
Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009, sudah diatur secara rinci mengenai standar
pembiayaan pendidikan. Hal ini tentu saja terkesan tidak adil bagi siswa dan
keluarganya, misalnya di sekolah A jumlah siswa tidak mampu lebih banyak
ketimbang siswa sekolah B. Nominal pemberian dana dari pemerintah untuk
sekolah A dan B sama, maka siswa tidak mampu di sekolah B akan mendapat dana
lebih banyak ketimbang sekolah A.
Selain itu, penghitungan dana
hanya didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar pada awal tahun ajaran
baru, bukan pada rata-rata kehadiran setiap harinya. Mestinya, penghitungan
dana didasarkan pada rata-rata kehadiran setiap hari yang lebih berperan
menekan laju putus sekolah. Sementara pemerintah daerah yang sejatinya mampu
membantu pembiayaan pendidikan di daerahnya, tidak dilibatkan dalam rumus
untuk menentukan be sarnya DAU, bahkan tidak diperboleh kan membantu
pembiayaan de ngan cara yang signifikan. Parahnya lagi, sistem pem biayaan
yang tidak transparan. Ini terjadi karena mekanisme akuntabilitas sekolah
belum bisa berjalan secara efektif. Akibatnya, terdapat banyak celah bagi
terjadinya korupsi anggaran pembiayaan, khususnya Bantuan Operasi onal
Sekolah (BOS) di Gunungkidul, Bantul, Magelang dan Jakarta (ICW, 2010).
Model pembiayaan pendidikan
yang amburadul itu masih sering diwarnai dengan kepentingan politik praktis
yang picik dan kerdil segelin tir pemangku kebijakan.
Tidak mengherankan, jika sistem
pendidikan kita ti dak mampu melakukan hal-hal baru yang konstruktif dan
mencerahkan. Alih-alih, sistem pendidikan kita nyatanya selalu diarahkan
untuk membenarkan kepentingan penguasa.Benar kata Mochtar Buchori (1994:54),
sistem pendidikan kita selama ini lebih sering berada dalam penjara
kekuasaan; sehingga jangankan memberi pencerahan rakyat, mempertahankan jati
dirinya saja sangat sulit.
Model pembiayaan pendidikan
yang tidak adil itu berdampak memangkas kesempatan sebagian besar anak bangsa
mengenyam pendidikan. Data teranyar yang dirilis Balitbang Kemendikbud dan
Ditjen Bimbaga Kemenag menunjukkan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan
bagi anak bangsa ini masih terbatas. Data itu juga menyebut angka partisipasi
murni (APM) untuk anak usia SD dan SLTP sangat rendah, yaitu hanya sekitar
54,8% (9,4 juta siswa). Hal ini masih diperparah dengan kurang optimalnya
layanan pendidikan usia dini.
Pemerataan
Sudah saatnya model pembiayaan
di sekolah kita dikoreksi. Menurut hemat
penulis, koreksi model pembiayaan
sangat diperlukan guna mengetahui standar pembiayaan minimal secara nasional
berdasarkan perhitungan per siswa. Menurut penulis, model pembiayaan
pendidikan hendaknya per siswa, bukan per sekolah. Model ini bertujuan untuk
menjamin terselenggaranya pendidikan yang memadai bagi setiap siswa. Model
ini juga untuk memberikan keadilan bagi setiap siswa di sekolah tanpa pandang
bulu.
Selanjutnya, pembiayaan
pendidikan di sekolah perlu mengandung unsur-unsur yang menjamin efektivitas
dan efisiensi ekonomis. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi pemborosan dan penggunaan
sumber-sumber keuangan yang tidak tepat. Pembiayaan pendidikan juga perlu
mengutamakan akuntabilitas. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas
dalam pembiayaan pendidikan, masyarakat bisa mengetahui secara jelas dari
mana dana itu diperoleh, bagaimana pengelolaannya, dan bagaimana
pendistribusiannya kepada anak didik.
Sayangnya, tidak banyak
pemerintah daerah dan sekolah yang menyukai prinsip-prinsip akuntabilitas
pendidikan.Mereka justru menganggap akuntabilitas sebagai momok yang merecoki,
mengawasi, dan memangkas kewenangan, serta kebebasan. Akuntabilitas tidak
dilaksanakan dengan baik, maka potensi penyalahgunaan anggaran pendidikan
menjadi terbuka lebar. Selain melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas,
metode pembiayaan juga perlu sederhana.Hal ini akan memudahkan orangtua dan
guru mengetahui besarnya jumlah yang disalurkan oleh pemerintah pusat kepada
daerah dan sekolah.
Menurut Boediono (2010), agar
keadilan bisa dinikmati semua peserta didik, pembiayaan pendidikan hendaknya
disusun dalam rumus yang mengatur arus DAU dari pemerintah pusat ke
kabupaten/kota, hingga ke sekolah. Dengan model seperti ini, transparansi
bisa terealisasi sehingga penyelewengan dan pemborosan keuangan dari negara
bisa dihindari. Yang lebih utama, yakni pemerintah perlu meningkatkan
investasi pelayanan umum di bidang pendidikan. Dengan kata lain, tersedianya
pendidikan yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar