Mereinkarnasi
Konferensi Asia Afrika
Ganewati Wuryandari, Atiqah
Nur Alami, dan Mario Ramadhan ; Peneliti
Center for Foreign Policy Studies, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI
|
MEDIA INDONESIA, 20 April 2015
PERTEMUAN Konferensi Asia
Afrika (KAA) telah dimulai sejak kemarin dan akan berlangsung di Jakarta dan
Bandung hingga 24 April 2015. Senior Official Meeting telah menjadi pembuka
rangkaian pertemuan KAA tahun ini, selanjutnya pertemuan tingkat menteri dan kepala
negara. Pertemuan bisnis juga berlangsung di antara para pemimpin perusahaan
(CEO) dari Asia dan Afrika dalam forum The
Asian African Business Summit.
Jika KAA diperingati kembali
dalam sebuah perhelatan internasional akbar yang diikuti 79 negara, 28 kepala
negara/pemerintahan, serta 6 wakil kepala negara, dengan jumlah delegasi
mencapai 3.800 orang, sebaiknya jangan sekadar acara menapak tilas
membangkitkan nostalgia 1955. Reinkarnasi KAA diperlukan untuk menepis
keraguan akan relevansi KAA.
Masihkah relevan?
Sebagai sebuah gerakan yang
diharapkan bisa membantu negara-negara Asia Afrika bisa berkembang maju dan
damai, faktualnya KAA tidak demikian adanya. Meskipun sebagian besar negara
peserta KAA kini sudah merdeka dari jajahan kolonialisme dan menjadi negara
maju, masih banyak yang belum terlepas dari persoalan kemiskinan dan konflik
kekerasan. Disparitas pembangunan juga menjadi permasalahan serius. Pendulum
ekonomi negara peserta KAA bergerak dari yang paling maju seperti Tiongkok
sampai ke yang paling miskin terutama di sebagian besar negara-negara di
Afrika.
Kemajuan KAA selama ini
terhambat oleh lunturnya komitmen negara-negara peserta terhadap Dasasila
Bandung, yaitu semangat menghormati HAM, kedaulatan dan integritas nasional,
nonintervensi, mempertahankan diri secara sendirian dan kolektif, nonagresi,
penyelesaian sengketa secara damai, memajukan kepentingan bersama dan kerja
sama, serta menghormati hukum dan kewajiban internasional.
KAA itu memiliki makna tautan
kuat dengan berakhirnya kolonialisme penjajahan fisik yang berwujud
kemerdekaan negaranegara di Asia Afrika. Namun, saat ini kolonialisme sudah
berganti baju dengan cara dan bentuk baru yang tidak kalah perihnya, melalui
kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol budaya.
Semangat untuk menghormati
integri tas dan kedaulatan negara lain pun sering kali terlanggar.
Agresivitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan Tiongkok di atas
pulaupulau buatannya di laut sengketa Laut China Selatan menjadi salah satu
contohnya. Prinsip tidak melakukan intervensi terhadap urusan negara lain
juga telah dilanggar Arab Saudi yang melakukan penyerangan terhadap kelompok
Houthi di Yaman.
Pelanggaran prinsip-prinsip
yang disepakati negara peserta KAA tentu menjadi dasar sebagian kalangan
untuk mempertanyakan, apakah KAA harus tetap dilanggengkan. Apalagi dengan
mempertimbangkan fondasi dasar dalam kerja sama regional tersebut yang
diperlemah dan digerogoti negara KAA sendiri. Pesimisme itu semakin menguat
ketika kerja sama di antara negara KAA selama ini dinilai tidak memberikan
hasil konkret dan kontribusi nyata untuk perdamaian dan kesejahteraan negara
di Asia Afrika.
Ketidakseriusan
Sekalipun tidak terbantah
sebagian negara di Asia Afrika telah menjadi negara-negara maju, kemiskinan
dan disparitas pembangunan masih menjadi tantangan besar yang masih harus
mereka hadapi. Faktor lain penghambat bagi kemajuan konkret KAA ialah kurang
seriusnya penyelenggaraan KAA. Interval waktu pelaksanaan KTT KAA dengan
penyelenggaraan berikutnya sangat panjang, yaitu KAA I 1955, KAA II 2005, dan
KAA III 2015. Fakta itu mengindikasikan KAA kurang dikelola secara serius.
Ketidakeseriusan KAA juga dapat
dilihat dari tingkat kehadiran kepala negara dan pemerintahan. KTT Asia-Afrika
2005 yang menghasilkan Kerja Sama Strategis Asia Afrika yang Baru (New
Asian-African Strategic Partnership/ NAASP), yang diharapkan akan membawa
Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik berdasarkan
ketergantungan-sendiri yang kolektif, hanya dihadiri 40 kepala negara/pemerintahan
dari 88 negara peserta. Sisanya diwakili wapres, menlu, atau dubes saja.
Untuk 2015, yang mengusung tema
peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta
perdamaian, hanya 28 kepala negara/pemerintahan dari 79 negara yang hadir.
Secara faktual tingkat
kehadiran kepala negara/pemerintahan meng indikasikan kerja sama di antara
negara-negara Asia Afrika dinilai tidak strategis. Kondisi itu sangat berbeda
jika perbandingkan dengan forum kerja sama regional lainnya, seperti ASEAN
dan APEC yang mendapatkan dukungan penuh dari para kepala negara/pemerintahan
negara anggota. Namun, keberadaan KAA masih sangat relevan untuk
dipertahankan. Ada beberapa alasan yang melandasi sikap pandangan itu.
Pertama, Dasasila Bandung tetap
diperlukan saat ini. Sampai saat ini prinsip-prinsip seperti penghormatan
HAM, penghormatan integritas dan kedaulatan sebuah negara, nonagresi,
nonintervensi, dan hidup berdampingan secara damai tetap dipertahankan dan
dibela mati-matian oleh banyak negara, termasuk negara dunia ketiga.
Kedua ialah potensi kapabilitas
yang dimiliki negara-negara peserta KAA. Secara empiris, negara-negara
peserta KTT Asia Afrika memiliki populasi penduduk serta sumber kekuatan
ekonomi dan politik kolektif yang sangat besar. Dengan hampir 75% jumlah
penduduk dunia ada di Asia dan Afrika, dari total penduduk 7,2 miliar pada
2014, berarti ada peluang pasar yang besar. Apalagi, per tumbuhan ekonomi
yang tinggi di negara negara Asia Afrika telah melahirkan kelas menengah baru.
Kerja sama ekonomi antarnegara
berkembang juga menunjukkan perkembangan semakin baik. Dalam 10 tahun
terakhir, misalnya, nilai perdagangan di antara negara negara yang tergabung
da lam kerja sama Selatan-Selatan lebih besar daripada nilai kerja sama Selatan
Utara. Produk domestik bruto kemitraan swasta dan pemerintah di antara
negara-negara maju di kawasan Asia Pasifik sebesar US$5,6 juta, sementara di
an tara negara berkembang sekitar US$38 juta. Pada 2014, nilai kerja sama
Selatan-Selatan mencapai US$16 juta-US$19 juta.
Potensi demografi dan ekonomi
yang didukung kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara-negara peserta
KAA merupakan keunggulan komparatif yang dapat dimanfaatkan sebagai modalitas
diplomasi. Dengan modalitas yang dimilikinya, KAA dapat memberi pesan kuat
sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan-kekuatan global. Di samping juga,
sebagai modalitas untuk mengagregat kepentingan global dan negara-negara
peserta KAA. Itu sesuai dengan tatanan dunia baru, keseimbangan global dan
keadilan global sebagai pesan kuat yang ingin disampaikan Presiden Joko
Widodo dalam pidatonya di KAA 2015 (Kompas, 18/4).
Prinsip kemakmuran bersama
bukan maunya kepentingan nasional sendiri merupakan paradigma yang harus
terus diciptakan. Kelangkaan energi, perubahan iklim, dan pemanasan global
merupakan persoalan yang berkaitan dengan masyarakat, tetapi dapat berdampak
luas menjadi masalah internasional. Penanggulangannya pun tidak hanya dapat
mengandalkan peran negara dan rezim hard-power,
tetapi juga membutuhkan kerja sama luas dari komunitas internasional.
Ketiga, keberadaan kerja sama
Asia Afrika tetap relevan karena organisasi regional tersebut bermanfaat
sebagai alat perjuangan untuk memerangi dan memperjuangkan isu kemiskinan,
keadilan ekonomi global, dan perdamaian sebagai kepentingannya.
Masa depan KAA
Apakah mungkin reinkarnasi KAA
ke depan bisa menjadi gerakan yang mampu membantu negara-negara di Asia
Afrika menjadi semakin berkembang, dan mewujudkan tatanan dunia baru yang
lebih seimbang? Bila tidak mungkin, pertemuan dan peringatan KAA 2015 cuma
jadi arena menapak tilas yang memboroskan anggaran negara.
Untuk mampu menapaki tantangan
masa depan tersebut, KAA perlu darah segar baru sehingga mampu untuk
bereinkarnasi sebagai organisasi regional kembali berpengaruh dalam
percaturan internasional. Untuk itu, diperlukan melihat kembali arah visi dan
tujuan kerja sama Asia Afrika tersebut.
Salah satu hal yang perlu
dilakukan ialah pemahaman bahwa sekalipun kesepakatan KAA bersifat masih
tidak mengikat, Dasasila Bandung hendaknya dilaksanakan secara konsisten oleh
negara-negara peserta KAA. Kerja sama kuat di antara negara peserta KAA
menjadi kunci menjawab tantangan masa depan dengan persoalan yang semakin
kompleks.
Mampukah Indonesia mengambil
peran sebagai motor penggeraknya? Indonesia memiliki modalitas strategis
untuk berperan membangkitkan dan memperkuat kembali peran KAA dalam
percaturan politik internasional kontemporer. Secara historis posisi
Indonesia cukup signifikan. Secara domestik, Indonesia juga memiliki
modalitas yang cukup kuat. Kondisi politik dan ekonomi yang semakin membaik
dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan kepercayaan diri dan ruang
leluasa bagi Indonesia untuk kembali aktif berperan dan asertif dalam kancah
pergaulan internasional.
Pada sisi lain, kondisi
perekono mian Indonesia memperlihatkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
relatif cukup tinggi. Dalam lima tahun terakhir, tingkat pertumbuhannya
sekitar 5%. Dalam kurun 2000-2010, angka pertumbuhan ekonomi Indone sia
selalu berada di atas Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. APBN dari tahun ke
tahun jumlahnya terus meningkat. Indonesia saat ini merupakan ne gara ke-17
dengan growth domestic product (GDP) terbesar di dunia.
Keaktifan dan akseptabilitas
Indonesia di dunia internasional juga merupakan titik tolak yang cukup kuat
bagi modalitas In donesia untuk berperan memajukan KAA. Posisi Indonesia di
ASEAN, ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), APEC, G-20, G-8,
dan OKI pun cukup dihormati.
Dalam mengatasi disparitas ekonomi,
normative power Indonesia dapat
dioperasionalkan dengan menjadi penggerak kerja sama ekonomi. Indonesia mampu
men jadi pusat jejaring di antara bangsa-bangsa Asia Afrika dan dengan negara
di luar KAA untuk memba ngun kemitraan ekonomi.
Di tingkat global, Indonesia
dapat menjadi penyambung lidah untuk menyuarakan nilai-nilai dalam Dasasila
Bandung. Pertemuan puncak KAA kali ini menjadi kesempatan emas untuk
mengulangi kembali spirit Dasasila Bandung. Peran aktif dan legitimasi
Indonesia di kawasan Asia Afrika dapat menguatkan kerja sama ekonomi
bilateral dan multilateral. Penguatan kembali spirit KAA penting agar kerja
sama KAA tidak hanya menjadi bagian sejarah masa lalu yang pernah menorehkan
tinta emas dalam capaian sejarah diplomasi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar