Rabu, 22 April 2015

Mereinkarnasi Konferensi Asia Afrika

Mereinkarnasi Konferensi Asia Afrika

Ganewati Wuryandari, Atiqah Nur Alami, dan Mario Ramadhan  ;  Peneliti Center for Foreign Policy Studies, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI
MEDIA INDONESIA, 20 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERTEMUAN Konferensi Asia Afrika (KAA) telah dimulai sejak kemarin dan akan berlangsung di Jakarta dan Bandung hingga 24 April 2015. Senior Official Meeting telah menjadi pembuka rangkaian pertemuan KAA tahun ini, selanjutnya pertemuan tingkat menteri dan kepala negara. Pertemuan bisnis juga berlangsung di antara para pemimpin perusahaan (CEO) dari Asia dan Afrika dalam forum The Asian African Business Summit.

Jika KAA diperingati kembali dalam sebuah perhelatan internasional akbar yang diikuti 79 negara, 28 kepala negara/pemerintahan, serta 6 wakil kepala negara, dengan jumlah delegasi mencapai 3.800 orang, sebaiknya jangan sekadar acara menapak tilas membangkitkan nostalgia 1955. Reinkarnasi KAA diperlukan untuk menepis keraguan akan relevansi KAA.

Masihkah relevan?

Sebagai sebuah gerakan yang diharapkan bisa membantu negara-negara Asia Afrika bisa berkembang maju dan damai, faktualnya KAA tidak demikian adanya. Meskipun sebagian besar negara peserta KAA kini sudah merdeka dari jajahan kolonialisme dan menjadi negara maju, masih banyak yang belum terlepas dari persoalan kemiskinan dan konflik kekerasan. Disparitas pembangunan juga menjadi permasalahan serius. Pendulum ekonomi negara peserta KAA bergerak dari yang paling maju seperti Tiongkok sampai ke yang paling miskin terutama di sebagian besar negara-negara di Afrika.

Kemajuan KAA selama ini terhambat oleh lunturnya komitmen negara-negara peserta terhadap Dasasila Bandung, yaitu semangat menghormati HAM, kedaulatan dan integritas nasional, nonintervensi, mempertahankan diri secara sendirian dan kolektif, nonagresi, penyelesaian sengketa secara damai, memajukan kepentingan bersama dan kerja sama, serta menghormati hukum dan kewajiban internasional.

KAA itu memiliki makna tautan kuat dengan berakhirnya kolonialisme penjajahan fisik yang berwujud kemerdekaan negaranegara di Asia Afrika. Namun, saat ini kolonialisme sudah berganti baju dengan cara dan bentuk baru yang tidak kalah perihnya, melalui kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol budaya.

Semangat untuk menghormati integri tas dan kedaulatan negara lain pun sering kali terlanggar. Agresivitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan Tiongkok di atas pulaupulau buatannya di laut sengketa Laut China Selatan menjadi salah satu contohnya. Prinsip tidak melakukan intervensi terhadap urusan negara lain juga telah dilanggar Arab Saudi yang melakukan penyerangan terhadap kelompok Houthi di Yaman.

Pelanggaran prinsip-prinsip yang disepakati negara peserta KAA tentu menjadi dasar sebagian kalangan untuk mempertanyakan, apakah KAA harus tetap dilanggengkan. Apalagi dengan mempertimbangkan fondasi dasar dalam kerja sama regional tersebut yang diperlemah dan digerogoti negara KAA sendiri. Pesimisme itu semakin menguat ketika kerja sama di antara negara KAA selama ini dinilai tidak memberikan hasil konkret dan kontribusi nyata untuk perdamaian dan kesejahteraan negara di Asia Afrika.

Ketidakseriusan

Sekalipun tidak terbantah sebagian negara di Asia Afrika telah menjadi negara-negara maju, kemiskinan dan disparitas pembangunan masih menjadi tantangan besar yang masih harus mereka hadapi. Faktor lain penghambat bagi kemajuan konkret KAA ialah kurang seriusnya penyelenggaraan KAA. Interval waktu pelaksanaan KTT KAA dengan penyelenggaraan berikutnya sangat panjang, yaitu KAA I 1955, KAA II 2005, dan KAA III 2015. Fakta itu mengindikasikan KAA kurang dikelola secara serius.

Ketidakeseriusan KAA juga dapat dilihat dari tingkat kehadiran kepala negara dan pemerintahan. KTT Asia-Afrika 2005 yang menghasilkan Kerja Sama Strategis Asia Afrika yang Baru (New Asian-African Strategic Partnership/ NAASP), yang diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik berdasarkan ketergantungan-sendiri yang kolektif, hanya dihadiri 40 kepala negara/pemerintahan dari 88 negara peserta. Sisanya diwakili wapres, menlu, atau dubes saja.

Untuk 2015, yang mengusung tema peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian, hanya 28 kepala negara/pemerintahan dari 79 negara yang hadir.

Secara faktual tingkat kehadiran kepala negara/pemerintahan meng indikasikan kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika dinilai tidak strategis. Kondisi itu sangat berbeda jika perbandingkan dengan forum kerja sama regional lainnya, seperti ASEAN dan APEC yang mendapatkan dukungan penuh dari para kepala negara/pemerintahan negara anggota. Namun, keberadaan KAA masih sangat relevan untuk dipertahankan. Ada beberapa alasan yang melandasi sikap pandangan itu.

Pertama, Dasasila Bandung tetap diperlukan saat ini. Sampai saat ini prinsip-prinsip seperti penghormatan HAM, penghormatan integritas dan kedaulatan sebuah negara, nonagresi, nonintervensi, dan hidup berdampingan secara damai tetap dipertahankan dan dibela mati-matian oleh banyak negara, termasuk negara dunia ketiga.

Kedua ialah potensi kapabilitas yang dimiliki negara-negara peserta KAA. Secara empiris, negara-negara peserta KTT Asia Afrika memiliki populasi penduduk serta sumber kekuatan ekonomi dan politik kolektif yang sangat besar. Dengan hampir 75% jumlah penduduk dunia ada di Asia dan Afrika, dari total penduduk 7,2 miliar pada 2014, berarti ada peluang pasar yang besar. Apalagi, per tumbuhan ekonomi yang tinggi di negara negara Asia Afrika telah melahirkan kelas menengah baru.

Kerja sama ekonomi antarnegara berkembang juga menunjukkan perkembangan semakin baik. Dalam 10 tahun terakhir, misalnya, nilai perdagangan di antara negara negara yang tergabung da lam kerja sama Selatan-Selatan lebih besar daripada nilai kerja sama Selatan Utara. Produk domestik bruto kemitraan swasta dan pemerintah di antara negara-negara maju di kawasan Asia Pasifik sebesar US$5,6 juta, sementara di an tara negara berkembang sekitar US$38 juta. Pada 2014, nilai kerja sama Selatan-Selatan mencapai US$16 juta-US$19 juta.

Potensi demografi dan ekonomi yang didukung kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara-negara peserta KAA merupakan keunggulan komparatif yang dapat dimanfaatkan sebagai modalitas diplomasi. Dengan modalitas yang dimilikinya, KAA dapat memberi pesan kuat sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan-kekuatan global. Di samping juga, sebagai modalitas untuk mengagregat kepentingan global dan negara-negara peserta KAA. Itu sesuai dengan tatanan dunia baru, keseimbangan global dan keadilan global sebagai pesan kuat yang ingin disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di KAA 2015 (Kompas, 18/4).

Prinsip kemakmuran bersama bukan maunya kepentingan nasional sendiri merupakan paradigma yang harus terus diciptakan. Kelangkaan energi, perubahan iklim, dan pemanasan global merupakan persoalan yang berkaitan dengan masyarakat, tetapi dapat berdampak luas menjadi masalah internasional. Penanggulangannya pun tidak hanya dapat mengandalkan peran negara dan rezim hard-power, tetapi juga membutuhkan kerja sama luas dari komunitas internasional.

Ketiga, keberadaan kerja sama Asia Afrika tetap relevan karena organisasi regional tersebut bermanfaat sebagai alat perjuangan untuk memerangi dan memperjuangkan isu kemiskinan, keadilan ekonomi global, dan perdamaian sebagai kepentingannya.

Masa depan KAA

Apakah mungkin reinkarnasi KAA ke depan bisa menjadi gerakan yang mampu membantu negara-negara di Asia Afrika menjadi semakin berkembang, dan mewujudkan tatanan dunia baru yang lebih seimbang? Bila tidak mungkin, pertemuan dan peringatan KAA 2015 cuma jadi arena menapak tilas yang memboroskan anggaran negara.

Untuk mampu menapaki tantangan masa depan tersebut, KAA perlu darah segar baru sehingga mampu untuk bereinkarnasi sebagai organisasi regional kembali berpengaruh dalam percaturan internasional. Untuk itu, diperlukan melihat kembali arah visi dan tujuan kerja sama Asia Afrika tersebut.

Salah satu hal yang perlu dilakukan ialah pemahaman bahwa sekalipun kesepakatan KAA bersifat masih tidak mengikat, Dasasila Bandung hendaknya dilaksanakan secara konsisten oleh negara-negara peserta KAA. Kerja sama kuat di antara negara peserta KAA menjadi kunci menjawab tantangan masa depan dengan persoalan yang semakin kompleks.

Mampukah Indonesia mengambil peran sebagai motor penggeraknya? Indonesia memiliki modalitas strategis untuk berperan membangkitkan dan memperkuat kembali peran KAA dalam percaturan politik internasional kontemporer. Secara historis posisi Indonesia cukup signifikan. Secara domestik, Indonesia juga memiliki modalitas yang cukup kuat. Kondisi politik dan ekonomi yang semakin membaik dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan kepercayaan diri dan ruang leluasa bagi Indonesia untuk kembali aktif berperan dan asertif dalam kancah pergaulan internasional.

Pada sisi lain, kondisi perekono mian Indonesia memperlihatkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif cukup tinggi. Dalam lima tahun terakhir, tingkat pertumbuhannya sekitar 5%. Dalam kurun 2000-2010, angka pertumbuhan ekonomi Indone sia selalu berada di atas Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. APBN dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Indonesia saat ini merupakan ne gara ke-17 dengan growth domestic product (GDP) terbesar di dunia.

Keaktifan dan akseptabilitas Indonesia di dunia internasional juga merupakan titik tolak yang cukup kuat bagi modalitas In donesia untuk berperan memajukan KAA. Posisi Indonesia di ASEAN, ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), APEC, G-20, G-8, dan OKI pun cukup dihormati.

Dalam mengatasi disparitas ekonomi, normative power Indonesia dapat dioperasionalkan dengan menjadi penggerak kerja sama ekonomi. Indonesia mampu men jadi pusat jejaring di antara bangsa-bangsa Asia Afrika dan dengan negara di luar KAA untuk memba ngun kemitraan ekonomi.

Di tingkat global, Indonesia dapat menjadi penyambung lidah untuk menyuarakan nilai-nilai dalam Dasasila Bandung. Pertemuan puncak KAA kali ini menjadi kesempatan emas untuk mengulangi kembali spirit Dasasila Bandung. Peran aktif dan legitimasi Indonesia di kawasan Asia Afrika dapat menguatkan kerja sama ekonomi bilateral dan multilateral. Penguatan kembali spirit KAA penting agar kerja sama KAA tidak hanya menjadi bagian sejarah masa lalu yang pernah menorehkan tinta emas dalam capaian sejarah diplomasi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar