Pemimpin
yang Indah
Herry Tjahjono ; Terapis
Budaya Perusahaan
|
KOMPAS, 28 April 2015
Kisah ilustratif
berikut menunjukkan betapa kepemimpinan sangat menentukan nasib sebuah
organisasi.
Apple mendunia dan
sukses fenomenal setelah Steve Wozniak berpadu dengan Steve Jobs. Richard dan
Maurice McDonald mendirikan McDonald's, tetapi setelah mereka bertemu Roy
Kroc, McDonald's jadi mendunia. Konon, ada satu faktor determinan yang
membuat Apple dan McDonald's mendunia, yaitu kepemimpinan Steve Jobs dan Roy
Kroc. Itulah sebabnya muncul sebuah paradigma spesifik dalam ilmu perilaku
organisasi: apabila kinerja sebuah organisasi menurun atau tak produktif,
langkah paling awal dan efektif untuk dilakukan adalah mengganti pemimpinnya.
Tak luput organisasi
yang bernama Indonesia. Maksudnya, faktor kepemimpinan akan sangat menentukan
gagal atau suksesnya Indonesia sebagai sebuah negara. Dan ternyata salah satu
kunci kebesaran seorang pemimpin adalah keberanian. Keberanian di sini bukan
secara harfiah dan sempit, misalnya keberanian untuk berperang, melawan,
menaklukkan, dan lainnya. Namun, keberanian untuk mendengarkan nurani kepemimpinan atau inner voice (Stephen Covey) dan menjalankannya tanpa kompromi.
Berdasarkan faktor
keberanian mendengarkan nurani diri ini, ada dua jenis pemimpin. Pertama,
pemimpin konsensus, yaitu pemimpin yang menerima dan menjalankan tugas
kepemimpinannya sebagai kewajiban. Mekanisme kerja kepemimpinannya dilandasi
prinsip penawaran diri, transaksional. Artinya, seorang pemimpin melakukan
tawar-menawar sehingga usaha, kerja, dan kinerja kepemimpinannya selalu
dihubungkan seberapa besar hasil/risiko yang ia dapatkan.
Pemimpin konsensus
yang memandang kepemimpinan sebagai kewajiban ini biasanya akan lari dari
tanggung jawab jika menghadapi risiko atau bahaya. Atau, jika dirasakannya
penghargaan lebih kecil daripada tugas dan risiko yang diemban, mereka
menjalankan tugas seadanya, ala kadarnya dan pada titik tertentu akan memilih
sikap untuk diam dan permisif meski sadar bahwa kepentingan organisasi yang
(lebih) besar sedang dikorbankan.
Gejala para pemimpin
konsensus ini bermacam-macam, tapi intinya mereka akan selalu memperhitungkan
bobot rasa aman kepemimpinan dibandingkan risiko yang harus dihadapi.
Ekspresi kepemimpinan konsensus itu sangat tipikal seperti misalnya
"saya hanya menjalankan tugas saya (karena tahu berhadapan dengan risiko
melawan arus besar atau tidak populis), nothing to lose (biasanya dalam
kondisi kepepet dan harus menjaga gengsi pribadi), saya tidak boleh melakukan
intervensi (karena tahu intervensi itu akan mengusik rasa aman
kepemimpinannya)". Pendeknya, keberanian para pemimpin konsensus ini
sebatas pada "kewajiban" yang dihitung setara dengan penghargaan
yang mereka terima, atau risiko yang dihadapi. Bahkan ia akan menentang
nurani kepemimpinannya (inner voice)
meski diyakininya benar.
Kedua, pemimpin
kontributif, yakni pemimpin yang memiliki keberanian untuk mendengarkan
nuraninya sekaligus menjalankan nyaris tanpa kompromi. Sebagai dampaknya,
pemimpin kontributif berani dan mampu melawan arus besar, suara mayoritas,
suara partai, bahkan termasuk "otoritas" yang lebih tinggi (jika
ada, baik itu otoritas individual maupun institusional). Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice.
And most important, have the courage to follow your heart and intuition-ungkapan
kepemimpinan Steve Jobs inilah yang menentukan kebesaran dirinya sebagai
pemimpin Apple.
Nurani kepemimpinan
Dalam skala berbeda,
John F Kennedy (JFK) adalah contoh relatif sempurna terkait konteks tulisan
ini. Bahkan JFK disebut sebagai Profile
in Courage-sesuai buku yang ditulisnya-bertutur tentang delapan senator
pemberani dari berbagai partai (John Quincy Adams, Daniel Webster, Thomas
Hart Benton, Sam Houston, Edmund G Ross, Lucius Lamar, George Norris, dan
Robert A Taft) yang mampu mempertahankan sikap sesuai pilihan yang dianggap
benar meski harus bertentangan dengan kemauan orang banyak, atau tekanan apa pun
lainnya. Meski untuk itu, mereka harus mengorbankan karier dan popularitas
politik mereka. Artinya, semua risiko dan rasa aman kepemimpinan dikorbankan
demi kepentingan lebih besar yang disuarakan oleh hati nuraninya.
Peter F Drucker
menyebutkan tugas utama seorang pemimpin adalah melakukan hal yang benar,
bukan melakukan sesuatu dengan benar. Dari semua uraian itu, kita paham
betapa langkanya pemimpin seperti itu di Indonesia. Kita telah memilih Joko
Widodo (Jokowi), dan sejak awal kita berharap ia mampu menjadi pemimpin
kontributif. Namun, segenap output kepemimpinannya selama beberapa bulan ini-
sampai sikap permisif selama Kongres PDIP di Bali lalu-menunjukkan sebagai
presiden ia masih dalam tataran pemimpin konsensus.
Kepatuhan, loyalitas,
sikap permisifnya-bukan cuma soal karakter pemimpin Jawa yang santun dan tepa
selira-tapi soal keberanian untuk mendengarkan nuraninya dan melakukan
sesuatu atas kepemimpinannya sendiri. Dia sadar bahwa kepemimpinannya yang
selama ini lebih banyak dikendalikan oleh tekanan partai, senioritas pemimpin
partai, dan tekanan arus besar lainnya membuat output kepemimpinannya tak efisien dan tak
efektif untuk kepentingan bangsa. Dia juga sadar, sikap kepemimpinannya yang
permisif sungguh membuat dirinya sebagai personifikasi simbol kepala
pemerintahan dan negara dijatuhkan. Mungkin Jokowi telah melakukan
kewajibannya dengan benar (permisif, patuh). Namun, ia melalaikan tugas
utamanya sebagai pemimpin, yaitu melakukan sesuatu yang benar (versi
Drucker). Dia belum menjadi profile in courage (versi JFK).
Jokowi orang baik,
tetapi ia perlu punya keberanian untuk mendengarkan nurani kepemimpinannya,
sekaligus menjalankannya tanpa kompromi, bahkan jika untuk itu harus
mengorbankan popularitas dan karier kepemimpinannya. Namun, pada titik itu,
Jokowi akan dihormati dan dikenang sebagai pemimpin kontributif bagi bangsa
ini. Mengadaptasi Dr Chaterine Roberts: pemimpin, melalui pengetahuan
keinsanian yang unggul, bisa mengetahui apa arti menjadi seorang pemimpin,
yaitu jika ia bisa memberikan sumbangsih (kontribusi) pada kehidupan dan
kepemimpinannya. Dengan sumbangsih itu, ia seinsani-insaninya pemimpin,
alangkah indahnya.
Kita pernah memiliki
pemimpin insani yang indah, seperti Hoegeng atau Hatta. Dan sampai batas
tertentu, sekarang salah satunya ada Menteri Susi Pudjiastuti yang berani
mengatakan kalau Jokowi dan Jusuf Kalla tak melakukan perubahan, berarti kita
salah pilih! Sungguh, kita merindukan pemimpin yang indah seperti itu ! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar