Minggu, 26 April 2015

Di Antara Tiongkok dan Jepang

Di Antara Tiongkok dan Jepang

M Sya’roni Rafii  ;   Mahasiswa S-3 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
Marmara University Istanbul, Turki
JAWA POS, 24 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KOTA Bandung pernah punya daya magis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah salah satu sudut dunia yang bisa menantang tatanan dunia yang tidak adil. Adalah Presiden Soekarno, Jawaharlal Nehru, Zhou Enlai, dan Gamal Abdul Nasser yang menjadikan ibu kota Jawa Barat itu tempat berkumpulnya para pemimpin dunia untuk berbicara sekaligus mengutuk kolonialisme dan imperialisme.

Sehingga tidak salah untuk menyebut Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955 sebagai panggung diplomasi negara-negara yang selama ini terpinggirkan dalam tatanan dunia yang didominasi blok Barat dan Timur. Dua kutub yang tengah terlibat dalam Perang Dingin itu seolah tidak memberikan ruang untuk imparsialitas bangsa-bangsa: menjadi kawan atau lawan. Pilihan sulit semacam ini tidak mudah untuk diterima negara-negara yang baru merdeka dan sebagian lagi tengah mengupayakan kemerdekaan.

Maka, KAA adalah jalan ketiga yang dipilih bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam tatanan politik global. Hasil pertemuan itu melahirkan konsepsi Dasasila Bandung yang secara umum mengutuk pelanggaran atas hak dasar kemanusiaan serta menghendaki tatanan dunia yang adil, perdamaian, kedaulatan negara-bangsa, dan kerja sama berkelanjutan. Dan titik tekannya adalah menjauh dari rivalitas Amerika Serikat serta Uni Soviet. Gerakan tersebut kemudian dikenal sebagai cikal bakal Gerakan Nonblok (GNB).

Kini, 60 tahun berlalu, para pemimpin bangsa dari kawasan Asia dan Afrika kembali berkumpul di Indonesia untuk mengenang terobosan yang telah dilakukan di masa lalu oleh para tokoh bangsa dari Asia-Afrika. Sejatinya, peringatan KAA tahun ini menjadi forum paling strategis bagi posisi Indonesia di kancah dunia. Sebab, Indonesia memiliki modal sejarah sebagai promotor utama sekaligus tuan rumah dalam propaganda nilai universal untuk melawan ketidakadilan.

Pidato Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pembukaan secara tegas menyebut arsitektur global yang tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah persoalan, mulai isu keamanan hingga ekonomi. Lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB sudah seharusnya ditinggalkan. Begitu juga isu Palestina yang dianggap sebagai bukti nyata kegagalan rezim internasional dalam mengakomodasi hak-hak dasar umat manusia (jawapos.com, 22/04).

Sebenarnya, ancaman paling nyata yang dihadapi masyarakat dunia saat ini adalah minimnya ”trust” antar para aktor untuk menyelesaikan persoalan global. Persoalan global kian menumpuk dengan kehadiran ancaman non-negara. Namun, nihilnya upaya para aktor negara untuk bersikap membuat ancaman sulit untuk direduksi.

Seiring berubahnya iklim politik global, sudah seharusnya semangat kerja sama terus dikobarkan untuk menghadapi persoalan-persoalan serius yang dihadapi negara-bangsa di Asia-Afrika. Persoalan ekonomi masih menghantui negara kawasan Asia dan Afrika sehingga sangat dibutuhkan kerja sama berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas dalam bidang pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki dua kawasan ini. Dan pada saat bersamaan mencari titik temu hubungan perdagangan dengan prinsip saling melengkapi.

Prospek Masa Depan

Pertemuan maraton Presiden Jokowi dengan para pemimpin negara, mulai Jepang, Jordania, hingga Tiongkok, bisa dibilang sebagai bumbu dari KAA tahun ini. Hadirnya pemimpin tertinggi Tiongkok dan Jepang sekaligus meningkatkan daya tawar Indonesia sebagai tuan rumah. Sehingga Indonesia harus pandai memosisikan diri.

Di satu sisi, Tiongkok bisa dikatakan memiliki agenda untuk meyakinkan Indonesia bahwa pihak mereka akan terus menindaklanjuti kerja sama yang telah dibicarakan di forum APEC. Apalagi, Tiongkok sedang menggalakkan program investasi di kawasan Asia di bawah skema silk road fund. Sekaligus menguatkan pengaruh ekonomi di kawasan Afrika yang telah mereka rintis dalam satu dekade terakhir (Joseph Nye, 2014). Proyek ambisius Tiongkok yang mereka sebut sebagai one belt one road (OBOR) yang berfokus pada bidang ekonomi ini secara tidak langsung menjadi rival Amerika yang sejak 2005 menancapkan pengaruh di kawasan Asia dengan proyek Trans-Pacific Partnership (TPP) (The Diplomat, 09/04; Foreign Affairs, 18/01).

Sementara di sisi yang lain, Jepang memiliki rivalitas dingin dengan Tiongkok pada isu sengketa Laut China Selatan dan ekspansi ekonomi Tiongkok yang telah melampaui Jepang (World Bank, 2010). Sehingga Jepang sangat berkepentingan untuk menjaga agar porsi pasar yang telah mereka pegang tidak diambil alih Tiongkok. Termasuk menjadi langkah dini untuk memastikan dukungan dari Indonesia dalam forum internasional dalam membendung manuver militer Tiongkok yang terus meningkat. Jepang yang tengah berpikir ulang merevitalisasi kekuatan militer tentu tidak ingin suara penting komunitas Asia-Afrika jatuh begitu saja ke tangan Tiongkok.

Melihat gerak dua pemain penting kawasan Asia ini, Indonesia sebaiknya berhati-hati dalam mengayunkan langkah kerja sama. Tiongkok dan Jepang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam bidang investasi. Karena itu, perlu pemahaman dini kepada keduanya untuk menjadikan Indonesia mitra strategis dalam posisi sejajar dan saling menguntungkan.

Lebih dari itu, Indonesia sepatutnya bisa belajar dari Tiongkok yang telah berniaga hingga Afrika sejak satu dekade terakhir karena keyakinan kuat para pemimpinnya untuk menjadi penentu nasib sendiri lewat jalur perdagangan. Afrika adalah kawan lama dalam perjuangan sehingga tidak sulit untuk membuka pintu kerja sama dalam bidang perdagangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar