Di
Antara Tiongkok dan Jepang
M Sya’roni Rafii ; Mahasiswa
S-3 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
Marmara University Istanbul, Turki
|
JAWA POS, 24 April 2015
KOTA
Bandung pernah punya daya magis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia
adalah salah satu sudut dunia yang bisa menantang tatanan dunia yang tidak
adil. Adalah Presiden Soekarno, Jawaharlal Nehru, Zhou Enlai, dan Gamal Abdul
Nasser yang menjadikan ibu kota Jawa Barat itu tempat berkumpulnya para
pemimpin dunia untuk berbicara sekaligus mengutuk kolonialisme dan
imperialisme.
Sehingga
tidak salah untuk menyebut Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955 sebagai
panggung diplomasi negara-negara yang selama ini terpinggirkan dalam tatanan
dunia yang didominasi blok Barat dan Timur. Dua kutub yang tengah terlibat
dalam Perang Dingin itu seolah tidak memberikan ruang untuk imparsialitas
bangsa-bangsa: menjadi kawan atau lawan. Pilihan sulit semacam ini tidak
mudah untuk diterima negara-negara yang baru merdeka dan sebagian lagi tengah
mengupayakan kemerdekaan.
Maka,
KAA adalah jalan ketiga yang dipilih bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam tatanan
politik global. Hasil pertemuan itu melahirkan konsepsi Dasasila Bandung yang
secara umum mengutuk pelanggaran atas hak dasar kemanusiaan serta menghendaki
tatanan dunia yang adil, perdamaian, kedaulatan negara-bangsa, dan kerja sama
berkelanjutan. Dan titik tekannya adalah menjauh dari rivalitas Amerika
Serikat serta Uni Soviet. Gerakan tersebut kemudian dikenal sebagai cikal
bakal Gerakan Nonblok (GNB).
Kini,
60 tahun berlalu, para pemimpin bangsa dari kawasan Asia dan Afrika kembali
berkumpul di Indonesia untuk mengenang terobosan yang telah dilakukan di masa
lalu oleh para tokoh bangsa dari Asia-Afrika. Sejatinya, peringatan KAA tahun
ini menjadi forum paling strategis bagi posisi Indonesia di kancah dunia.
Sebab, Indonesia memiliki modal sejarah sebagai promotor utama sekaligus tuan
rumah dalam propaganda nilai universal untuk melawan ketidakadilan.
Pidato Jokowi
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pembukaan secara tegas menyebut arsitektur
global yang tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah persoalan, mulai isu
keamanan hingga ekonomi. Lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan
ADB sudah seharusnya ditinggalkan. Begitu juga isu Palestina yang dianggap
sebagai bukti nyata kegagalan rezim internasional dalam mengakomodasi hak-hak
dasar umat manusia (jawapos.com, 22/04).
Sebenarnya,
ancaman paling nyata yang dihadapi masyarakat dunia saat ini adalah minimnya
”trust” antar para aktor untuk menyelesaikan persoalan global. Persoalan
global kian menumpuk dengan kehadiran ancaman non-negara. Namun, nihilnya
upaya para aktor negara untuk bersikap membuat ancaman sulit untuk direduksi.
Seiring
berubahnya iklim politik global, sudah seharusnya semangat kerja sama terus
dikobarkan untuk menghadapi persoalan-persoalan serius yang dihadapi
negara-bangsa di Asia-Afrika. Persoalan ekonomi masih menghantui negara
kawasan Asia dan Afrika sehingga sangat dibutuhkan kerja sama berkelanjutan
untuk meningkatkan kapasitas dalam bidang pengelolaan sumber daya alam yang
dimiliki dua kawasan ini. Dan pada saat bersamaan mencari titik temu hubungan
perdagangan dengan prinsip saling melengkapi.
Prospek Masa Depan
Pertemuan
maraton Presiden Jokowi dengan para pemimpin negara, mulai Jepang, Jordania,
hingga Tiongkok, bisa dibilang sebagai bumbu dari KAA tahun ini. Hadirnya
pemimpin tertinggi Tiongkok dan Jepang sekaligus meningkatkan daya tawar
Indonesia sebagai tuan rumah. Sehingga Indonesia harus pandai memosisikan
diri.
Di
satu sisi, Tiongkok bisa dikatakan memiliki agenda untuk meyakinkan Indonesia
bahwa pihak mereka akan terus menindaklanjuti kerja sama yang telah
dibicarakan di forum APEC. Apalagi, Tiongkok sedang menggalakkan program
investasi di kawasan Asia di bawah skema silk road fund. Sekaligus menguatkan
pengaruh ekonomi di kawasan Afrika yang telah mereka rintis dalam satu dekade
terakhir (Joseph Nye, 2014). Proyek
ambisius Tiongkok yang mereka sebut sebagai one belt one road (OBOR) yang berfokus pada bidang ekonomi ini
secara tidak langsung menjadi rival Amerika yang sejak 2005 menancapkan
pengaruh di kawasan Asia dengan proyek Trans-Pacific
Partnership (TPP) (The Diplomat,
09/04; Foreign Affairs, 18/01).
Sementara
di sisi yang lain, Jepang memiliki rivalitas dingin dengan Tiongkok pada isu
sengketa Laut China Selatan dan ekspansi ekonomi Tiongkok yang telah
melampaui Jepang (World Bank, 2010). Sehingga Jepang sangat berkepentingan
untuk menjaga agar porsi pasar yang telah mereka pegang tidak diambil alih
Tiongkok. Termasuk menjadi langkah dini untuk memastikan dukungan dari
Indonesia dalam forum internasional dalam membendung manuver militer Tiongkok
yang terus meningkat. Jepang yang tengah berpikir ulang merevitalisasi
kekuatan militer tentu tidak ingin suara penting komunitas Asia-Afrika jatuh
begitu saja ke tangan Tiongkok.
Melihat
gerak dua pemain penting kawasan Asia ini, Indonesia sebaiknya berhati-hati
dalam mengayunkan langkah kerja sama. Tiongkok dan Jepang memiliki kelebihan
dan kekurangan dalam bidang investasi. Karena itu, perlu pemahaman dini
kepada keduanya untuk menjadikan Indonesia mitra strategis dalam posisi
sejajar dan saling menguntungkan.
Lebih
dari itu, Indonesia sepatutnya bisa belajar dari Tiongkok yang telah berniaga
hingga Afrika sejak satu dekade terakhir karena keyakinan kuat para
pemimpinnya untuk menjadi penentu nasib sendiri lewat jalur perdagangan.
Afrika adalah kawan lama dalam perjuangan sehingga tidak sulit untuk membuka pintu
kerja sama dalam bidang perdagangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar