Sibuk
Berpolitik, Gagal Bina Sipir Lapas
Bambang Soesatyo ; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN SINDO, 20 April 2015
Kementerian Hukum dan HAM gagal total membina dan menyiapkan
para sipir lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk memerangi narkotika dan
obat-obatan berbahaya (narkoba).
Dari modusnya, tidak ada cerita baru pada kasus bandar narkoba,
Freddy Budiman, dan kasus sipir Lapas Narkotika Cipinang berinisial IT, 52.
Ulah Freddy dan IT adalah pengulangan dari begitu banyak kasus serupa yang
melibatkan bandar narkoba dan sipir lapas lainnya pada tahun-tahun terdahulu.
Modusnya klasik dan mudah dipahami.
Kalau si bandar besar sudah mendekam di balik sel penjara, dia
tetap bisa menjalankan roda bisnis haramnya kalau sang Bandar mendapatkan
akses berkomunikasi dengan dunia di luar lapas. Namanya bandar besar, dia
pasti punya jaringan luas. Apalagi kalau bisnisnya berskala internasional.
Orang awam pun paham soal ini.
Para pejabat negara yang bertugas mengelola lapas jangan
purapura tidak paham soal ini. Untuk bisa berkomunikasi dengan dunia di luar
penjara, sang bandar butuh alat komunikasi. Alat ini sekarang mudah diperoleh
dan diselundupkan ke sel-sel penjara. Siapa yang bisa menyelundupkan telepon
genggam (seluler) ke sel penjara? Siapa lagi kalau bukan sipir penjara.
Atas jasanya membantu sang bandar besar itu, si oknum sipir
diberi upah. Ketika sang bandar mulai percaya pada oknum sipir itu,
penugasannya pun ditingkatkan menjadi perantara antara sang bandar dan
anggota jaringan hingga menjadi kurir pembawa barang haram itu. Tentu saja
upah untuk oknum sipir diperbesar. Selain penugasan, si oknum sipir pun
bersedia menjadi pelayan sang bandar.
Semua permintaan dan kebutuhannya sebisa mungkin dipenuhi.
Jangan heran jika di Lapas Nusakambangan yang pengamanannya ekstraketat,
Freddy tak hanya leluasa menggunakan telepon seluler, tetapi juga mendapatkan
ruang tahanan dengan fasilitas kamar hotel.
Modus seperti itulah yang melibatkan begitu banyak sipir lapas
dalam kasus narkoba sejak awal 2000-an. Pada 2006/ 2007 tak kurang dari 170
sipir pada 531 rumah tahanan negara (rutan) dan lapas se-Indonesia terlibat
kasus narkoba. Kasus yang menyita perhatian publik adalah keterlibatan Kepala
Lapas Narkotika Nusakambangan Marwan Adli.
Pada Maret 2011 Marwan Adli bersama Kepala Pengamanan Lapas Iwan
Syaefuddin dan Kepala Seksi Bina Pendidikan Lapas Fob Budhiyono diringkus
Satgas BNN karena terlibat jaringan pengedar narkoba kelas atas. Kepada
pemeriksa, Marwan Adli mengaku menerima uang dari bandar narkoba. Dana
narkoba itu diterima melalui rekening anak dan cucunya.
Freddy Budiman dan oknum sipir IT mengulang modus yang sama.
Freddy, terpidana mati, masih bisa mengendalikan bisnis narkotika dari
penjara Nusakambangan karena para oknum sipir lapas memberinya akses
berkomunikasi. Berkat akses komunikasi itulah Freddy bisa melakukan transaksi
impor 50.000 butir ekstasi dari Belanda, 800 gram sabu dari Pakistan, dan 122
lembar narkotika jenis DOC dari Belgia.
Polisi sudah menduga oknum sipir IT sebagai anggota jaringan
narkoba Freddy Budiman. Seperti kasus yang melibatkan Marwan Adli sebagai
kepala Lapas Nusakambangan, sudah bisa dipastikan bahwa IT pun tidak
sendirian. Dia pasti dibantu oknum sipir lainnya. IT sipir di Lapas Narkotika
Cipinang, sementara terpidana mati Freddy sudah mendekam di Nusakambangan.
Syukurlah, karena polisi mencurigai keterlibatan dua sipir di
Lapas Nusakambangan ikut membantu Freddy menjalankan bisnis haramnya itu.
Tiga oknum sipir itu menyediakan alat komunikasi untuk Freddy serta
mengeluarkan barang haram itu dari lapas. Seperti diketahui, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat memvonis mati Freddy Budiman karena terbukti memiliki
satu peti kemas yang memuat 1,4 juta pil ekstasi yang diimpor dari China.
Efek Jera
Pertanyaannya, mengapa penyimpangan perilaku oknum sipir dalam
kasus dengan modus yang sama bisa berulang-ulang selama lebih dari 10 tahun
terakhir ini? Kalau jajaran Kemenkumham juga bersepakat bahwa peredaran
narkoba di dalam negeri sudah berstatus kejahatan luar biasa yang mengancam
ketahanan nasional, harus ada upaya maksimal dan sungguhsungguh dari semua
jajaran Kemenkumham untuk mencegah kejahatan serupa terulang di lingkungan
lapas maupun rutan.
Sudah lama dan berulangkali diingatkan bahwa petugas lapas
berpotensi menjadi salah satu titik lemah dalam perang melawan sindikat atau
mafia narkoba internasional. Kemenkumham pun diimbau segera memperbaiki titik
lemah itu. Namun, kalau kecenderungannya tidak juga berubah, itu menjadi
bukti bahwa Kemenkumham tidak ingin bersungguhsungguh memperbaiki kelemahan
itu.
Pada kasus Freddy dan IT, publik bisa melihat bahwa Kemenkumham
belum melakukan peningkatan standar pengamanan terhadap para terpidana
narkoba. Juga belum menerapkan sanksi maksimal terhadap oknum sipir yang
pernah terlibat kasus serupa. Akibatnya, tidak segera tumbuh efek jera di
kalangan sipir lapas.
Karena itu, tidak mengherankan jika oknum sipir IT dan
rekan-rekannya masih berani menjalin kerja sama dengan bandar narkoba
sekaliber Freddy Budiman. Jelas bahwa Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly
tidak mau belajar dari rangkaian kasus terdahulu. Padahal, Yasonna yakin
bahwa peredaran narkoba di dalam lapas melibatkan oknum sipir.
Kalau sudah yakin seperti itu, Yasonna dan jajaran Kemenkumham
seharusnya sudah merancang tindakan preventif agar kasus serupa tidak
berulang. Bukan sekadar berkomentar ketika peristiwa penyimpangan perilaku
oknum sipir sudah terjadi.
Beberapa sipir lapas di sejumlah daerah pernah mengaku bahwa
penyimpangan perilaku itu bukan hanya berorientasi pada uang suap dari bandar
narkoba, melainkan perasaan takut karena diancam anggota jaringan mafia
narkoba yang berada di luar penjara. Konon, ancamannya tidak main-main.
Mafia narkoba akan membunuh keluarga sipir lapas jika mereka
tidak mau bekerja sama. Kemenkumham tentu perlu menyelidiki perihal ancaman
ini. Kalau benar ancaman itu ada, tentu harus direspons dengan taktis. Jangan
biarkan para sipir lapas bekerja di bawah ancaman. Tapi, perilaku para sipir
lapas tetap harus dikoreksi.
Ancaman itu bisa ada karena para sipir memberi akses kepada
terpidana narkoba untuk berkomunikasi dengan anggota jaringannya. Kalau akses
komunikasi para terpidana narkoba ditutup rapat-rapat, mereka dan anggota
jaringannya tidak akan mampu menebar ancaman itu.
Memang, mengurung para terpidana sekaliber bandar narkoba,
dibutuhkan ketaatan mutlak pada disiplin pengamanan dan soliditas korps.
Asumsikan saja bahwa yang dikurung itu bos mafia. Kalau disiplin dilanggar
dan para sipir lapas tidak kompak, kemungkinan ancaman itu selalu saja ada.
Untuk memperkecil terulangnya kejahatan serupa, pemenjaraan atau
pengurungan para bandar narkoba harus mencapai skala maksimum dan
ekstraketat. Kemungkinan bagi terpidana narkoba mengenal, bersinggungan, atau
berkomunikasi langsung dengan para sipir harus benar-benar dibatasi.
Para sipir yang membina, mengawasi, dan melayani mereka
hendaknya punya integritas dan moral yang teruji. Jangan lupa bahwa terpidana
narkoba itu punya uang sangat banyak dan punya anggota jaringan. Sekali si
terpidana bisa berkomunikasi dengan anggota jaringannya, bobolnya sistem
pengamanan lapas hanya soal waktu.
Selain pengurungan berskala maksimum, para bandar narkoba yang
sudah berstatus terpidana mati hendaknya segera dieksekusi. Rentang waktu
menunggu eksekusi yang terlalu lama sudah terbukti bisa melahirkan ekses
seperti yang diperlihatkan Freddy Budiman.
Masih ada 66 terpidana mati dalam kasus narkoba. Kalau semua
masih bisa menjalankan bisnisnya seperti Freddy, Indonesia bisa kebanjiran
barang haram itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar