Orang-Orang
Berani
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 23 April 2015
Bagi
kita nama Muhammad Iqbal mungkin tak punya arti apa-apa. Itu nama yang umum
di negara kita, setidak-tidaknya sampai ia menjadi korban penganiayaan. Iqbal
adalah petugas satpam stasiun kereta di Pondok Jati, Matraman, Jakarta Timur.
Senin (20/4), saat bertugas jaga, Iqbal
melihat seseorang merokok di peron. Ia menegur orang itu.
Peron dan stasiun adalah kawasan bebas dari asap rokok–meski tak ada
pengumuman resmi di sana. Bukannya
berterima kasih, orang yang ditegur tadi malah tersinggung. Iqbal pun ia
hujani dengan bogem mentah. Kepalanya dibenturkan dengan tembok peron.
Akibatnya, Iqbal terluka parah. Ia dirawat di Instalasi Gawat Darurat RS
Cipto Mangunkusumo. Kondisinya sempat kritis.
Kini
ia berangsur-angsur pulih dan sudah menjalani rawat jalan. Kalau melihat
kondisinya, mungkin sebagian kita akan menganggap Iqbal sebagai pecundang.
Buktinya ia babak belur dan bahkan dirawat di rumah sakit. Tapi bagi saya
tidak. Sebaliknya Iqbal adalah seorang pemberani. Ia sama sekali bukan
pecundang. Malah sebaliknya dialah pemenangnya.
Sekarang
saya ajak untuk membayangkan kalau Anda berada pada posisi seperti Iqbal.
Anda petugas satpam stasiun dan menemukan seseorang merokok di sana.
Beranikah Anda menegur orang itu? Dugaan saya, sebagian kecil mungkin berani.
Tapi,
sebagian besar lainnya saya yakin akan memilih bersikap pura-pura tidak tahu
atau tahu dan membiarkan orang itu terus merokok. Persis seperti yang saya
lihat di Pasar Tanah Abang yang ber-AC. Waktu saya tanya mengapa mereka
merokok, mereka hanya pura-pura tidak tahu ada larangan. Lagipula petugasnya
juga mendiamkan saja, padahal beberapa menit sekali larangan merokok
diucapkan lewat pengeras suara.
Orang Baik Jangan Diam
Saya
beri contoh lagi tentang orang-orang yang berani. Anda mungkin lupa-lupa
ingat dengan Hubert A Wenas. Dia pernah memodifikasi mobilnya sehingga
terlihat kokoh dan kuat. Hubert menamai mobilnya Ichiro. Dengan Ichiro-nya
Hubert menertibkan secara paksa para pengendara yang tidak tertib berlalu
lintas di jalan raya. Caranya, ia menegur para pengendara tersebut. Kalau
masih membandel, ia menyenggolkan Ichiro-nya. Kalau masih membandel juga, ia
akan menabrakkan kendaraannya. Mengapa Hubert melakukan itu? Pertama, ia
jengkel dengan para pengendara yang berlalu lintas seenaknya sendiri.
Seakan-akan
jalan raya adalah milik nenek moyangnya. Kedua, ia jengkel dengan aparat
penegak hukum yang terkesan enggan menertibkan para pengendara tadi. Maka,
jadilah ia main hukum sendiri. Kita tentu tak sepenuhnya setuju dengan
langkah Hubert. Tapi, terlepas dari masalah itu, saya nilai Hubert adalah
orang yang berani.
Anda
tentu pernah mendengar ungkapan bahwa suatu negara bisa rusak bukan karena
banyaknya orang jahat. Di negara ini jumlah orang
jahat selalu lebih sedikit ketimbang orang baik. Tapi, mengapa suatu negara
bisa rusak? Itu karena orang baik, yang jumlahnya lebih banyak tadi, memilih
bersikap berdiam dan membiarkan orang jahat merajalela di depan matanya.
Sekarang
saya ajak Anda untuk melihat orang-orang yang berani tadi dalam perspektif
yang lain. Lufa Farms bagi Anda mungkin terdengar asing. Perusahaan yang
bergerak dalam bidang agroindustri ini didirikan pada 2009 oleh Mohamed Hage
dan beberapa koleganya. Visi bisnis Lula Farms adalah ”We grow food where people live and grow it more sustainably.”
Bisnis Lufa Farms terbilang unik, yakni pertanian organik tanpa lahan di
kawasan perkotaan.
Persisnya
di Montreal, Kanada. Hage menyebutnya revolutionizing
urban agriculture. Lalu, di mana Hage menanam tanamannya? Ia memanfaatkan
atap bangunan (roof top) untuk budi
daya tanaman hortikultura. Lokasi di atap ia pilih karena lahan di perkotaan
di Montreal sudah sangat terbatas.
Pertimbangan
lain, atap menghasilkan panas yang diserap dari aktivitas yang ada pada
bangunan di bawahnya. Panas itulah yang ia manfaatkan untuk menghangatkan
tanaman, terutama pada saat musim dingin. Uniknya lagi, Lufa Farms memasarkan
produknya secara online. Sayur-mayur produksi Lufa Farms dijamin
kesegarannya, karena hasil panen pada hari itu juga langsung ia kirimkan ke
pembeli.
Saat
ini Lufa Farms mampu memasok lebih dari 10% kebutuhan sayur-mayur untuk warga
Montreal. Apa yang membuat Hage saya nilai sebagai orang yang berani? Anda
tahu, menjadi pengusaha itu tidak mudah. Silakan baca semua referensi.
Kesimpulannya kurang lebih akan sama, yakni dari 10 orang yang ingin menjadi
pengusaha, 9 di antaranya gagal.
Jadi
hanya 1 yang berhasil. Konsep yang Hage tawarkan bercocok tanam di atas atap
membuat pilihannya menjadi semakin sulit. Atau setidak-tidaknya membutuhkan
modal yang lebih besar. Tapi toh Hage berani mengeksekusi konsep bisnisnya.
Berani, Bukan Nekat
Di
dunia ini pengusaha yang seperti Mohamed Hage jumlahnya tidak banyak. Selain
mencari keuntungan biar bagaimana Hage seorang pengusaha ia juga menawarkan
visi yang lain. Di antaranya konsep pertanian yang lebih ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Dunia kita, juga negara kita, membutuhkan banyak orang seperti
Hage. Kita membutuhkan banyak orang yang berani.
Kita
membutuhkan orangorang yang berani meninggalkan zona nyaman untuk menerobos
masuk ke area-area baru yang serba-tidak menentu. Kalau tidak ada orang-orang
seperti ini, inovasi akan mandek dan dunia kita berhenti bergerak maju.
Inilah yang saya sebut sebagai learning zone. Jadi kita harus keluar dari
zona ketakberdayaan yang rutin dan nyaman itu atau perluas zona lama kita dengan
belajar hal-hal baru dengan berani.
Belajar
hal baru itu butuh keberanian, bukan? Kita juga membutuhkan orang-orang yang
berani bersikap tidak populis seperti berani menaikkan harga BBM ketika
sebagian besar masyarakat justru ingin harga BBM terus turun. Padahal kita
harus berhemat dan mencari alternatifnya, bukan berfoya-foya.
Kita
juga membutuhkan orang yang berani mundur dari jabatannya kalau ternyata
kinerjanya tidak sesuai dengan harapan. Berani
berbeda dengan nekat. Orang berani masih mengenal takut. Orang nekat tidak.
Kata Bear Grylls, presenter TV untuk acara-acara yang berbau petualangan, ”Being brave
isn’t the absence of fear. Being brave is having that fear but finding a way
through it.”
Kita
membutuhkan orang yang berani, bukan yang nekat. Orang nekat itu meski gagal
mengemban tugasnya, dia tetap saja ngotot ingin bercokol di posisinya. Sudah
tahu apa yang dilakukannya salah, tetap saja dia mencari sejuta argumentasi
untuk dijadikan pembenar. Benar-benar tidak tahu malu. Anda tahu bukan mereka
yang saya maksud. Negara kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berani.
Bukan yang nekat. Apalagi yang tidak tahu malu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar