Kartini,
KAA dan Kekerasan Global
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Litbang
PW Fatayat NU DIY;
Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 22 April 2015
PERINGATAN Hari Kartini, 21
April 2015, berbarengan dengan per ingatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika
(KAA) yang digelar di Bandung dan Jakarta, 19-24 April 2015. Peringatan yang
beriringan itu punya makna sangat krusial bagi gerakan pemberdayaan
perempuan, karena Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) yang lahir pada 21 April
1879 menjadi titik gerakan kaum perempuan dalam melepaskan dari belenggu
ketidakadilan.Kartini bukan saja menggugat yang terjadi di Jawa, melainkan
juga melawan berbagai arogansi dan ketidakadilan global.
Karena semangat dan
perjuangannya menggugat ketidakadilan, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres
No. 108 Tahun 1964, 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional Indonesia, sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, 21
April, diperingati sebagai hari besar perjuangan kaum perempuan yang dikenal
dengan Hari Kartini. Di Belanda, Kartini juga dikenang menjadi nama jalan
(Kartinistraat) di Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan Haarlem.
Jejak besar perjuangan inilah
yang mengilhami kaum perempuan untuk bangkit menjadi pemain utama dalam
membangun peradaban dunia. Sayangnya, berbagai tragedi ketidakadilan global
masih menyelimuti kaum perempuan. Pada awal April 2015 ini, penelitian
Organisasi Kesehatan Global (WHO) merilis bahwa kekerasan fisik dan seksual
kepada perempuan telah mencapai tingkat epidemi, memengaruhi lebih dari
sepertiga perempuan secara global.
Studi WHO ini menemukan bahwa
daerah yang paling terkena dampaknya ke kerasan global ini ialah Asia
Tenggara, wilayah Mediterania Timur, dan Afrika, dengan persentase kekerasan
terhadap perempuan oleh pasangan intim sekitar 37%. Untuk kekerasan yang
dilakukan oleh kombinasi pasangan dekat dan kekerasan seksual nonpasangan,
data menunjukkan Afrika memiliki rekor terburuk pada 45,6%, diikuti Asia
Tenggara dengan 40,2%. Laporan itu juga menunjukkan data yang mengejutkan,
karena 32,7% kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan terjadi di
negara-negara berpendapatan tinggi, bukan masalah negara berkembang.
Momentum KAA
Momentum 60 tahun KAA menjadi
sangat strategis dalam menggaungkan kembali etos pemberdayaan terhadap
perempuan. Sejak KAA pertama di Bandung 1955, gerak pemberdayaan dan keadilan
bagi perempuan sudah sangat ditancapkan dalam Dasasila Bandung. Sila pertama
dengan tegas menyatakan, bahwa menghormati hak-hak asasi manusia beserta
tujuannya serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB (Atlantic Charter). Gaung pemberdayaan dan etos serta keadilan
bagi perempuan juga menguat kembali dalam KAA 2005. Salah satu butirnya
menjelaskan bahwa “Kami menggarisbawahi
pentingnya dialog antarperadaban untuk memajukan budaya perdamaian,
toleransi, dan menghormati agama, budaya, bahasa, keanekaragaman rasial, dan
juga kesetaraan gender“.
Roeslan Abdulgani, Sekjen KAA
di Bandung 1955, dalam bukunya The
Bandung Connection menjelaskan bahwa mereka yang hadir menjadi saksi KAA
1955, tidak pernah menyangka bahwa dampak KAA 1955 akan mengubah peta politik
dunia. Tidak mengira kalau KAA akhirnya menjadi salah satu poros kekuatan
negara berkembang dan baru merdeka untuk bangkit membangun peradaban dan
kemajuan, serta mampu berdiri di atas tanahnya sendiri, tanpa harus berpangku
tangan dengan orang lain.
Dalam konteks pemberdayaan
perempuan, KAA 1955 mampu mengilhami gerakan perempuan negara yang baru
merdeka dan berkembang untuk bangkit memajukan peradaban bangsanya.
Negara-negara yang berkembang menjadi sadar bahwa peran dan kontribusi
perempuan sangat penting, karena peradaban sebuah negara tidak bisa
diserahkan kepada kaum adam saja. Kaum hawa juga punya posisi dan peran, serta
seimbang dalam membangun sebuah peradaban dan kebudayaan. Peradaban mudah
tumbang dan hancur, tanpa sinergi keduanya.
KAA 2015 harus mampu merumuskan
arah pemberdayaan perempuan di masa depan. Negara-negara dunia tidak bisa
membiarkan perempuan telantar, terlebih di negara-negara yang sedang dilanda
konflik, seperti Timur Tengah, Afghanistan, dan Afrika. Negara-negara yang
penuh kecamuk perang dan konflik itu, justru peran perempuan harus
dimaksimalkan, karena perempuan akan menjadi penyeimbang negara dan melahirkan
generasi yang bisa memikirkan arah peradaban bangsanya. Ini langkah
penyelamatan yang sangat penting yang harus disuarakan KAA 2015, sehingga 60
tahun KAA mempunyai makna penting dalam meneguhkan perempuan untuk peradaban
masa depan.
Kekerasan-kekerasan global
dalam temuan WHO menjadi cambuk sangat menyakitkan bagi peserta KAA. Apalagi,
Asia dan Afrika menempati peringkat fantastis. Data WHO itu harus menjadi
momentum kebangkitan perempuan Asia-Afrika dalam mengawal perdamaian dunia,
meneguhkan kesetaraan, dan emansipasi. Perempuan kalau semakin disingkirkan
dengan ber bagai dalih kekerasan, justru akan melahirkan wajah peradaban
makin kusam. Perempuan Asia-Afrika harus tampil di depan, memberikan
pembacaan kritis terhadap arah peradaban yang berkeadaban.
Kuncinya pendidikan
Kunci pemberdayaan dan
emansipasi ialah pendidikan. Itulah yang diperjuangkan Kartini. Bangsa
Asia-Afrika harus bekerja keras dalam membangun pendidikan yang layak buat
semuanya. Pendidikan harus diberikan tanpa mengenal batas, semua warga negara
harus berdaya dengan pendidikan, terlebih perempuan. “Habis Gelap, Terbitlah
Terang,“ judul buku Kartini hasil surat-menyuratnya dengan Estella `Stella'
Zeehandelaar dan Nyonya Abendanon menjadi bukti bahwa dengan mencerdaskan
perempuan, kegelapan peradaban akan berubah menjadi terang berkat wajah
perempuan yang sudah terdidik dan berdaya. Karena berdaya memang harus
dimulai dari pikirannya, bukan sekadar dalam program-program yang tak jelas
arahnya.
Selain itu, untuk mengikis
kekerasan global bagi perempuan, Garcia-Moreno (2015) menjelaskan ada tiga
gerakan yang bisa dijalankan. Pertama, pemberdayaan perempuan jangan hanya
berhenti kepada akses pendidikan saja, melainkan juga dibarengi dengan akses
ekonomi. Dengan begitu, perempuan akan mengembangkan dirinya menjadi lebih
mandiri.
Kedua, melakukan intervensi
terhadap norma-norma sosial. Itu karena masih banyak negara yang menganggap
kekerasan atas perempuan masih sebagai hal-hal yang biasa. Untuk itu, negara
harus sadar dan melakukan intervensi melalui legislasi dan
perundang-undangan. Ketiga, perhatikan pencegahan kekerasan sejak masa
anakanak. Jangan sampai anak kecil (perempuan) mendapatkan kekerasan sejak
dini, karena itu akan membangun trauma di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar