Kamis, 23 April 2015

Kartini, KAA dan Kekerasan Global

Kartini, KAA dan Kekerasan Global

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   Litbang PW Fatayat NU DIY;
Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 22 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERINGATAN Hari Kartini, 21 April 2015, berbarengan dengan per ingatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung dan Jakarta, 19-24 April 2015. Peringatan yang beriringan itu punya makna sangat krusial bagi gerakan pemberdayaan perempuan, karena Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) yang lahir pada 21 April 1879 menjadi titik gerakan kaum perempuan dalam melepaskan dari belenggu ketidakadilan.Kartini bukan saja menggugat yang terjadi di Jawa, melainkan juga melawan berbagai arogansi dan ketidakadilan global.

Karena semangat dan perjuangannya menggugat ketidakadilan, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 108 Tahun 1964, 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati sebagai hari besar perjuangan kaum perempuan yang dikenal dengan Hari Kartini. Di Belanda, Kartini juga dikenang menjadi nama jalan (Kartinistraat) di Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan Haarlem.

Jejak besar perjuangan inilah yang mengilhami kaum perempuan untuk bangkit menjadi pemain utama dalam membangun peradaban dunia. Sayangnya, berbagai tragedi ketidakadilan global masih menyelimuti kaum perempuan. Pada awal April 2015 ini, penelitian Organisasi Kesehatan Global (WHO) merilis bahwa kekerasan fisik dan seksual kepada perempuan telah mencapai tingkat epidemi, memengaruhi lebih dari sepertiga perempuan secara global.

Studi WHO ini menemukan bahwa daerah yang paling terkena dampaknya ke kerasan global ini ialah Asia Tenggara, wilayah Mediterania Timur, dan Afrika, dengan persentase kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan intim sekitar 37%. Untuk kekerasan yang dilakukan oleh kombinasi pasangan dekat dan kekerasan seksual nonpasangan, data menunjukkan Afrika memiliki rekor terburuk pada 45,6%, diikuti Asia Tenggara dengan 40,2%. Laporan itu juga menunjukkan data yang mengejutkan, karena 32,7% kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi, bukan masalah negara berkembang.

Momentum KAA

Momentum 60 tahun KAA menjadi sangat strategis dalam menggaungkan kembali etos pemberdayaan terhadap perempuan. Sejak KAA pertama di Bandung 1955, gerak pemberdayaan dan keadilan bagi perempuan sudah sangat ditancapkan dalam Dasasila Bandung. Sila pertama dengan tegas menyatakan, bahwa menghormati hak-hak asasi manusia beserta tujuannya serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB (Atlantic Charter). Gaung pemberdayaan dan etos serta keadilan bagi perempuan juga menguat kembali dalam KAA 2005. Salah satu butirnya menjelaskan bahwa “Kami menggarisbawahi pentingnya dialog antarperadaban untuk memajukan budaya perdamaian, toleransi, dan menghormati agama, budaya, bahasa, keanekaragaman rasial, dan juga kesetaraan gender“.

Roeslan Abdulgani, Sekjen KAA di Bandung 1955, dalam bukunya The Bandung Connection menjelaskan bahwa mereka yang hadir menjadi saksi KAA 1955, tidak pernah menyangka bahwa dampak KAA 1955 akan mengubah peta politik dunia. Tidak mengira kalau KAA akhirnya menjadi salah satu poros kekuatan negara berkembang dan baru merdeka untuk bangkit membangun peradaban dan kemajuan, serta mampu berdiri di atas tanahnya sendiri, tanpa harus berpangku tangan dengan orang lain.

Dalam konteks pemberdayaan perempuan, KAA 1955 mampu mengilhami gerakan perempuan negara yang baru merdeka dan berkembang untuk bangkit memajukan peradaban bangsanya. Negara-negara yang berkembang menjadi sadar bahwa peran dan kontribusi perempuan sangat penting, karena peradaban sebuah negara tidak bisa diserahkan kepada kaum adam saja. Kaum hawa juga punya posisi dan peran, serta seimbang dalam membangun sebuah peradaban dan kebudayaan. Peradaban mudah tumbang dan hancur, tanpa sinergi keduanya.

KAA 2015 harus mampu merumuskan arah pemberdayaan perempuan di masa depan. Negara-negara dunia tidak bisa membiarkan perempuan telantar, terlebih di negara-negara yang sedang dilanda konflik, seperti Timur Tengah, Afghanistan, dan Afrika. Negara-negara yang penuh kecamuk perang dan konflik itu, justru peran perempuan harus dimaksimalkan, karena perempuan akan menjadi penyeimbang negara dan melahirkan generasi yang bisa memikirkan arah peradaban bangsanya. Ini langkah penyelamatan yang sangat penting yang harus disuarakan KAA 2015, sehingga 60 tahun KAA mempunyai makna penting dalam meneguhkan perempuan untuk peradaban masa depan.

Kekerasan-kekerasan global dalam temuan WHO menjadi cambuk sangat menyakitkan bagi peserta KAA. Apalagi, Asia dan Afrika menempati peringkat fantastis. Data WHO itu harus menjadi momentum kebangkitan perempuan Asia-Afrika dalam mengawal perdamaian dunia, meneguhkan kesetaraan, dan emansipasi. Perempuan kalau semakin disingkirkan dengan ber bagai dalih kekerasan, justru akan melahirkan wajah peradaban makin kusam. Perempuan Asia-Afrika harus tampil di depan, memberikan pembacaan kritis terhadap arah peradaban yang berkeadaban.

Kuncinya pendidikan

Kunci pemberdayaan dan emansipasi ialah pendidikan. Itulah yang diperjuangkan Kartini. Bangsa Asia-Afrika harus bekerja keras dalam membangun pendidikan yang layak buat semuanya. Pendidikan harus diberikan tanpa mengenal batas, semua warga negara harus berdaya dengan pendidikan, terlebih perempuan. “Habis Gelap, Terbitlah Terang,“ judul buku Kartini hasil surat-menyuratnya dengan Estella `Stella' Zeehandelaar dan Nyonya Abendanon menjadi bukti bahwa dengan mencerdaskan perempuan, kegelapan peradaban akan berubah menjadi terang berkat wajah perempuan yang sudah terdidik dan berdaya. Karena berdaya memang harus dimulai dari pikirannya, bukan sekadar dalam program-program yang tak jelas arahnya.

Selain itu, untuk mengikis kekerasan global bagi perempuan, Garcia-Moreno (2015) menjelaskan ada tiga gerakan yang bisa dijalankan. Pertama, pemberdayaan perempuan jangan hanya berhenti kepada akses pendidikan saja, melainkan juga dibarengi dengan akses ekonomi. Dengan begitu, perempuan akan mengembangkan dirinya menjadi lebih mandiri.

Kedua, melakukan intervensi terhadap norma-norma sosial. Itu karena masih banyak negara yang menganggap kekerasan atas perempuan masih sebagai hal-hal yang biasa. Untuk itu, negara harus sadar dan melakukan intervensi melalui legislasi dan perundang-undangan. Ketiga, perhatikan pencegahan kekerasan sejak masa anakanak. Jangan sampai anak kecil (perempuan) mendapatkan kekerasan sejak dini, karena itu akan membangun trauma di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar