Politik
Gerontokrasi
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat International Institute
for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm (2007-2010,
2010-2013)
|
KOMPAS, 28 April 2015
Susilo Bambang
Yudhoyono (66), presiden dua masa jabatan (2004-2009 dan 2009-2014),
tampaknya bakal mulus terpilih kembali menjadi Ketua Umum Partai Demokrat
(PD) dalam kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei 2015. Meskipun ada aspirasi
cukup nyaring di kalangan pengurus dan anggota PD agar SBY tidak maju lagi,
SBY telah menyatakan kesediaannya. SBY mengutarakan, para kader meminta dia
memimpin kembali PD. ”Manakala itu betul-betul permintaan mayoritas kader,
saya akan terima dan akan saya jalankan sebaik-baiknya,” ujar SBY (Kompas, 24/4/2015).
Sebelumnya, Kamis
(9/4), politisi senior lain, Megawati Soekarnoputri (68) yang juga pernah
menjabat Presiden RI (2001-2004) dalam Kongres IV PDI-P di Bali secara
aklamasi didaulat kembali menjadi Ketua Umum PDI-P (2015-2020). Jika dalam PD
ada figur semacam Marzuki Alie yang terbuka mencalonkan diri ”menantang” SBY,
sebaliknya tidak satu pun di lingkungan PDI-P yang tampak berani berbisik
menyebut alternatif selain Megawati.
Dominasi politisi
senior juga terlihat dalam partai lain yang pernah pula memenangi pemilu.
Jika PD menang pemilu legislatif pada 2009, PDI-P pada 1999 dan 2014, Partai
Golkar yang memenangi pemilu legislatif 2004 juga didominasi politisi senior.
Kedua ketua umum dari dua kubu yang bertikai sekarang sudah senior pula:
Aburizal Bakrie berusia 69 tahun dan Agung Laksono berumur 66 tahun.
Seorang politisi
senior lain perlu disebut. Dia adalah Prabowo Subianto (64), Ketua Dewan
Pembina Partai Gerinda. Meski ”hanya” Ketua Dewan Pembina, publik tahu
Prabowo yang bisa menghitamputihkan partai ini. Pada September 2014,
berdasarkan keputusan kongres luar biasa, dia pun merangkap Ketua Umum
Gerindra, menggantikan Suhardi yang meninggal dunia. Pernah maju sebagai
calon presiden pada Pilpres 2014, Prabowo dengan calon wapres Hatta Rajasa
(61) dikalahkan Joko Widodo (54) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (72).
Dengan demikian, jagat
politik Indonesia didominasi para politisi berusia di atas 60 tahun—bahkan
banyak yang sudah lebih dekat ke 70 tahun. Mereka sudah malang melintang
dalam kancah politik Indonesia—sebagian sejak masa Orde Baru melintasi masa
Reformasi yang kini sudah masuk paruh kedua dasawarsa kedua.
Mereka yang masih
bersedia menjadi pemimpin puncak partai dalam usia yang sudah akhir 60-an
tahun dalam bahasa lebih sopan disebut sebagai ”politisi senior”. Namun,
dalam istilah sedikit peyoratif—meminjam ungkapan yang lazim dalam politik
Amerika Serikat—mereka aging politicians, politisi lanjut usia atau politisi
yang sudah dimakan umur.
Dalam kancah ilmu politik,
terminologi yang lebih umum digunakan adalah gerontokrasi: dari kosakata
Yunani geront, berarti ’orang tua’ atau ’orang lanjut usia’. Geront + kratia
(kekuasaan) berarti keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa
orang-orang yang secara signifikan lebih tua dibandingkan rata-rata populasi
dewasa.
Istilah gerontokrasi
dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terha- dap parlemen
yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing.
Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik mengacu kepada bentuk
organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang tua—yang terus
berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.
Apa dampak
gerontokrasi terhadap politik Indonesia? Satu hal sudah pasti, yaitu
terhalangnya mobilitas vertikal politik politisi generasi lebih muda. Mereka
berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam partai tidak
dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni pemegang gerontokrasi.
Keadaan ini memunculkan otokrasi dalam partai politik. Otokrasi yang lama,
baik pada tingkat negara maupun partai, bisa memicu perlawanan diam-diam yang
akhirnya dapat memunculkan eksplosi politik yang bukan tidak mungkin
mencabik-cabik negara atau partai.
Dalam konteks itu,
majalah The Economist (15/2/2011)
berargumen, salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata
(median age) di antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara
otokrasi Arab dan di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi.
Secara teoretis,
negara demokrasi lebih memungkinkan munculnya politisi lebih muda. Namun,
dalam kenyataan, negara demokrasi seperti Amerika Serikat bukan tidak
mengandung gerontokrasi, baik di lembaga eksekutif dan legislatif khususnya.
Demokrasi Indonesia
juga belum banyak memberikan peluang memadai bagi kemunculan politisi lebih
muda untuk tampil dalam posisi puncak partai dan pentas nasional. Budaya
politik yang belum sepenuhnya demokratis masih banyak ewuh pakewuh terhadap
politisi senior untuk melanggengkan kekuasaannya.
Lagi pula partai di
Indonesia sangat rentan pada friksi. Alokasi pembagian kekuasaan dan
perbedaan pendapat belum bisa diselesaikan lewat mekanisme resolusi konflik
secara damai. Hasilnya adalah pemisahan diri dan pembentukan partai pecahan
baru (splinter party) yang sulit
sekali menjadi sehat dan besar sehingga kompetitif dalam pemilu.
Karena itu,
gerontokrasi yang tidak sehat bagi partai dan demokrasi patut dikurangi, jika
tidak bisa dihilangkan. Untuk itu, perlu keikhlasan politisi senior
melapangkan jalan bagi regenerasi dalam partainya. Dengan begitu, kita bisa
berharap terwujudnya partai dan demokrasi lebih sehat dan dinamis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar