Pelacur
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik, The University
of Melbourne
|
KORAN TEMPO, 27 April 2015
Pada dasarnya tidak
ada satu pun perempuan yang mau menjadi pelacur. Begitu keyakinan publik.
Dari pandangan sedemikian rupa, terbit empati. Dilatari empati itu, pelacur
tidak dipandang sebagai penjahat, melainkan sebagai korban.
Tapi tidak sedikit
pula kalangan yang menghina-dina pelacur karena, dalam anggapan mereka,
keputusan untuk menjadi pelacur disetarakan dengan keputusan yang dibuat oleh
orang-orang saat akan menekuni profesi-profesi lainnya.
Dunia kerja yang
normal memuat hak dan kewajiban antara pihak yang mempekerjakan dan pihak
yang dipekerjakan. Pada kenyataannya, "bekerja" sebagai pelacur
sama artinya dengan menihilkan hak si "pegawai". Oleh mucikarinya,
pelacur didehumanisasi sebagai daging penghasil uang. Tidak ada subsidi
kesehatan, tunjangan kesejahteraan, santunan hari tua, dan bentuk-bentuk
kepedulian lainnya yang lazim diberikan oleh majikan kepada bawahan.
Kepada pelacur
dikenakan target usaha dan serbaneka kewajiban. Saat pelacur tidak berhasil
meraih target dan memenuhi kewajiban, mucikarinya akan mempunyai alasan untuk
menyiksa para "karyawan"-nya. Atas dasar itu, prostitusi bukanlah
"pekerjaan". Prostitusi adalah relasi perbudakan. Prostitusi adalah
bisnis perdagangan orang. Prostitusi adalah perundungan hak asasi manusia.
Itu berarti, prostitusi sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan. Seperti
itulah pandangan kalangan feminis.
Namun, apa penjelasan
yang bisa diberikan untuk Deudeuh, perempuan yang disebut-sebut sebagai
pekerja seks komersial daring (online),
yang tewas saat melayani tamunya? Dengan paras dan perawakannya yang molek,
ada deret panjang lowongan kerja yang sebenarnya bisa ia isi.
Sejauh ini tidak ada
informasi bahwa Deudeuh diperbudak oleh seorang mucikari. Deudeuh memasarkan
dirinya sebagai sebuah komoditas secara terbuka di media sosial. Ia yang
menentukan tarif, ia pula yang mengatur jam layanannya. Segala ketentuan dan
persyaratan pun ia yang tetapkan sendiri. Deudeuh laksana seorang
wiraswastawan.
Demikian pula dengan
seorang perempuan yang berpapasan dengan saya di lift hotel di Fukushima,
Jepang. Seraya menggerai-geraikan rambutnya yang dicat kebule-bulean,
perempuan itu memperkenalkan dirinya dengan amat ramah. Namanya, saya lupa.
Yang sampai saat ini masih mendesing di telinga saya adalah bunyi yang semula
tak bisa saya mengerti, "Am koga,
am koga."
Tahu saya kebingungan,
si perempuan Jepang memberikan kartu namanya bak pengusaha profesional. Di
situ tertulis, sekaligus memperjelas "am koga" tadi, status di
bawah namanya: call girl. "Am
koga"-"I'm call girl".
Seperti Deudeuh, si
"am koga" pun bekerja sendirian. Ia tak dipaksa dan tidak pula
tertipu sehingga masuk ke dunia kupu-kupu malam. Mungkin, seperti temuan
sejumlah riset, mereka pernah mengalami kekerasan semasa kanak-kanak.
"Tapi setiap orang memiliki traumanya masing-masing," kata Sigmund
Freud.
Menjadi pelacur adalah
keputusan sukarela. Karena itu, si "am koga"-dan mungkin
Deudeuh-tak merasa risau dengan pilihan mandirinya itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar