Kamis, 30 April 2015

Retorika Revolusi Mental

Retorika Revolusi Mental

Paulus Wirutomo  ;  Sosiolog;
Mantan Ketua Pokja Revolusi Mental pada Rumah Transisi Jokowi-JK 2014
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Revolusi mental pernah riuh bergaung dan menjadi daya pikat Joko Widodo dalam kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Namun, hingga enam bulan pemerintahan, revolusi mental masih sekadar retorika.

Idealisme semacam ini memang rentan menjadi slogan belaka, apalagi dilontarkan saat kampanye. Walau begitu, sebenarnya sebagian masyarakat masih menunggu realisasinya.

Pemerintahan Jokowi sebenarnya juga berupaya tidak memperlakukan revolusi mental sekadar slogan. Sebagai bagian dari Nawacita, konsep dan strategi revolusi mental telah digodok di rumah transisi. Kehendak politik ditunjukkan dengan instruksi pada seluruh birokrasi pemerintah untuk melaksanakannya, dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai koordinator.

Kenyataannya, sampai sekarang tidak terasa gebrakan revolusi mental yang "menggairahkan" di masyarakat. Pemerintahan Jokowi agaknya telah kehilangan ciri atau karakter yang menjadi daya pikat rakyat. Padahal, revolusi mental telah menjadi "trademark" Jokowi.

Maka, pemerintahan sebaiknya kembali ke nilai-nilai yang diusung revolusi  mental. Bukan membiarkan diri  terombang-ambing hasutan politik.

Urutan terbawah

Dari berbagai survei yang mengukur kualitas bangsa, Indonesia selalu berada di urutan tertinggi. Dari kemacetan, polusi, hingga korupsi. Sebaliknya, dalam hal baik (negara teraman, terbersih, dan sebagainya) kita selalu berada di urutan bawah.

Semua perilaku buruk: tidak disiplin, mudah marah, tidak toleran, makin sering muncul. Itu artinya kita sedang mengalami degradasi karakter secara obyektif maupun subyektif.

Sekitar 300 pakar dan tokoh masyarakat yang diundang Kelompok Kerja Revolusi Mental di Rumah Transisi bersepakat bahwa bangsa kita memang membutuhkan suatu "revolusi mental". Memang ada yang cenderung menanggapi secara skeptis, tetapi banyak pula yang menerima ide ini sebagai sesuatu yang harus segera dilaksanakan. Mereka yakin bangsa kita juga bisa membangun karakter, seperti Jepang, Korea, dan Singapura.

Mereka juga yakin bahwa karakter adalah sesuatu yang bisa diubah, bukan ciri abadi suatu bangsa. Kita memang sudah terlambat dibandingkan negara lain, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Konsep revolusi mental

Para tokoh dan pakar bersepakat bahwa hakikat  revolusi mental adalah "mengembangkan nilai-nilai". Agar perubahan revolusioner, nilai yang dikembangkan tidak boleh terlalu banyak dan harus bersifat "strategis-instrumental". Artinya bila dikembangkan bisa mengangkat kualitas dan daya saing bangsa secara keseluruhan.

Nilai-nilai itu tidak perlu disakralkan dan harus bersifat lintas agama agar tidak menyulut perdebatan  antargolongan. Revolusi mental  sebaiknya tidak menargetkan suatu moralitas privat, seperti kesalehan pribadi, kerajinan menjalankan ibadah, dan sebagainya, namun lebih diarahkan untuk membenahi moralitas publik, misalnya, disiplin di tempat umum, membayar pajak, tidak korupsi, tidak menghina apalagi menganiaya kelompok lain, dan lain lain. Moralitas privat memang penting, tetapi sebaiknya masuk ke ranah privat dan ranah agama. Revolusi mental cukup mengurus ranah publik.

Nilai pertama yang perlu dikembangkan adalah kewargaan, agar orang Indonesia tidak merasa hanya menjadi "penduduk" tetapi  warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban. Ada keseimbangan antara peran pemerintah untuk hadir melayani dengan peran masyarakat madani yang taat hukum. Nilai kewargaan juga mencakup pengembangan identitas nasional.

Kedua, nilai bisa dipercaya. Banyak orang melakukan kebohongan publik saat ini. Maka, perlu dibangkitkan lagi integritas ini di kalangan rakyat maupun birokrasi pemerintah, agar tercipta kejujuran publik dan Indonesia bebas korupsi.

Ketiga, nilai kemandirian. Sebagai bangsa kita sekarang amat tergantung pada bangsa lain, dari teknologi sampai pangan. Bangun kemandirian dengan membenahi kebijakan pembangunan dan regulasi.

Keempat, nilai kreativitas. Sumber daya alam  terbatas, tetapi kreativitas tidak terbatas. Karena itu, banyak bangsa berlomba mengasah kreativitasnya. Kebudayaan Nusantara sebenarnya amat kreatif, tetapi kini banyak kebijakan dan regulasi yang menghambat. Dengan revolusi mental kita harus bisa membangkitkannya kembali.

Kelima, nilai gotong royong. Inilah inti dari Pancasila, andalan bangsa sejak dulu kala. Tetapi, kita merasakan kemerosotan yang dahsyat baik di komunitas kecil maupun sistem ekonomi dan politik yang liberal, oligarkis dan monopolistik. Revolusi mental harus mengembalikan karakter gotong royong dalam bentuk yang lebih modern.

Keenam. Nilai saling menghargai. Sebagai bangsa majemuk, kelangsungan hidup bangsa Indonesia sangat bergantung pada nilai ini. Namun, kita menyaksikan toleransi dan kesetiakawanan sosial semakin merosot. Kelompok-kelompok ekstrem saat ini tanpa malu-malu menunjukkan bahwa mereka tidak mau menerima kehadiran kelompok lain yang berbeda agama, ras, dan suku. Revolusi mental harus mampu membangun toleransi dan saling menghargai ini.

Kesepakatan nasional dalam hal ini penting, sebab revolusi membutuhkan fokus dan komitmen. Memang masih banyak nilai lain yang penting, tetapi kita harus memilih yang paling strategis dan dibutuhkan.

Hanya dengan cara itu revolusi mental secara nasional bisa terjadi. Bangsa Korea dengan gerakan "Saemaul Undong" hanya mengangkat tiga nilai saja: kerja sama, kemandirian, dan kerja keras. Mereka berhasil karena melaksanakannya secara konsisten dan persisten.

Upaya mewujudkan

Agar tidak berhenti menjadi retorika, pokja revolusi mental telah mengusulkan delapan prinsip revolusi mental.

Pertama, bukan proyek pemerintah, tetapi gerakan masyarakat yang difokuskan pada pengembangan enam nilai strategis. Harus ada komitmen dari pemerintah yang ditandai dengan reformasi birokrasi untuk mendorong dan memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku masyarakat.

Revolusi mental harus dilaksanakan secara lintas sektor dan partisipatoris. Salah satunya lewat  penanaman nilai secara bertalu-talu melalui kampanye, aksi sosial, media sosial, film, sinetron, games, dan pengumuman terus menerus di tempat-tempat umum   untuk antre, menjaga kebersihan, dan seterusnya. Desain program harus  mudah dilaksanakan, populer bagi semua usia, dan  sesuai budaya lokal.

Hasil gerakan revolusi mental harus dapat diukur dampaknya kepada perilaku masyarakat. Perlu dipantau departemen apa yang kebijakannya mendukung atau justru menghambat pengembangannya. Presiden Jokowi harusnya bisa melihat sejauh mana pemerintahannya berhasil mengimplementasikan revolusi mental secara nyata di Indonesia.

Kita harus berubah sekarang juga, sebab bangsa-bangsa lain sudah jauh lebih maju. Revolusi mental perlu segera dipersiapkan pelaksanaannya, bukan untuk dikaji secara berkepanjangan atau bahkan dipertengkarkan.

Pemerintahan Jokowi harus segera bertindak, karena enam bulan sudah terlewatkan begitu saja. Revolusi mental adalah janji suci. Sekali layar terkembang, pantang kita bersurut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar