Retorika
Revolusi Mental
Paulus Wirutomo ; Sosiolog;
Mantan Ketua Pokja Revolusi Mental pada Rumah
Transisi Jokowi-JK 2014
|
KOMPAS, 29 April 2015
Revolusi mental pernah
riuh bergaung dan menjadi daya pikat Joko Widodo dalam kampanye pemilihan
presiden tahun lalu. Namun, hingga enam bulan pemerintahan, revolusi mental
masih sekadar retorika.
Idealisme semacam ini
memang rentan menjadi slogan belaka, apalagi dilontarkan saat kampanye. Walau
begitu, sebenarnya sebagian masyarakat masih menunggu realisasinya.
Pemerintahan Jokowi
sebenarnya juga berupaya tidak memperlakukan revolusi mental sekadar slogan.
Sebagai bagian dari Nawacita, konsep dan strategi revolusi mental telah
digodok di rumah transisi. Kehendak politik ditunjukkan dengan instruksi pada
seluruh birokrasi pemerintah untuk melaksanakannya, dengan Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai koordinator.
Kenyataannya, sampai
sekarang tidak terasa gebrakan revolusi mental yang "menggairahkan"
di masyarakat. Pemerintahan Jokowi agaknya telah kehilangan ciri atau
karakter yang menjadi daya pikat rakyat. Padahal, revolusi mental telah
menjadi "trademark" Jokowi.
Maka, pemerintahan
sebaiknya kembali ke nilai-nilai yang diusung revolusi mental. Bukan membiarkan diri terombang-ambing hasutan politik.
Urutan terbawah
Dari berbagai survei
yang mengukur kualitas bangsa, Indonesia selalu berada di urutan tertinggi.
Dari kemacetan, polusi, hingga korupsi. Sebaliknya, dalam hal baik (negara
teraman, terbersih, dan sebagainya) kita selalu berada di urutan bawah.
Semua perilaku buruk:
tidak disiplin, mudah marah, tidak toleran, makin sering muncul. Itu artinya
kita sedang mengalami degradasi karakter secara obyektif maupun subyektif.
Sekitar 300 pakar dan
tokoh masyarakat yang diundang Kelompok Kerja Revolusi Mental di Rumah
Transisi bersepakat bahwa bangsa kita memang membutuhkan suatu "revolusi
mental". Memang ada yang cenderung menanggapi secara skeptis, tetapi
banyak pula yang menerima ide ini sebagai sesuatu yang harus segera
dilaksanakan. Mereka yakin bangsa kita juga bisa membangun karakter, seperti
Jepang, Korea, dan Singapura.
Mereka juga yakin
bahwa karakter adalah sesuatu yang bisa diubah, bukan ciri abadi suatu
bangsa. Kita memang sudah terlambat dibandingkan negara lain, tetapi lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Konsep revolusi mental
Para tokoh dan pakar
bersepakat bahwa hakikat revolusi
mental adalah "mengembangkan nilai-nilai". Agar perubahan
revolusioner, nilai yang dikembangkan tidak boleh terlalu banyak dan harus
bersifat "strategis-instrumental". Artinya bila dikembangkan bisa mengangkat
kualitas dan daya saing bangsa secara keseluruhan.
Nilai-nilai itu tidak
perlu disakralkan dan harus bersifat lintas agama agar tidak menyulut
perdebatan antargolongan. Revolusi
mental sebaiknya tidak menargetkan
suatu moralitas privat, seperti kesalehan pribadi, kerajinan menjalankan
ibadah, dan sebagainya, namun lebih diarahkan untuk membenahi moralitas
publik, misalnya, disiplin di tempat umum, membayar pajak, tidak korupsi,
tidak menghina apalagi menganiaya kelompok lain, dan lain lain. Moralitas
privat memang penting, tetapi sebaiknya masuk ke ranah privat dan ranah
agama. Revolusi mental cukup mengurus ranah publik.
Nilai pertama yang
perlu dikembangkan adalah kewargaan, agar orang Indonesia tidak merasa hanya
menjadi "penduduk" tetapi warga
negara yang mempunyai hak dan kewajiban. Ada keseimbangan antara peran
pemerintah untuk hadir melayani dengan peran masyarakat madani yang taat
hukum. Nilai kewargaan juga mencakup pengembangan identitas nasional.
Kedua, nilai bisa
dipercaya. Banyak orang melakukan kebohongan publik saat ini. Maka, perlu
dibangkitkan lagi integritas ini di kalangan rakyat maupun birokrasi
pemerintah, agar tercipta kejujuran publik dan Indonesia bebas korupsi.
Ketiga, nilai
kemandirian. Sebagai bangsa kita sekarang amat tergantung pada bangsa lain,
dari teknologi sampai pangan. Bangun kemandirian dengan membenahi kebijakan
pembangunan dan regulasi.
Keempat, nilai
kreativitas. Sumber daya alam
terbatas, tetapi kreativitas tidak terbatas. Karena itu, banyak bangsa
berlomba mengasah kreativitasnya. Kebudayaan Nusantara sebenarnya amat
kreatif, tetapi kini banyak kebijakan dan regulasi yang menghambat. Dengan
revolusi mental kita harus bisa membangkitkannya kembali.
Kelima, nilai gotong
royong. Inilah inti dari Pancasila, andalan bangsa sejak dulu kala. Tetapi,
kita merasakan kemerosotan yang dahsyat baik di komunitas kecil maupun sistem
ekonomi dan politik yang liberal, oligarkis dan monopolistik. Revolusi mental
harus mengembalikan karakter gotong royong dalam bentuk yang lebih modern.
Keenam. Nilai saling
menghargai. Sebagai bangsa majemuk, kelangsungan hidup bangsa Indonesia
sangat bergantung pada nilai ini. Namun, kita menyaksikan toleransi dan
kesetiakawanan sosial semakin merosot. Kelompok-kelompok ekstrem saat ini
tanpa malu-malu menunjukkan bahwa mereka tidak mau menerima kehadiran
kelompok lain yang berbeda agama, ras, dan suku. Revolusi mental harus mampu
membangun toleransi dan saling menghargai ini.
Kesepakatan nasional
dalam hal ini penting, sebab revolusi membutuhkan fokus dan komitmen. Memang
masih banyak nilai lain yang penting, tetapi kita harus memilih yang paling
strategis dan dibutuhkan.
Hanya dengan cara itu
revolusi mental secara nasional bisa terjadi. Bangsa Korea dengan gerakan
"Saemaul Undong" hanya mengangkat tiga nilai saja: kerja sama,
kemandirian, dan kerja keras. Mereka berhasil karena melaksanakannya secara
konsisten dan persisten.
Upaya mewujudkan
Agar tidak berhenti
menjadi retorika, pokja revolusi mental telah mengusulkan delapan prinsip
revolusi mental.
Pertama, bukan proyek
pemerintah, tetapi gerakan masyarakat yang difokuskan pada pengembangan enam
nilai strategis. Harus ada komitmen dari pemerintah yang ditandai dengan
reformasi birokrasi untuk mendorong dan memfasilitasi perubahan sikap dan
perilaku masyarakat.
Revolusi mental harus
dilaksanakan secara lintas sektor dan partisipatoris. Salah satunya
lewat penanaman nilai secara
bertalu-talu melalui kampanye, aksi sosial, media sosial, film, sinetron,
games, dan pengumuman terus menerus di tempat-tempat umum untuk antre, menjaga kebersihan, dan
seterusnya. Desain program harus mudah
dilaksanakan, populer bagi semua usia, dan
sesuai budaya lokal.
Hasil gerakan revolusi
mental harus dapat diukur dampaknya kepada perilaku masyarakat. Perlu
dipantau departemen apa yang kebijakannya mendukung atau justru menghambat
pengembangannya. Presiden Jokowi harusnya bisa melihat sejauh mana
pemerintahannya berhasil mengimplementasikan revolusi mental secara nyata di
Indonesia.
Kita harus berubah
sekarang juga, sebab bangsa-bangsa lain sudah jauh lebih maju. Revolusi
mental perlu segera dipersiapkan pelaksanaannya, bukan untuk dikaji secara
berkepanjangan atau bahkan dipertengkarkan.
Pemerintahan Jokowi
harus segera bertindak, karena enam bulan sudah terlewatkan begitu saja.
Revolusi mental adalah janji suci. Sekali layar terkembang, pantang kita
bersurut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar