Kartini
dan Gerakan Literasi Bangsa
Sirikit Syah ; Dosen Stikosa-AWS; Direktur LKM Media Watch
|
JAWA POS, 20 April 2015
MENGENANG RA Kartini tahun ini istimewa. Sebab, pada minggu yang
sama, ada peringatan Hari Buku Nasional dan peringatan setahun Surabaya
sebagai Kota Literasi. Berbicara tentang literasi, kemudian buku, mengapa
kita dengan mudah menghubungkannya dengan Kartini? Perjuangan Kartini bukan
hanya perjuangan kaum perempuan, melainkan juga perjuangan sebuah bangsa yang
sedang terjajah. Perjuangan Kartini bukan sekadar bagaimana anak-anak bisa
sekolah, melainkan juga bagaimana agar orang menulis.
Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan surat-surat Kartini
kepada para sahabatnya, merupakan catatan harian seorang gadis muda sekaligus
catatan sejarah Indonesia (khususnya Jawa) pada masa itu. Di masa sekarang,
kita tak lagi menulis dan menerima surat. Mungkin para remaja juga tak lagi
mempunyai buku catatan harian. Mereka menuliskan pengalaman dan perasaan
dalam Twitter, Facebook, mailing list, blog, dan berbagai saluran dunia maya
lainnya.
Sebagai pendiri dan pengajar di Sirikit School of Writing, saya menghadapi tantangan yang luar
biasa berat. Pertama, menggugah kesadaran masyarakat bahwa menulis itu
penting. Kedua, mendorong setiap orang untuk memiliki buku catatan harian
atau jurnal. Meski tersendat-sendat, SSW tetap meyakini bahwa ''everybody has a story to tell'',
setiap orang pasti punya cerita. Cerita yang dikisahkan secara lisan akan
mudah terlupa, sedangkan yang tertulis akan menjadi dokumen sejarah, menjadi ''legacy'' (warisan) bagi anak cucu.
Keyakinan yang lain, pada suatu ketika setiap orang harus
menulis. Bukan hanya para wartawan dan pengarang yang harus menulis. Para
seniman periklanan, profesional kehumasan, aktivis LSM, politikus, guru,
dosen, dan mahasiswa juga pada suatu ketika harus menulis. Bahkan para
pengusaha perlu menuliskan kisahnya dalam membangun usaha: jatuh bangunnya,
sukses dan gagalnya, maju mundurnya, bagaimana membangun semangat dan meraih
puncak. Atau, bagaimana tetap tegar dalam kejatuhan. Semua kisah itu memiliki
hikmah yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang lain.
Bila Kartini rajin menulis dengan pena dan tinta di atas
berlembar-lembar kertas, anak-anak muda sekarang –seusia Kartini pada waktu
itu– mengetik status di BlackBerry, iPad, Whatsapp, Facebook, dan Twitter.
Tidak apa-apa, zaman berubah, teknologi makin maju. Mustahil mengharapkan
orang menulis dengan tinta dan kertas atau dengan kapur dan sabak di zaman
komputer dan internet sekarang ini. Teknologi dan mediumnya bisa berbeda,
tetapi yang penting bagaimana semangat berbagi pengalaman dan perasaan
dituliskan. Tentu itu tak dapat dilakukan dengan sekadar menulis satu atau
setengah kalimat status. Mengapa tidak menuliskan dua atau tiga alinea? Dalam
setahun, Facebook atau blog akan memiliki sebuah cerita panjang yang mungkin
bisa menjadi novel fiksi, renungan evaluasi akhir tahun, kumpulan kisah
berhikmah, dan sebagainya.
Syukurlah, kita tidak hidup di zaman ketika buku-buku dibakar
dan para penulis dipenjarakan. Ada sebuah film yang meninggalkan kesan
mendalam pada diri saya. Judulnya Fahrenheit 451. Penjelasan dari judul ini,
kertas/buku terbakar pada suhu 451 derajat Fahrenheit atau sekitar 200
derajat Celsius. Film ini amat mencekam karena bercerita tentang sebuah rezim
antibuku.
Dapatkah Anda membayangkan hidup seperti para karakter di film
itu? Negara memiliki pasukan fireman yang maknanya bukan pasukan pemadam
kebakaran, melainkan pasukan pembawa api, pencipta kebakaran. Kalau ada mobil
fireman memasuki kompleks perumahan, para penduduk bertanya-tanya, rumah
siapa yang akan dibakar hari ini, karena ketahuan pemiliknya menyimpan
buku-buku. Penduduk menyembunyikan buku di bawah tempat tidur, di dalam
televisi palsu, di lemari es, di tempat cucian, di toaster pembuat roti
bakar, di mana pun. Tetapi, pasukan fireman selalu berhasil menemukannya,
menimbun buku-buku itu di halaman atau di ruang tamu, lalu menyemprotnya
dengan api. Memusnahkannya.
Negara menganggap buku sebagai racun. Buku novel membuat orang
depresi, tidak bahagia. Buku nonfiksi dianggap menghasut. Pembaca buku dicap
sebagai antisosial. Penduduk dicekoki program televisi yang skenarionya
disusun negara. Seorang fireman kemudian sadar telah melakukan hal yang amat
buruk. Seorang perempuan yang tak mau pergi ketika perpustakaannya dibakar,
kemudian ikut terbakar di antara tumpukan buku-bukunya, menyadarkannya.
Fireman yang telah sadar itu kemudian melarikan diri ke sebuah komunitas buku
di luar perbatasan, di tengah hutan.
Orang-orang yang lari dari penjara (dihukum karena membaca atau
menyimpan buku), atau yang sudah dilepaskan, atau yang tak tahan hidup tanpa
buku mengungsi di wilayah hutan ini. Di sini juga tidak ada buku karena buku
bisa dibakar bila ditemukan. Namun, setiap orang adalah buku. Mereka
memperkenalkan diri sebagai buku. Misalnya, ''Saya buku Filsafat & Etika
karya Aristoteles'', ''Saya Othello karya Shakespeare''. Ada lelaki kembar
memperkenalkan diri sebagai ''Kami Pride & Prejudice karya Jane Austin. Volume
1 dan Volume 2''. Setiap orang adalah satu buku yang dihafal di luar kepala.
Bila seseorang hendak meninggal, dia mewariskan ''isi bukunya'' ke
anak-anaknya untuk diteruskan dari generasi ke generasi. Kata kepala
komunitas buku: ''Negara tak akan dapat menemukan buku di wilayah ini,
buku-buku itu ada di sini,'' sambil menunjuk otaknya.
Syukurlah, itu cuma fiksi. Hikmah dari film yang mencekam itu
adalah buku dan kegiatan literasi mencerminkan tingkat peradaban manusia.
Bila Surabaya mencanangkan diri sebagai Kota Literasi, selain Kota Taman,
lengkap sudah semua. Surabaya menjadi salah satu tempat tinggal paling
nyaman: kehidupan bisnis berjalan, pendidikan maju, taman-taman rekreasi
tersedia, dan warganya aktif dalam kegiatan literasi. Ketertinggalan
Indonesia dalam jumlah karya penerbitan buku maupun jurnal akademik harus
segera dikejar. Tumbuhnya berbagai komunitas literasi di Surabaya sangat
menggembirakan: ada Komunitas Sastra Surabaya, ada Forum Aksi Menulis, ada
Sirikit School of Writing, bahkan di kampus Unesa –khususnya PPPG– ada mata
kuliah wajib literasi bagi para calon guru yang studi di sana.
Mengenang Kartini sambil merayakan Hari Buku dan merayakan satu
tahun Surabaya sebagai Kota Literasi sungguh sebuah momen bersejarah yang
patut kita syukuri. Semoga semakin banyak anak muda yang tergerak untuk
menulis dan menerbitkan karya-karyanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar