Selasa, 21 April 2015

Kartini dan Gerakan Literasi Bangsa

Kartini dan Gerakan Literasi Bangsa

Sirikit Syah  ;  Dosen Stikosa-AWS; Direktur LKM Media Watch
JAWA POS, 20 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENGENANG RA Kartini tahun ini istimewa. Sebab, pada minggu yang sama, ada peringatan Hari Buku Nasional dan peringatan setahun Surabaya sebagai Kota Literasi. Berbicara tentang literasi, kemudian buku, mengapa kita dengan mudah menghubungkannya dengan Kartini? Perjuangan Kartini bukan hanya perjuangan kaum perempuan, melainkan juga perjuangan sebuah bangsa yang sedang terjajah. Perjuangan Kartini bukan sekadar bagaimana anak-anak bisa sekolah, melainkan juga bagaimana agar orang menulis.

Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan surat-surat Kartini kepada para sahabatnya, merupakan catatan harian seorang gadis muda sekaligus catatan sejarah Indonesia (khususnya Jawa) pada masa itu. Di masa sekarang, kita tak lagi menulis dan menerima surat. Mungkin para remaja juga tak lagi mempunyai buku catatan harian. Mereka menuliskan pengalaman dan perasaan dalam Twitter, Facebook, mailing list, blog, dan berbagai saluran dunia maya lainnya.

Sebagai pendiri dan pengajar di Sirikit School of Writing, saya menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Pertama, menggugah kesadaran masyarakat bahwa menulis itu penting. Kedua, mendorong setiap orang untuk memiliki buku catatan harian atau jurnal. Meski tersendat-sendat, SSW tetap meyakini bahwa ''everybody has a story to tell'', setiap orang pasti punya cerita. Cerita yang dikisahkan secara lisan akan mudah terlupa, sedangkan yang tertulis akan menjadi dokumen sejarah, menjadi ''legacy'' (warisan) bagi anak cucu.

Keyakinan yang lain, pada suatu ketika setiap orang harus menulis. Bukan hanya para wartawan dan pengarang yang harus menulis. Para seniman periklanan, profesional kehumasan, aktivis LSM, politikus, guru, dosen, dan mahasiswa juga pada suatu ketika harus menulis. Bahkan para pengusaha perlu menuliskan kisahnya dalam membangun usaha: jatuh bangunnya, sukses dan gagalnya, maju mundurnya, bagaimana membangun semangat dan meraih puncak. Atau, bagaimana tetap tegar dalam kejatuhan. Semua kisah itu memiliki hikmah yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang lain.

Bila Kartini rajin menulis dengan pena dan tinta di atas berlembar-lembar kertas, anak-anak muda sekarang –seusia Kartini pada waktu itu– mengetik status di BlackBerry, iPad, Whatsapp, Facebook, dan Twitter. Tidak apa-apa, zaman berubah, teknologi makin maju. Mustahil mengharapkan orang menulis dengan tinta dan kertas atau dengan kapur dan sabak di zaman komputer dan internet sekarang ini. Teknologi dan mediumnya bisa berbeda, tetapi yang penting bagaimana semangat berbagi pengalaman dan perasaan dituliskan. Tentu itu tak dapat dilakukan dengan sekadar menulis satu atau setengah kalimat status. Mengapa tidak menuliskan dua atau tiga alinea? Dalam setahun, Facebook atau blog akan memiliki sebuah cerita panjang yang mungkin bisa menjadi novel fiksi, renungan evaluasi akhir tahun, kumpulan kisah berhikmah, dan sebagainya.

Syukurlah, kita tidak hidup di zaman ketika buku-buku dibakar dan para penulis dipenjarakan. Ada sebuah film yang meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Judulnya Fahrenheit 451. Penjelasan dari judul ini, kertas/buku terbakar pada suhu 451 derajat Fahrenheit atau sekitar 200 derajat Celsius. Film ini amat mencekam karena bercerita tentang sebuah rezim antibuku.

Dapatkah Anda membayangkan hidup seperti para karakter di film itu? Negara memiliki pasukan fireman yang maknanya bukan pasukan pemadam kebakaran, melainkan pasukan pembawa api, pencipta kebakaran. Kalau ada mobil fireman memasuki kompleks perumahan, para penduduk bertanya-tanya, rumah siapa yang akan dibakar hari ini, karena ketahuan pemiliknya menyimpan buku-buku. Penduduk menyembunyikan buku di bawah tempat tidur, di dalam televisi palsu, di lemari es, di tempat cucian, di toaster pembuat roti bakar, di mana pun. Tetapi, pasukan fireman selalu berhasil menemukannya, menimbun buku-buku itu di halaman atau di ruang tamu, lalu menyemprotnya dengan api. Memusnahkannya.

Negara menganggap buku sebagai racun. Buku novel membuat orang depresi, tidak bahagia. Buku nonfiksi dianggap menghasut. Pembaca buku dicap sebagai antisosial. Penduduk dicekoki program televisi yang skenarionya disusun negara. Seorang fireman kemudian sadar telah melakukan hal yang amat buruk. Seorang perempuan yang tak mau pergi ketika perpustakaannya dibakar, kemudian ikut terbakar di antara tumpukan buku-bukunya, menyadarkannya. Fireman yang telah sadar itu kemudian melarikan diri ke sebuah komunitas buku di luar perbatasan, di tengah hutan.

Orang-orang yang lari dari penjara (dihukum karena membaca atau menyimpan buku), atau yang sudah dilepaskan, atau yang tak tahan hidup tanpa buku mengungsi di wilayah hutan ini. Di sini juga tidak ada buku karena buku bisa dibakar bila ditemukan. Namun, setiap orang adalah buku. Mereka memperkenalkan diri sebagai buku. Misalnya, ''Saya buku Filsafat & Etika karya Aristoteles'', ''Saya Othello karya Shakespeare''. Ada lelaki kembar memperkenalkan diri sebagai ''Kami Pride & Prejudice karya Jane Austin. Volume 1 dan Volume 2''. Setiap orang adalah satu buku yang dihafal di luar kepala. Bila seseorang hendak meninggal, dia mewariskan ''isi bukunya'' ke anak-anaknya untuk diteruskan dari generasi ke generasi. Kata kepala komunitas buku: ''Negara tak akan dapat menemukan buku di wilayah ini, buku-buku itu ada di sini,'' sambil menunjuk otaknya.

Syukurlah, itu cuma fiksi. Hikmah dari film yang mencekam itu adalah buku dan kegiatan literasi mencerminkan tingkat peradaban manusia. Bila Surabaya mencanangkan diri sebagai Kota Literasi, selain Kota Taman, lengkap sudah semua. Surabaya menjadi salah satu tempat tinggal paling nyaman: kehidupan bisnis berjalan, pendidikan maju, taman-taman rekreasi tersedia, dan warganya aktif dalam kegiatan literasi. Ketertinggalan Indonesia dalam jumlah karya penerbitan buku maupun jurnal akademik harus segera dikejar. Tumbuhnya berbagai komunitas literasi di Surabaya sangat menggembirakan: ada Komunitas Sastra Surabaya, ada Forum Aksi Menulis, ada Sirikit School of Writing, bahkan di kampus Unesa –khususnya PPPG– ada mata kuliah wajib literasi bagi para calon guru yang studi di sana.

Mengenang Kartini sambil merayakan Hari Buku dan merayakan satu tahun Surabaya sebagai Kota Literasi sungguh sebuah momen bersejarah yang patut kita syukuri. Semoga semakin banyak anak muda yang tergerak untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar