(Krisis)
Negarawan dan (Film) Guru Bangsa
Muhammad Rifai Darus ; Ketua Umum DPP KNPI 2015-2018
|
KORAN SINDO, 28 April 2015
Satu dekade lebih pertumbuhan
politisi di Indonesia semakin pesat. Liberalisasi politik membuka peluang
bagi siapa pun menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Sejalan dengan itu agak sulit
ditemui sosok negarawan yang mampu melampaui kepentingan politik pribadinya.
Di tengah kegaduhan politik, kehadiran film Guru Bangsa serasa menguatkan
rindu hadirnya negarawan. Ketua Tim 9—tim bentukan Presiden RI Joko Widodo
(Jokowi) untuk memberi rekomendasi terkait konflik KPK-Polri–– Buya Syafii
Maarif sempat mengatakan, ”Kita ini ‘booming politisi’ , tapi negarawan
sedikit.
Mosok KPK dan polisi tarung jadi
pertunjukkan orang pinggiran, saling membumihanguskan yang terjadi. Keadaan
ini melelahkan.” Buya berharap Jokowi dapat menjadi seorang negarawan dalam
memutuskan sengkarut hukum yang mendera petinggi KPK-Polri.
Dari beragam literatur, istilah
negarawan umumnya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang atas
dedikasi, pengorbanan, pikiran, dan tenaganya berdampak positif terhadap
keberlangsungan negara dan atau dunia, kemakmuran, serta perdamaian.
Tak peduli karya, kerja, dan
jasanya dikenang, dicatat dalam sejarah. Misi dan kerja seorang negarawan
menembus risiko politik-keamanan pribadi untuk menjaga (memperjuangkan)
kesinambungan, keberimbangan, keberagaman dalam spektrum kedaulatan,
kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bersama.
Kualifikasinya berjalan jauh
meninggalkan deskripsi kepemimpinan, sedangkan visinya seperti berlari
melintasi generasi yang tumbuh bersamanya. Kekhasan seorang negarawan
memiliki kerelaan melepas berbagai atribut politik, sosial, budaya, dan mampu
menempatkan tujuan (substansial) perjuangan sekaligus konstruksi yang
fundamental.
Negarawan memang tidak muncul
dadakan melalui proses yang instan. Ia ditempa dengan beragam corak persoalan
hingga membentuk moral, watak, perilaku, serta kesadaran mengambil tindakan
dari serangkaian permenungan tentang apa, mengapa, dan siapa yang harus
diperjuangkan.
Erosi
Kepemimpinan Politik
Partai dan elite politik merupakan
penerima berkah reformasi sekaligus pangkal masalah yang membuat publik
antipati. Kegagalan partai politik menghadirkan perubahan di tengah
ekspektasi publik begitu besar tidak hanya memantik apatisme, lebih jauh lagi
sinisme politik (Diamond & Gunther,
2000).
Pasca-Pilpres 2014, fragmentasi
kepentingan politik terbelah menjadi dua kutub yaitu Koalisi Merah Putih (KMP
yang meneguhkan diri sebagai oposan atau mitra kritis pemerintah dan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH). Sayangnya, dua kubu juga terbelit prahara internal
yang berdampak pada soliditas koalisi, kinerja parlemen dus akselerasi
kebijakan duet Jokowi-Jusuf Kalla.
Semisal, konflik dualisme kepemimpinan di
internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar. Sementara kubu KIH
belum menemukan format ideal guna merealisasikan visi-misi program
pembangunan duet Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sekadar
catatan, visi Jokowi-JK pada Pilpres 2014 adalah ”Mewujudkan Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong” (KPU,
2014).
Walau paparannya dinilai agak
lengkap, bangunan koalisi partai pendukung Jokowi- JK sepertinya belum
berjalan seirama menerjemahkan visi besar tersebut. Dari berbagai
keputusan/kebijakan yang diproduksi kabinet kerja tidak hampa dari protes
sosial. Celakanya, polarisasi dua kutub ini sepi dari visi kebangsaan,
kenegaraan, dan kerakyatan.
Nuansa kepentingan segelintir
elite dan partai lebih dominan mengisi ruang publik. Konflik politik-hukum
pimpinan Polri dan KPK, penguasaan paksa ruang Fraksi Golkar DPR RI oleh kubu
Golkar Agung Laksono adalah contoh kasus yang berdampak pada turbulensi politik
dengan turunan persoalan begitu kompleks.
Publik berharap, baik KIH maupun
KMP menjadi medan pertempuran gagasan, ruang mengartikulasikan mandat rakyat,
sekaligus media menyiapkan regenerasi kepemimpinan politik yang punya nalar
negarawan. Tidak sekadar kumpulan politisi yang bisa bersatu atau dipisahkan
oleh dan hanya untuk kepentingan pragmatis.
(Film)
Guru Bangsa
Di tengah kejenuhan publik
mengamati panggung politik, kehadiran film berjudul Guru Bangsa seperti oase
di tengah gurun. Film dengan genre
historical-biopic itu menempatkan Raden Hadji Oemar Said (HOS)
Tjokroaminoto sebagai sentrum dan seorang bangsawan yang rela mengubur status
sosial untuk merasakan dan memperjuangkan derita kaum jelata dari perbudakan
kolonial.
Sineas-budayawan Garin Nugroho
berhasil menarik perhatian publik kala musim dahaga sosok negarawan nyaris
punah dari perbincangan. Feodalisme dan kolonialisme jadi latar apik yang
disuguhkan Garin dalam film tersebut. Bila ingin merasakan faedah seorang
priyayi, Tjokroaminoto akan mengikuti rekam ayahnya, RM Tjokro Amiseno,
sebagai Wedana Kleco dan kakeknya, RM Adipati Tjokronegoro, yang pernah
menjabat bupati Ponorogo.
Kesadaran kelas Tjokroaminoto
tumbuh bersamaan dengan masa transisi kebijakan Hindia Belanda dari tanam
paksa ke politik etis pada abad 18-19. Kelas menengah berikut priyayi dan
warga jelata begitu senjang dan timpang. Sisi lain, koalisi Hindia Belanda
dan sebagian kaum priyayi justru menguatkan praktik hegemoni. Keresahan batin
berkecamuk dalam diri Tjokro saat hadir di berbagai ruang kehidupan rakyat
kecil.
Sekitar 1907, Tjokro memutuskan
”hijrah”dan keluar dari zona nyaman menjadi pegawai administratif Bumiputera
di Ngawi. Bersama istrinya, Suharsikin, Tjokro pergi ke Surabaya dan
membangun indekosdi Jalan Peneleh Gang 7 No 29-31 yang kelak menjadi pondok
gagasan sejumlah tokoh bangsa sekaligus embrio pergerakan nasional.
Di tempat itulah, Soekarno,
Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka, Musso, hingga Kartosoewirjo acap
berdiskusi dengan Tjokro perihal masa depan Indonesia dan model perjuangan
merebut kedaulatan. Walau berbeda pandangan di antara putra didik indekosnya
itu, Tjokro menekankan perjuangan daulat politik, berdikari di kebudayaan,
kesetaraan akses pendidikan maupun ekonomi ditempuh dengan cara yang humanis.
Ikhtiar politik Tjokro membuahkan
hasil ketika bergabung dengan Sarikat Dagang Islam (SDI) atas undangan pendirinya,
H Samanhudi, sebelum akhirnya menjadi Sarikat Islam (SI). Awalnya, perjuangan
SDI terkonsentrasi di sektor perniagaan. Tjokro mengubah orientasi SDI
sekaligus memperluas resonansi organisasi.
Profesor John Ingleson mencatat,
eksistensi SI diakui sebagai organisasi politik modern satu-satunya pada masa
itu (Abdul Azis, 1985). Lebih jauh dari sekadar penambahan jumlah anggota, SI
pada masa Tjokro dianggap sebagai kanal yang mampu mengobarkan semangat
antipenindasan.
Pada 1920 Tjokro dijebloskan ke
penjara selama tujuh bulan dengan tudingan menyiapkan pemberontakan. Lepas
dari jeruji besi, Tjokro menolak tawaran (kooperatif) Hindia Belanda di kursi
Volksraad (Dewan Rakyat). Sikap tegas seorang Guru Bangsa menolak imingiming
penguasa sepertinya masih sukar ditemui saat ini.
Kualifikasi Tjokro melampaui
tulisan maupun orasi politiknya yang mewakili perasaan, pikiran, dan kehendak
rakyat. Retoriknya sejalan dengan pengorbanan, sikap, perilaku,
dantindakannya.
Mari belajar bersama menggali
helai sejarah agar teladan Tjokro dan tokoh pendiri bangsa tetap selaras
dengan tujuan asali kemerdekaan yang telah disarikan melalui Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar