Beragama
di Tengah Kekacauan
Husein Ja’far Al Hadar ; Pendiri
Cultural Islamic Academy Jakarta
|
KOMPAS, 27 April 2015
Sejarah Islam telah
terbentang selama sekitar 14 abad. Ada beragam nilai, hikmah dan pelajaran
yang bisa dipetik dari sana.
Mengutip Murtadha
Muthahhari (filosof Muslim Iran kontemporer), sejarah memiliki nilai
epistemologis. Sejarah adalah sumber pengetahuan. Sering kali, masa depan
justru terlihat gamblang dan cerah dengan kacamata masa lalu. Mengacu pada
Hegel, gerak sejarah melahirkan tesis, antisesis, dan sintesis, serta begitu
seterusnya. Apa yang pernah ada dalam sejarah bisa menjadi pegangan kita
dalam menatap dan menjalani saat ini dengan segala tantangannya, termasuk
konteks keislaman.
Kini kita sampai pada
suatu masa sulit bagi umat Islam di dunia, tak terkecuali Indonesia. Suatu
masa yang bisa disebut sebagai masa kekacauan. Kita sedang menghadapi apa
yang di Indonesia diistilahkan "darurat terorisme" dengan Islamic
State (IS) sebagai aktor utama dan berbagai kekacauan di Palestina, Irak,
Suriah, dan Yaman.
Kekacauan yang terjadi
menjadi mengerikan tidak hanya karena menghabiskan dan menumpahkan ratusan
ribu nyawa dan darah dengan cara keji, tetapi juga karena kekacauan itu
terjadi akibat "perselingkuhan" antara agama (Islam) dan politik.
Sebuah "perselingkuhan" klasik yang sering terjadi dan berulang
akibat "seksi"-nya isu agama dalam kacamata politik rendahan yang
propagandis.
Sejarah berulang
Sejarah mencatat bahwa
kekacauan semacam ini pernah terjadi pada abad XI-XIII M. Masa itu bisa
disebut sebagai salah satu masa paling kacau dalam sejarah dunia Islam. Masa
kacau itu terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda di beberapa wilayah: dari
Perang Salib, invasi Mongol, perpecahan akut Dinasti Abbasiyah, hingga kekacauan
yang ditimbulkan oleh Ibadiyah (sekte paling ekstrem dari Khawarij) dan
Qaramitah.
Meskipun bentuknya
berbeda-beda di tiap kawasan di Timur Tengah, semua kekacauan itu memiliki
akar yang sama sebagaimana terjadi saat ini, yakni berbasis pada sentimen dan
propaganda agama atau mazhab.
Merespons kekacauan
itu, setidaknya ada dua kecenderungan dan sikap yang muncul dari kalangan
ulama Islam. Pertama, kecenderungan dan sikap ekstrem. Kecenderungan dan
sikap ini berupaya membangun politik identitas (Muslim) yang
"sentimen" terhadap musuh-musuh Islam saat itu, serta
mengkritalisasi doktrin-doktrin Islam agar kaku, paten, dan berdiri sendiri
secara angkuh. Kecenderungan dan sikap ini diwakili oleh Ibn Taimiyah dalam
konteks Perang Salib dan invasi Mongol.
Kedua, sebaliknya,
yakni kecenderungan dan sikap moderat. Kecenderungan dan sikap ini berupaya
membangun politik akomodatif yang toleran, mencari titik temu, dan merangkul
kelompok di luar Islam, bahkan meskipun oknum-oknum politiknya saat itu
menjadi musuh dan penyerang kaum dan negara Muslim. Juga mengambil jarak dari
politik guna menyelamatkan tradisi dan peradaban keilmuan Islam, meskipun
tetap memberikan pengaruh positif dalam upaya menyelesaikan kekacauan politik
yang terjadi.
Kecenderungan dan sikap
itu diwakili oleh ulama dalam jaringan "rahasia" bernama Ikhwan
as-Shafa di tengah perpecahan Dinasti Abbasiyah, sufi tersohor Jalaluddin
Rumi, dan para habaib Hadhramaut (Yaman) menghadapi Ibadiyah dan Qaramitah.
Adapun dalam konteks
kekacauan pada masa kita saat ini, tak sedikit umat Islam yang mengarah pada
kecenderungan ekstrem ala Ibn Taimiyah. Kita seolah lupa kalau di samping itu
kita memiliki kecenderungan lain yang dibangun dan diteladankan oleh
nama-nama besar, seperti Ikhwan as-Shafa, Rumi, dan para habaib Hadhramaut.
Padahal, menurut
penulis, kecenderungan ala mereka yang justru tepat untuk dipelajari,
dipilih, dan diterapkan dalam merespons kekacauan pada masa kita saat ini.
Sebab, pertama, kini kita hidup di dunia yang modern dan menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi, HAM, kebebasan, kemoderatan, toleransi. Kecenderungan
sikap ala Ibn Taimiyah tak sesuai dengan konteks yang melingkupi kita saat
ini.
Agama statis
Kecenderungan moderat
bisa menjadi solusi, memberikan titik terang, sekaligus mempertahankan citra
Islam sebagai agama lintas zaman dan rahmatan lil 'alamin dengan peradabannya
yang agung. Kedua, kecenderungan ekstrem cenderung menarik agama ke simpul konflik
berbasis politik. Hal itu rentan menjadikan agama dipermainkan secara politis
oleh kepentingan kelompok yang terlibat dalam konflik guna memperakut benang
kusut kekacauan, serta menjadikan agama tereduksi dari sebuah nilai yang
berorientasi luhur dan kedamaian menuju aturan berorientasi keduniawian dan
sarat konflik.
Kecenderungan moderat
justru positif karena akan membuat agama berjarak dengan politik, tetapi
tetap berperan proporsional dan strategis dalam membantu penyelesaian konflik
tanpa harus terjebak dalam pusaran konflik. Dengan begitu, agama juga akan
terus bertakhta dalam keagungannya.
Ketiga, kecenderungan
ekstrem akan membuat agama statis, kaku, dan gersang karena sibuk dan
terlibat dalam kekacauan politik yang terjadi dan terpecah-belah akibat
kepentingan-kepentingan kelompok yang sedang berkonflik. Adapun
kecenderungan moderat akan membuat agama terus berkembang dan luwes karena
aktivitas keilmuan dan keagamaan terus berjalan tanpa harus tersita atau
terpecah belah akibat kekacauan yang terjadi.
Ajaran, ilmu, dan
peradaban Islam harus diselamatkan di tengah kekacauan saat ini. Relasi yang
harus dibangun adalah Islam berperan dalam menyelesaikan kekacauan politik
yang terjadi, bukan sebaliknya: politik menarik dan mempropaganda Islam untuk
kekacauan yang diciptakan sehingga keberadaan Islam justru memperakut konflik
yang terjadi dan Islam terpecah-pecah mengikuti friksi dalam kekacauan
politik yang terjadi.
Ikhwan as-Shafa
melakukannya dengan membangun sinkretisme dan persaudaraan universal yang
lintas agama, mazhab, bangsa, dan seterusnya.
Rumi melakukannya
dengan bersyair sufistik untuk menjaga nilai-nilai dasar Islam (khususnya
dalam tasawuf) dan mencairkan suasana secara syahdu, sedangkan para habaib
melalui founding father-yakni Faqih al-Muqaddam-melakukan tindak simbolik
yang sangat populer dengan mematahkan pedang sebagai simbol gagasan
perdamaian dan kemudian ditindaklanjuti dengan membangun peradaban madani
yang berbasis pada tasawuf akhlaqi (tasawuf praktis) hingga tersebar ke Indonesia.
Itulah teladan
keberagamaan kita di tengah kekacauan saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar