Kamis, 23 April 2015

Tak Ada Musim Semi Arab

Tak Ada Musim Semi Arab

Hamid Awaludin  ;   Mantan Dubes RI di Rusia dan Belarusia
KOMPAS, 23 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kini, kita menyaksikan, tak ada musim semi di Arab. Yang ada justru musim gugur dalam pengertian sebenar-benarnya: gugurnya secara sia-sia ribuan pemuda dan pemudi, anak-anak dan orangtua di tanah Arab, dalam konflik yang sia-sia yang tak mungkin kita pahami di mana gerangan benar-salahnya.

Musim semi Arab kini justru musim kembang peluru kendali, bom-bom bunuh diri, ranjau-ranjau darat yang tak memilih. Sudah menjadi jalan sejarah, segala konflik dan kekerasan dalam bentuknya yang paling primitif, seolah mengekal di tanah Arab, semenjak konflik Israel-Palestina, kejatuhan Taliban dan Irak, munculnya Negara Islam di Irak dan Suriah, lalu kini serangan Arab Saudi dan sekutunya ke Yaman. Indonesia terkena imbas dengan kekerasan terakhir ini karena kantor KBRI hancur terkena bom.

Bilakah ini semua berakhir? Allah Maha Tahu. Kita tak pernah bisa memahami, mengapa di tanah tempat turunnya para nabi, tempat segala ajaran agama dan kebajikan manusia berasal, segala bentuk konflik dan kekerasan yang tak manusiawi justru tak kunjung mereda. Kita sulit membayangkan, ajaran- ajaran agama dan kebajikan manusia yang datang dari sana diterima dengan tangan terbuka oleh miliaran manusia di belahan dunia lain dan menjadikan ajaran itu alas bagi kedamaian di negeri mereka, tetapi di negeri asalnya, manusia tak henti saling membunuh dan melukai.

Mungkin ada juga yang menjawab, sangarnya tanah Arab justru menjadi alasan turunnya para nabi dan rasul di sana. Tetapi, nabi dan rasul telah tiada, ajaran-ajaran yang mereka bawa telah sempurna dan telah menyelimuti sanubari segenap penduduk dunia. Mengapa di tanah Arab, kekerasan manusia masih saja terjadi? Arab Saudi yang selama ini dalam penampang politik global, selalu memilih jalan tengah, bebas hiruk-pikuk yang berujung pada penggunaan kekerasan. Apa yang memotivasi Arab Saudi menggempur Yaman, negara tetangga terdekatnya? Apalagi, banyak menteri Arab Saudi yang keturunan Yaman.

Motivasi Arab Saudi

Ada yang berasumsi, Arab Saudi menggempur Yaman karena para pejuang kelompok Houthi mengambil alih kekuasaan pemerintahan sah di sana. Arab Saudi datang untuk merestorasi pemerintahan dan menjaga keamanan dan mengurangi derita rakyat Yaman. Asumsi ini kurang beralasan sebab sekian tahun silam, ketika Saddam Hussein menganeksasi Kuwait, Arab Saudi tidak bergerak menggempur Irak untuk membela Kuwait. Apalagi, masalah Yaman sekarang ini adalah masalah domestik: pemerintah versus kelompok Houthi.

Sejatinya, Houthi bukan kelompok radikal yang dilandasi ideologi fundamentalisme. Houthi sangat moderat, kelompok ini amat anti Al Qaeda dan tak sehaluan dengan kaum Wahabi yang keduanya dinilai memiliki akar di Arab Saudi. Kelompok ini tak membawa misi kekerasan. Posisi inilah yang sebenarnya menarik pelatuk mengapa Arab Saudi ikut terlibat di Yaman. Arab Saudi ketakutan luar biasa dengan Houthi yang mengambil alih kekuasaan di Yaman, sebab Houthi dipersepsikan anti Arab Saudi.

Motivasi kedua mengapa Arab Saudi menggempur Yaman, karena Iran dan Hezbollah secara jelas mendukung Houthi yang memang beraliran Syiah. Dalam konteks ini, kita boleh menilai bahwa gempuran Arab Saudi ke Yaman adalah genderang perang antara Sunni (Arab Saudi) melawan Syiah yang terepresentasi pada diri Houthi dan Iran. Dalam perang ini, Arab Saudi didukung sepenuhnya Liga Arab dan AS. Adapun Uni Eropa dan Rusia, amat mengkritisinya. Sejatinya, AS tidak perlu menabuh genderang perang melawan Houthi karena kelompok ini sangat anti Al Qaeda dan kelompok radikal Islam lain. Namun, keterlibatan Iran dalam membantu Houthi, membuat AS ikut memerangi Houthi. Apalagi, Arab Saudi adalah sekutu abadi AS. Di sini berlaku prinsip, the enemy of your friend, is your enemy also.

Perjuangan Houthi merebut kekuasaan sah di Yaman, sebenarnya adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan, membersihkan pemerintahan dari praktik korupsi dan kolusi, anti pencabutan subsidi minyak, penyediaan lapangan kerja, perbaikan pelayanan publik, dan pembebasan Yaman dari pengaruh Barat. Bagi Houthi, pengalaman Irak, Afganistan, dan banyak lagi kawasan lain, membuktikan keterlibatan pihak Barat adalah malapetaka bagi mereka. Houthi tidak ingin mengulangi pengalaman itu terjadi di Yaman.

Kini, Arab Saudi aktif sekali mencari dukungan untuk membenarkan tindakannya, menggempur Yaman. Saya khawatir, tindakan Arab Saudi mengeksekusi dua warga negara Indonesia baru-baru ini, adalah lonceng peringatan buat Indonesia ikut mendukungnya. Selama ini, Indonesia memang belum menunjukkan gelagat ke arah sana.

Serangan Arab Saudi ini tampaknya hal kecil dibanding peristiwa-peristiwa lain yang telah terjadi. Namun, ini bisa bereskalasi ke mana-mana sebab AS tak akan pernah berdiam diri selama Iran memasuki sebuah kawasan konflik. Dan, bila AS terang-terangan ikut dalam permainan ini, maka Rusia dan juga Tiongkok, pasti akan bereaksi, mengambil langkah sebaliknya. Sebuah risiko yang tidak dihitung matang oleh Arab Saudi.

Apa yang dilakukan Arab Saudi terhadap Yaman adalah sesuatu yang sulit diterima. Sanggupkah para pemimpin Asia Afrika yang kini tengah berkumpul di Indonesia menyatakan sikap terhadap tindakan ini? Lantaran ini soal Islam versus Islam, kita membayangkan Organisasi Kerja Sama Islam ikut mengambil sikap untuk menjembatani jurang pemisah ini. Siapa tahu, Arab Saudi bersama para pendukungnya, bisa berubah pikiran demi stabilitas global dan citra Islam. Kenetralan dan keterlibatan PBB secara obyektif, sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar