Pembredelan
Buku
Achmad Fauzi ; Aktivis Multikulturalisme
|
KORAN TEMPO, 28 April 2015
Peradaban monolitik selamanya tak akan menghasilkan
khazanah berpikir yang progresif. Terlebih ketika perbedaan mazhab pemikiran
dilawan dengan kekerasan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Jangan hanya
karena beda cara pandang atau paranoia politik yang sekarat, buku yang
berjulukan jendela dunia harus dibredel dan diberangus, penerbitnya diserang,
forum diskusinya dikacaukan.
Masa depan geliat buku
dipastikan bakal pupus karena berhadapan dengan pemberangusan dan rasa benci.
Padahal perbedaan ideologi dan pemahaman tidak selayaknya disikapi dengan
aksi yang biadab. Pada zaman yang menjunjung tinggi tradisi keilmuan,
perbedaan pemahaman harus dihentikan dengan memulai dialog yang terbuka dan
bersifat akademis.
Sejarah kelam dunia
perbukuan mencatat, Lekra Tak Membakar
Buku karya Rhoma Aria Dwi Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan diharamkan
beredar. Buku itu membuat alergi penguasa karena sampulnya bergambar palu dan
arit. Penulisnya telah mencabut sampul gambar dan menggantinya dengan yang
lain, namun rezim tetap tidak kompromi.
Buku kontroversial
yang mengalami nasib sama adalah Membongkar
Gurita Cikeas; Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro.
Buku hasil riset yang mengungkap dugaan keterlibatan SBY dan keluarganya
dalam skandal Century ini ditarik dari toko buku. Setali tiga uang, buku
Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat
karangan Sendius Wonda juga disita oleh aparat.
Pembunuhan intelektual
terhadap pengarang buku kontroversial dan pemberangusan penerbit berhaluan
kiri seolah menjadi drama peperangan paling menakutkan dalam dunia keilmuan.
Peristiwa itu bukan saja mencederai rasa kemanusiaan karena telah memakan
korban yang berdarah-darah seperti yang menimpa salah satu penerbit di
Yogyakarta. "Kesakralan" buku menjadi terusik karena dikotori oleh
tindakan para pengecut yang kalah dalam perang pemikiran dan gagal menemukan
cara elegan untuk mengakui kekalahannya.
Pertempuran ide dan
pemahaman yang melahirkan banyak buku menjadi ciri kematangan masyarakat
ilmiah. Sebaliknya, penyerangan dan penghakiman terhadap realitas tafsir yang
majemuk menjadi pertanda kemandulan akal dan karakter zaman kegelapan. Setiap
untaian kata dalam buku dapat mengubah peradaban dunia, sehingga sangat
disayangkan apabila buku justru dijadikan peranti jebakan yang mematikan.
Amarah dalam sebuah gerakan yang menjadikan penerbit buku dan penulisnya
sebagai obyek sasaran kekerasan sangat kontraproduktif dengan keagungan buku
sebagai saripati pergolakan berpikir.
Betapa indahnya
menyimak pergulatan ide dalam buku dengan menanggalkan unsur tekanan, teror,
dan kekerasan di dalamnya. Para pemikir dunia yang telah menelurkan banyak
buku, menganggap perbedaan penafsiran sebagai otokritik atas konstruksi tesis
yang dibangun.
Seperti itulah
mestinya menulis sejarah peradaban dengan tinta emas. Bukan dengan tinta
darah yang identik dengan sikap primitif. Pemberangusan buku adalah tindakan
culas dan kasar. Ideologi provokatif yang menyerukan kekerasan, pembunuhan,
dan klaim kebenaran adalah bentuk tradisi barbar yang kaku menghadapi
modernitas. Karena itu, masyarakat ilmiah sangat mengutuk tindakan
penghakiman dan pembredelan terhadap buku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar