Rabu, 29 April 2015

Pembredelan Buku

Pembredelan Buku

Achmad Fauzi  ;  Aktivis Multikulturalisme
KORAN TEMPO, 28 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Peradaban monolitik selamanya tak akan menghasilkan khazanah berpikir yang progresif. Terlebih ketika perbedaan mazhab pemikiran dilawan dengan kekerasan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Jangan hanya karena beda cara pandang atau paranoia politik yang sekarat, buku yang berjulukan jendela dunia harus dibredel dan diberangus, penerbitnya diserang, forum diskusinya dikacaukan.

Masa depan geliat buku dipastikan bakal pupus karena berhadapan dengan pemberangusan dan rasa benci. Padahal perbedaan ideologi dan pemahaman tidak selayaknya disikapi dengan aksi yang biadab. Pada zaman yang menjunjung tinggi tradisi keilmuan, perbedaan pemahaman harus dihentikan dengan memulai dialog yang terbuka dan bersifat akademis.

Sejarah kelam dunia perbukuan mencatat, Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Aria Dwi Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan diharamkan beredar. Buku itu membuat alergi penguasa karena sampulnya bergambar palu dan arit. Penulisnya telah mencabut sampul gambar dan menggantinya dengan yang lain, namun rezim tetap tidak kompromi.

Buku kontroversial yang mengalami nasib sama adalah Membongkar Gurita Cikeas; Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro. Buku hasil riset yang mengungkap dugaan keterlibatan SBY dan keluarganya dalam skandal Century ini ditarik dari toko buku. Setali tiga uang, buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat karangan Sendius Wonda juga disita oleh aparat.

Pembunuhan intelektual terhadap pengarang buku kontroversial dan pemberangusan penerbit berhaluan kiri seolah menjadi drama peperangan paling menakutkan dalam dunia keilmuan. Peristiwa itu bukan saja mencederai rasa kemanusiaan karena telah memakan korban yang berdarah-darah seperti yang menimpa salah satu penerbit di Yogyakarta. "Kesakralan" buku menjadi terusik karena dikotori oleh tindakan para pengecut yang kalah dalam perang pemikiran dan gagal menemukan cara elegan untuk mengakui kekalahannya.

Pertempuran ide dan pemahaman yang melahirkan banyak buku menjadi ciri kematangan masyarakat ilmiah. Sebaliknya, penyerangan dan penghakiman terhadap realitas tafsir yang majemuk menjadi pertanda kemandulan akal dan karakter zaman kegelapan. Setiap untaian kata dalam buku dapat mengubah peradaban dunia, sehingga sangat disayangkan apabila buku justru dijadikan peranti jebakan yang mematikan. Amarah dalam sebuah gerakan yang menjadikan penerbit buku dan penulisnya sebagai obyek sasaran kekerasan sangat kontraproduktif dengan keagungan buku sebagai saripati pergolakan berpikir.

Betapa indahnya menyimak pergulatan ide dalam buku dengan menanggalkan unsur tekanan, teror, dan kekerasan di dalamnya. Para pemikir dunia yang telah menelurkan banyak buku, menganggap perbedaan penafsiran sebagai otokritik atas konstruksi tesis yang dibangun.

Seperti itulah mestinya menulis sejarah peradaban dengan tinta emas. Bukan dengan tinta darah yang identik dengan sikap primitif. Pemberangusan buku adalah tindakan culas dan kasar. Ideologi provokatif yang menyerukan kekerasan, pembunuhan, dan klaim kebenaran adalah bentuk tradisi barbar yang kaku menghadapi modernitas. Karena itu, masyarakat ilmiah sangat mengutuk tindakan penghakiman dan pembredelan terhadap buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar