Mary
Jane, Hukuman Mati yang Tertunda
Tri Agung Kristanto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 29 April 2015
Lebih baik membebaskan
1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
Demikianlah pesan mantan Hakim Agung Bismar Siregar terkait dengan
kemungkinan keraguan hakim dalam membuat putusan.
Peringatan Bismar itu
terasa mendapatkan tempat ketika pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla giat
menetapkan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati, khususnya dalam
kasus peredaran gelap narkoba. Dalam dua kali pelaksanaan eksekusi, kegaduhan
selalu menyertainya.
Kegaduhan tak hanya
terjadi di dalam negeri karena masih ada warga yang bersikap pro dan kontra
terhadap hukuman mati, tetapi juga terjadi di luar negeri. Masyarakat internasional
bereaksi karena sebagian besar terpidana mati yang dieksekusi dalam dua
kejadian di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, dan di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah, adalah warga negara asing.
Walaupun pemerintahan
Jokowi-Kalla baru berlangsung enam bulan, Jokowi-Kalla sudah dua kali
melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati, yaitu pada 18 Januari dan 29
April lalu. Sebanyak 14 narapidana mati telah dieksekusi. Semula ada 16
terpidana yang akan dieksekusi. Presiden Jokowi menolak permohonan grasi yang
mereka ajukan. Sebagian tertunda karena berbagai alasan.
Di Indonesia, menurut
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly, pada Januari lalu
terdapat tidak kurang 133 terpidana mati. Mereka terdiri dari 57 narapidana
mati untuk kasus narkoba, 2 terpidana mati kasus terorisme, dan 74 narapidana
mati perkara pidana umum, misalnya pembunuhan berencana.
Selain memiliki
narapidana mati, Kementerian Luar Negeri melaporkan, hingga Februari lalu
tercatat 229 warga negara Indonesia terancam dieksekusi mati di Malaysia,
Tiongkok, dan Arab Saudi. Sebagian besar dari warga negara Indonesia itu, 131
orang terancam dieksekusi mati karena terlibat kasus narkoba. Mereka
memerlukan pembelaan dari pemerintah agar terbebas dari hukuman mati itu.
Mary Jane lolos
Dalam pelaksanaan
eksekusi Rabu (29/4) dini hari di Nusakambangan, perhatian khalayak lebih
banyak tersedot pada terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso.
Mary Jane bersama Serge Areski Atlaoui asal Perancis dan Myuran Sukumaran
(Australia) sebenarnya termasuk yang akan dieksekusi pada Januari lalu.
Namun, mereka batal dieksekusi karena tengah mengajukan upaya hukum untuk
menghindari dari regu tembak.
Serge namanya kembali
dikeluarkan dari daftar yang harus dieksekusi Rabu lalu karena masih
mengajukan upaya hukum menggugat keputusan presiden yang menolak permohonan
grasinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, diduga tekanan besar
dari Pemerintah Perancis-lah yang membuat Serge, yang disebut-sebut sebagai
ahli peracik ekstasi dan sabu, terhindar lagi dari eksekusi. Apalagi, PTUN
Jakarta, Selasa lalu, menolak gugatan Serge.
Sementara Mary Jane
dan Myuran kembali akan dieksekusi karena permohonan grasi dan peninjauan
kembali (PK) perkaranya telah ditolak oleh Presiden dan Mahkamah Agung (MA).
Myuran, yang disebut sebagai bagian dari jaringan pengedar narkoba "Bali
Nine", akhirnya dieksekusi bersama tujuh terpidana mati lainnya,
termasuk Zainal Abidin, satu-satunya terpidana mati asal Indonesia, Rabu dini
hari.
Mary Jane yang sudah
berada di Nusakambangan tak jadi dieksekusi karena ada perintah dari Presiden
Jokowi untuk membatalkannya. Sebuah bukti baru, selain besarnya tekanan dari
masyarakat internasional dan nasional, yang menyatakan Mary Jane adalah
korban perdagangan manusia (human traficking), membuat eksekusi itu tertahan.
Selasa, Maria Kristina Sergio, yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary
Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.
Fakta baru itu,
misalnya, mendorong anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(F-PDIP), Charles Honoris, mendesak Presiden Jokowi membatalkan eksekusi
terhadap Mary Jane. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pun meminta eksekusi
terhadap Mary Jane dibatalkan. Presiden yang sempat bertemu dengan Jaksa Agung
HM Prasetyo, Selasa, di Jakarta, sebenarnya sudah menyerahkan pelaksanaan
eksekusi itu kepada eksekutor (jaksa). Namun, pada detik-detik terakhir
Jokowi membatalkan keputusannya itu.
Langkah Presiden
tersebut sejalan dengan peringatan yang disampaikan Bismar Siregar. Ada
potensi kesalahan dalam putusan terhadap Mary Jane. Potensi kesalahan putusan
itu pun sebenarnya juga ada pada kasus Zainal Abidin, yang oleh polisi yang
memeriksanya disebutkan bekerja jual-beli ganja. Profesi yang tak masuk akal.
Sekalipun bekerja seperti yang disebut polisi, tak mungkin seorang tersangka
atau terdakwa mengakui.
Pembelaan untuk Zainal
kini sudah terlambat. Namun, untuk Mary Jane masih terbuka peluang untuk
meluruskan putusan hakim jika memang ada kesalahan. Namun, dalam hukum,
memang lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada memenjarakan
seorang yang tak bersalah.
Kini, kejaksaan
tinggal menunggu proses hukum terhadap Maria Kristina di Filipina untuk terus
atau tidak eksekusi terhadap Mary Jane. Di sisi lain, Mary Jane dapat memakai
pengakuan Maria Kristina, yang mungkin saja menjebaknya, sebagai bukti baru
(novum) untuk kembali mengajukan PK.
Saatnya mengevaluasi
Lepas dari benar atau
tidak putusan hakim terhadap Mary Jane, keputusan penundaan eksekusi itu
melegakan berbagai kalangan, terutama keluarganya. Namun, bagi pemerintah dan
lembaga penegak hukum di Indonesia, kondisi itu seharusnya menjadi saat yang
tepat untuk mengevaluasi kembali kebijakan eksekusi terhadap terpidana mati,
termasuk penerapan hukuman mati.
Bagi terpidana mati
kasus narkoba yang terus mengulangi perbuatannya, termasuk mengoordinasikan
peredaran gelap narkoba dari dalam penjara dengan bantuan oknum aparat,
seperti yang ditunjukkan Freddy Budiman, masyarakat tentu tak akan keberatan
jika eksekusi segera dilaksanakan. Namun, untuk terpidana mati yang tidak
segera dieksekusi dan telah menunjukkan perbaikan perilaku dan penyesalan
yang luar biasa, Presiden bisa menunjukkan penghargaannya dengan memberikan
keringanan hukuman, menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman dengan waktu
tertentu (20 tahun).
Mahkamah Konstitusi
(MK) memang menyatakan hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia tak
bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin
hak hidup setiap warga negara. Namun, MK mengingatkan pentingnya
kehati-hatian dalam pelaksanaan hukuman mati itu, misalnya dengan memberikan
masa waktu penantian. Jika dalam 10 tahun, misalnya, seorang terpidana mati
menunjukkan perilaku yang baik, bisa saja hukuman itu diubah. Prinsipnya,
manusia memang tidak berhak untuk menentukan hidup atau mati manusia lainnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar