Vale
AS Laksana ; Sastrawan,
Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak
nasional di Indonesia
|
JAWA POS, 27 April 2015
SETIAP juara, dalam
bidang apa pun, adalah orang-orang yang menyumbangkan kebajikan kepada kita.
Mereka membuat kehidupan ini lebih menyenangkan untuk dijalani. Saya
mengagumi para maestro karena mereka memberi kegembiraan --juga
menginspirasi. Dan salah satu pemberi kegembiraan itu adalah Vale.
Seperti banyak
penggemar balapan MotoGP lainnya di muka bumi, saya mengagumi Valentino
Rossi. Jika Anda penggemar balapan motor tersebut, Anda akan menyaksikan
bahwa ia menjalani urusannya dengan wajah yang tampak selalu gembira.
Barangkali itu salah satu kunci keberhasilannya. Saya pernah berkorespondensi
melalui email dengan seorang wartawan asing dan kami membicarakan urusan
tulis-menulis. Saya menanyakan bagaimana cara mereka selalu bisa menulis
berita dengan baik. (Menurut anggapan saya, semua tulisan di media tempat ia
bekerja selalu bagus.) Ia menjawab, ’’Kami selalu menulis dengan perasaan
gembira.”
Valentino tentu juga
sering berada di dalam situasi yang menekan. Ia telah menikmati masa kejayaan
di sirkuit MotoGP dan menjadi juara lima musim berturut-turut sejak 2001
hingga 2005. Tahun 2006 ia menjalani musim yang sial dan harus merelakan
gelarnya ke tangan pembalap Amerika, Nicky Hayden. Pada musim balap
berikutnya, ia menghadapi situasi yang lebih rumit lagi. Casey Stoner muncul
dan mampu membalap begitu kencang di atas motor Ducatinya. Pemuda Australia
ini, yang mengidolakan Vale pada mulanya dan kemudian menjadi pengecam keras,
benar-benar seorang penantang paling menakutkan. Ia memiliki talenta luar
biasa yang mampu menandingi Valentino dan membuktikannya dengan merebut gelar
juara di tahun 2007.
Stoner betul-betul
membuat orang berpikir bahwa Rossi sudah habis. Namun, di tahun berikutnya,
seperti seorang mesiah yang bangkit dari kematian, Rossi kembali menjadi
juara dunia. Ia memenangi pertarungan sengit melawan Stoner yang saat itu masih
merupakan pembalap tercepat. Sampai sesi kesepuluh Rossi memimpin klasemen
dengan selisih nilai yang tidak besar, dan ia kemudian berhasil menghancurkan
mental Stoner dalam pertarungan sengit di sirkuit Laguna Seca, Amerika, tahun
2008. Di dalam pertarungan ini, Rossi memamerkan manuver-menuver yang membuat
Stoner marah. Rossi ahli dalam membuat orang lain uring-uringan.
Orang lain yang tahu
cara membuat lawannya marah adalah petinju legendaris Muhammad Ali. ’’Kau
membuat lawanmu marah dan kemarahan akan mengubah seorang petinju menjadi
petarung jalanan yang kalap dan melupakan teknik bertinjunya,” kata Ali.
Tampaknya itu berlaku
juga bagi Stoner. Ia marah dan dalam tujuh sesi terakhir setelah itu, ia
hanya mampu menang dua kali dan naik podium tiga kali. Sementara Rossi
memenangi lima sesi dan naik podium enam kali. Rossi kembali menjadi juara
dunia dan Stoner di tempat kedua dengan selisih poin akhir yang cukup besar.
Tahun berikutnya,
2009, perseteruan seru dihadirkan oleh rekan satu timnya, Jorge Lorenzo. O,
tunggu dulu. Rekan satu tim adalah istilah yang tidak tepat. Yang lebih tepat
adalah musuh besar di bawah bendera yang sama. Pertarungan seru musim ini
terjadi di sirkuit Catalunya, Spanyol, di mana Lorenzo dan Rossi saling
menempel sepanjang balapan, dan Lorenzo berada di depan saat balapan tinggal
menyisakan tiga tikungan lagi.
Rossi terus berusaha
menempel Lorenzo dan, seperti yang lazim dilakukan oleh para pembuat
keajaiban, ia berhasil melakukan hal yang nyaris musykil: menyalip Jorge
Lorenzo di tikungan terakhir, dalam situasi yang sangat sulit, dengan risiko
jatuh.
Dalam film dokumenter
Fastest, Vale menjelaskan manuvernya: ’’Kejutan adalah hal yang penting.
Karena Jorge juga tak akan menyangka saya melakukan itu.”
Ia menikung dengan kecepatan
180 mil per jam, dalam jarak 35 sentimeter dari Lorenzo, dan ia berhasil. Ia
memenangi pertarungan di Catalunya itu. Dan ia berhasil mempertahankan
mahkota kejuaraan.
Namun Lorenzo makin
kuat di tahun berikutnya. Pembalap Spanyol ini keluar sebagai juara di tahun
2010 dan Yamaha mengumumkan bahwa Lorenzo adalah pembalap masa depan Yamaha.
Itu pernyataan yang melukai Valentino. Ia lantas keluar dari Yamaha dan
bergabung dengan Ducati dan menjalani dua musim yang sengsara di atas motor
Italia itu.
Pada tahun 2013, di
usianya yang sudah 34 tahun, Vale kembali ke Yamaha sebagai pembalap tua yang
sudah dicoret oleh para wartawan dan pengamat dari daftar kandidat juara.
Jeremy Burgess, kepala teknisi yang telah mendampinginya sejak ia menceburkan
diri di sirkuit MotoGP, juga memiliki pendapat yang serupa bahwa saat ini
nyaris mustahil bagi Rossi untuk kembali menjadi juara. Burgess adalah orang
yang memiliki jumlah kemenangan lebih banyak dibandingkan Valentino. Ia telah
mendampingi para juara sebelum Rossi membalap.
Marc Marquez, si
pendatang baru, tampil memukau di tahun pertamanya di MotoGP dan memenangi
kejuaraan sebagai yang termuda sepanjang sejarah. Lorenzo, juara tahun
sebelumnya, menempati posisi kedua dengan selisih hanya delapan poin dari
Marc. Dani Pedrosa di posisi ketiga. Valentino hanya menempati urutan keempat
dan tetap membuat kejutan. Setelah musim balapan 2013 berakhir, ia
mengumumkan berpisah dari Jeremy Burgess, orang yang telah mengantarnya
menjadi juara dan sudah seperti ayahnya sendiri. Banyak penggemarnya
menanggapi keputusan itu dengan kesedihan yang emosional. Namun Rossi sudah
mengambil keputusan.
Pada musim balapan
tahun 2014 ia menunjuk Silvano Galbusera sebagai kepala teknisi dan
mendapatkan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Kita
melihat pada setiap sesi, ia tampak gembira --seperti biasa-- dan ikut
bergembira setiap kali Marc Marquez meraih kemenangan. Pada satu kesempatan
ia tiba-tiba ikut menyusup di tengah-tengah kru Honda yang sedang berfoto bersama
Marc merayakan kemenangan.
Kita melihat itu semua
sebagai hal yang wajar, sesuatu yang berlangsung alami: sang legenda ikut
bergembira karena anak muda yang mengaguminya keluar sebagai pemenang. Tetapi
saya agak meyakini bahwa itulah cara Rossi melancarkan perang urat syaraf
secara terselubung terhadap Jorge Lorenzo. Ia tahu lawan pertama yang harus
disingkirkan adalah Lorenzo, pembalap utama tim Yamaha yang lebih
diistimewakan ketimbang dirinya. Dan, bagaimanapun, Lorenzo adalah pembalap
tangguh.
Dengan menunjukkan
dukungannya terhadap Marc Marquez, ia membuat Lorenzo menjadi satu-satunya
’’musuh bersama”. Di tahun 2014 itu Jorge melakukan banyak kesalahan di
separo awal musim balapan. Ia tertinggal jauh dalam pengumpulan nilai,
sementara Rossi menunjukkan performa yang jauh meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya dan menjadi runner-up di akhir musim. Lorenzo, sang musuh bersama,
merosot di urusan keempat.
Dengan kenyataan
seperti itu, Yamaha akhirnya mengeluarkan keputusan bahwa kedua pembalap akan
diperlakukan sama. Inilah keputusan terpenting dari Yamaha bagi Valentino dan
ia mengawali musim kompetisi 2015 dengan menghadirkan kejutan. Sementara
Lorenzo selalu gagal menunjukkan performa terbaiknya (sebagian pengamat
menganggapnya mulai kehilangan kepercayaan diri) dan Marc Marquez mengalami
hari-hari sial, Rossi memenangi dua dari tiga sesi pembuka, dan selalu berada
di podium.
’’Jangan pernah
mencoret Valentino. Ia selalu menakjubkan,” kata Jeremy McWilliams, seorang
bekas pembalap, setelah kemenangan Vale pada seri pembuka di Qatar.
Sampai sesi ketiga
minggu lalu di Argentina, Valentino masih memberikan kejutan. Ia memulai
start dari posisi kedelapan, sama seperti posisi startnya di Qatar, dan Marc
Marquez di posisi pertama dan melaju sangat cepat meninggalkan gerombolan.
Lalu Rossi menyalip para pembalap di depannya satu demi satu dan akhirnya
memburu Marc yang tampak sangat kecil di depan sana. Ketika balapan tinggal
dua putaran lagi, sang pemburu berhasil mendekati mangsa dan menyalipnya di
sebuah tikungan. Lalu terjadi salip-menyalip dan dua kali mereka saling
bersentuhan sampai akhirnya Marc Marquez terjatuh dan gagal finish karena
roda depan motornya bentrok dengan roda belakang motor Valentino saat keluar
dari tikungan.
Itu perang urat syarat
berikutnya yang dilancarkan oleh Valentino, pembalap tertua di lintasan
MotoGP hari ini, dan sekarang lawannya adalah Marquez, pembalap termuda dan
sang juara bertahan yang sekaligus pemujanya. Di masa lalu Valentino telah
melakukannya terhadap Max Biaggi, Sete Gibernau, Casey Stoner, dan Lorenzo.
Kini, di saat Lorenzo terseok-seok menghadapi masalah dengan dirinya sendiri,
satu-satunya lawan terberat adalah Marc Marquez. Karena itu Rossi memberinya
kejutan di Argentina, dengan sebuah manuver keluar dari tikungan yang tidak
pernah disangka-sangka oleh Marc Marquez.
’’Wkwkwkwkwk.... modal
sradak-sruduk pengen menang? Lo kira preman yg bikin pembalap lain ketakutan
dan mundur meski lebih kenceng? Dasar Markceleng. Nyungsep dah lo.”
Saya membaca komentar
itu di bawah berita tentang jatuhnya Marc Marquez. Itu tipikal pembaca
Indonesia yang suka memaki-maki dan sungguh memalukan jika kita bandingkan
dengan komentar-komentar dari pembaca berbahasa Inggris, misalnya. Tampaknya
pembaca kita memang suka memaki dan tidak menyadari bahwa yang mereka caki
maki adalah para juara.
Atau, jika tidak
memaki, mereka suka memberikan nasihat. Misalnya seperti ini, ’’Belajar sabar
ya, Marq. Dan jangan memaksakan.. Belajar.. Juga yang penting finish.. Jangan
sampai dnf..” Dnf adalah istilah di ajang balap motor untuk pembalap yang
gagal menyelesaikan balapan..
Tapi kegemaran memaki
atau menasihai itu adalah masalah mereka sendiri, bukan masalah para
pembalap. Para pembalap MotoGP sudah memberikan hal terbaik yang mereka
miliki. Dan musim balapan tahun ini betul-betul menakjubkan.
Valentino bangkit lagi
untuk kali kedua. ’’Kebangkitan yang kedua, sesuatu yang bahkan Yesus pun
tidak melakukannya,” kelakar Mat Oxley, kolumnis dan bekas pembalap, di
kolomnya setelah kemenangan Valentino di Argentina.
Saya senang sekali
dengan MotoGP musim ini. Valentino memberi kegembiraan pada saat kita, di
negeri sendiri, sulit menemukan apa yang bisa membikin kita gembira. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar