Sutan
Takdir dan Politik Kita
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KORAN TEMPO, 27 April 2015
Mengapa di era
keterbukaan politik dan demokrasi ini, kita masih sering menemukan
masalah-masalah kekuasaan yang hakikatnya sama dengan masa lalu? Pertanyaan
ini penting dihadirkan, menyongsong Seminar Nasional tentang Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
dan relevansinya untuk zaman kita, akhir April ini.
Dalam salah satu magnum opus-nya, Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture:
Essay of a New Anthropology (1966, 1974), STA memberangkatkan analisis
kebudayaannya dari perspektif nilai. Bagi STA, kebudayaan merupakan
penjelmaan dari nilai-nilai. Merujuk klasifikasi nilai E. Spranger, STA
mengemukakan enam nilai pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu nilai teori,
ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas. Masing-masing terkait dengan
konteks identitas, utilitas atau kegunaan, kekudusan, ekspresivitas, politik,
dan kegotongroyongan. Nilai-nilai itu mempunyai logika, tujuan, norma-norma,
dan kenyataan masing-masing.
Nilai dominan yang
berfungsi menyusun organisasi masyarakat adalah nilai kuasa dan nilai
solidaritas. Nilai kuasa mengintegrasikan kelompok dengan kekuasaan dan
aturan untuk menjalankan kekuasaan itu. Tapi nilai kuasa bukan segalanya,
karena ada nilai solidaritas di sisi lainnya. Solidaritas mengekspresikan
kesetaraan, persahabatan, dan kegotongroyongan. Maka praktek kekuasaan yang
cenderung otoriter diimbangi kontrol nilai solidaritas, sehingga mencerminkan
checks and balances.
Perspektif ini
mengingatkan, dalam membangun peradaban bermutu, nilai kuasa saja tak cukup,
kecuali diimbangi nilai-nilai lainnya. Harmoni nilai-nilai itulah yang
penting. Melalui keseimbangan nilai-nilai itulah, sesungguhnya STA tengah
menunjukkan suatu pola demokratis.
Bagaimana semua itu
kita refleksikan dengan perkembangan sosial-politik kita sekarang? Sejarah
politik Indonesia sejak Reformasi sesungguhnya masih didominasi oleh corak
hubungan neo-patrimonialistik. Patrimonial, merujuk pada Max Weber,
menjelaskan sistem feodal yang meniscayakan sekelompok ningrat yang
memposisikan diri lebih tinggi ketimbang yang lain. Pola hubungan mereka
klientalistik.
Kaufman (1974)
mencatat pola klientalistik ditandai pemahaman bahwa otoritas kekuasaan dan
nilai-nilai kuasa bersifat personal. Karena itu, kekuasaan pada prakteknya
terpusat pada monopoli personal. Ini berbeda dengan pola demokratis yang
bersifat kelembagaan, menggantungkan pada mekanisme rule of law, programatik,
deliberatif, partisipatif, dan transparan. Dalam perspektif Acemoglu dan
Robinson (2012), pola klientalistik dan neo-patrimonialistik itu sekadar
mempertegas bangunan kelembagaan yang ekstraktif (terpusat dan otoriter),
bukan inklusif (demokratis).
Ekspresi-ekspresi
hubungan neo-patrimonialistik itu yang paling terang sering kali tercermin
dalam partai-partai politik yang abai terhadap mekanisme demokrasi internal.
Dinamika oligarki partai pada prakteknya sekadar meneguhnya "orang
kuat" sebagai patron utama, sehingga lantas partai mengalami
personalisasi, bukan penguatan institusi. Di sisi lain, pola koalisi politik
pun mengarah pada pola kartelisasi, di mana antar-aktor bekerja sama layaknya
kerja sama bisnis. Deinstitusionalisasi, bahkan deideologisasi dan
kartelisasi, itulah yang menonjol dewasa ini. Hal-hal inilah yang mengemuka
pula pada karya Marcus Mietzner, Money,
Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia
(2013).
Merujuk pada Winters
(2011), dinamika oligarki politik kita mungkin sudah melawati corak oligarki
sultanistik yang ditandai oleh ekspresi-ekspresi sentralitas dan monopoli
kekuasaan personal yang kuat di ranah negara, kecuali di ranah partai-partai
politik. Di negara-negara Asia, masih banyak ditemukan fenomena demokrasi
"orang kuat" di level partai.
Persoalan politik dan
demokrasi tentu bukan tanggung jawab masyarakat politik (political society) semata-mata. Konsolidasi demokrasi, meminjam
Linz dan Stepan (1996), melibatkan arena utama lainnya, selain masyarakat
politik, yakni masyarakat sipil (civil
society), supremasi hukum (rule of
law), aparatus negara (state
apparatus), dan masyarakat ekonomi (economic
society). Mereka tidak boleh semata-mata memperkuat nilai kuasa dan
ekonomi saja. Sebab, kalau itu yang terjadi, tentu merupakan masalah besar.
Selain demokrasi tak kunjung dewasa, ia berpotensi mendorong penguatan
kelembagaan ekstraktif dalam skala luas dan memicu apa yang disinyalir
Acemoglu dan Robinson sebagai "negara gagal" (failure state).
Dalam konteks inilah,
melalui perspektif nilai STA, kita bisa belajar pentingnya menyeimbangkan
nilai-nilai di atas, tak sekadar nilai kuasa dan ekonomi. Kita semua
bertanggung jawab atas masa depan demokrasi dan keberlangsungan bangsa
melalui ikhtiar-ikhtiar kebudayaan yang bersendikan nilai-nilai tersebut,
melalui contoh dan perbuatan nyata. Kita dituntut untuk itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar