Hukum
yang Berkeadilan
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN SINDO, 28 April 2015
Keadilan masyarakat terusik dengan
putusan Pengadilan Negeri Situbondo yang menyatakan bersalah Nenek Asyani,
63, atas dakwaan pencurian kayu. Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun
penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa
percobaan 15 bulan. Walau hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan,
tetap saja putusan ini mengundang kritik. Kasus ini menambah daftar putusan
yang menguatkan opini masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia ”tajam ke
atas, tumpul ke bawah” serta telah kehilangan ruh keadilan.
Bagi sebagian ahli hukum, apalagi
yang berpandangan positivistik, putusan itu dinilai sebagai produk peradilan
yang harus diterima karena dihasilkan oleh institusi yang memiliki
kewenangan. Ketentuan undangundang memang harus ditegakkan oleh hakim
sehingga siapa pun yang memenuhi unsur pidana harus diputus bersalah. Persoalan
keadilan bersifat subjektif sehingga tidak dapat dijadikan ukuran. Apalagi
dalam kasus Nenek Asyani, hakim telah memutus dengan hukuman percobaan yang
menunjukkan rasa keadilan.
Hukum
yang Berkeadilan
Tema hubungan antara hukum dan
keadilan sudah sejak lama menjadi pembahasan mulai dari kajian yang bersifat
filosofis hingga praktis. Tema ini pula yang melahirkan berbagai aliran
pemikiran hukum yang berbeda-beda. Sesungguhnya tidak ada satu aliran pun
yang menolak bahwa hukum tak terpisahkan dengan keadilan. Perbedaannya hanya
kapan dan apa ukuran keadilan.
Pandangan positivistik tidak
menolak bahwa hukum salah satu instrumen sosial. Dengan sendirinya diakui
bahwa hukum adalah alat atau media untuk mencapai dan mewujudkan sesuatu.
Yang hendak dicapai adalah keadilan sebagai dasar untuk mewujudkan ketertiban
sosial berdasarkan nilainilai tertentu yang hidup dalam masyarakat itu
sendiri.
Keadilan menjadi dasar ketertiban
sosial karena di dalam keadilan terdapat perlindungan terhadap kepentingan
individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum positivis berpandangan bahwa
persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika hukum dalam arti peraturan
perundang-undangan atau putusan hakim telah selesai dibuat. Keadilan bukan
bagian dari persoalan hukum, melainkan persoalan pembuatan hukum.
Seorang juris, termasuk aparat
hukum, harus percaya bahwa hukum yang ada telah dibuat dengan niatan baik
untuk menegakkan keadilan. Hukum adalah bentuk objektif dari keadilan yang
semula bersifat subjektif. Karena itu, hukum positif sudah pasti adil. Dengan
menegakkan hukum positif berarti menegakkan keadilan yang objektif. Keadilan
di luar hukum positif dan putusan pengadilan adalah keadilan subjektif yang
bertentangan dengan karakter keilmuan hukum.
Keadilan
Masyarakat
Di mana ada masyarakat di situ ada
hukum ”ubi societas ibi ius”.
Pernyataan ini tidak hanya bermakna bahwa keberadaan hukum bersamaan dengan
keberadaan masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa hukum ada sebagai
instrumen untuk membentuk kehidupan bermasyarakat.
Karena itu, orientasi dari hukum
adalah masyarakat itu sendiri. Keadilan yang hendak dicapai dan diwujudkan
adalah keadilan masyarakat. Karena hukum adalah instrumen sosial, hukum tidak
dibuat untuk hukum itu sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa penegakan
hukum tidak semata-mata ditujukan agar aturan hukum terlaksana. Dalil ini
telah dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai salah satu karakter hukum
progresif.
Pernyataan ini juga berarti bahwa
hukum tidak dibuat untuk para yuris dan aparat penegak hukum, melainkan untuk
manusia dan masyarakat. Karena itu, yang semestinya menjadi ukuran keadilan
dalam penegakan hukum juga bukan aturan hukum tertulis dan pendapat
ahlihukum, melainkan kesesuaiannya dengan nilai kemanusiaan dan pendapat umum
masyarakat.
Pandangan bahwa keadilan yang
objektif ada di dalam aturan hukum tertulis mengandung tiga kelemahan
mendasar. Pertama, pembentukan aturan hukum tertulis tidak selalu berada pada
ruang dan waktu ideal yang memungkinkan keadilan menjadi pertimbangan utama dalam
perumusan norma.
Apalagi jika hukum dipahami
sebagai produk politik, artinya produk dari kontestasi berbagai kepentingan
masyarakat di mana kelompok yang memiliki kekuatan lebih memiliki potensi
yang lebih besar untuk memengaruhi hukum demi melindungi kepentingannya.
Kedua, aturan hukum tertulis memiliki keterbatasan dalam menjangkau berbagai
variasi kasus.
Keterbatasan ini lahir karena
keterbatasan pembentuk hukum dalam memperkirakan peristiwa-peristiwa yang
akan diatur dengan hukum yang dibuat. Keterbatasan juga melekat pada aturan
hukum tertulis karena keharusan rumusannya yang umum dan abstrak. Substansi
keadilan yang dipercaya bersifat objektif dalam aturan hukum tertulis belum
tentu relevan dengan perkembangan peristiwa yang sebelumnya tidak terpikirkan
oleh pembentuk hukum.
Ketiga, keadilan bukanlah sesuatu
yang bersifat statis. Pemikiran, apalagi ”rasa” keadilan, juga mengalami
perkembangan dan bahkan pergeseran seiring perkembangan nilai dan
perikehidupan masyarakat. Ini sesungguhnya juga diakui oleh kaum positivis
dengan menyatakan bahwa keadilan bersifat subjektif.
Subjektivitas dalam hal ini tidak
berarti berbedabeda antara satu manusia dan manusia yang lain, melainkan
berkembang sesuai zamannya. Keadilan objektif masyarakat tetap ada sama
halnya dengan adanya nilai bersama (common value) yang dapat ditangkap oleh
nurani dan akal pikiran manusia. Dalam penegakan hukum, ketiga kelemahan
tersebut mengakibatkan hukum berjarak dengan masyarakatnya.
Objektivitas keadilan hukum bisa
jadi berseberangan dengan objektivitas keadilan masyarakat. Karena itu, dalam
penegakannya hukum harus dinilai dengan keadilan masyarakat. Ini tidak
berarti keberadaan aturan hukum tertulis tidak diperlukan lagi. Hukum
tertulis tetap diperlukan sebagai pedoman perilaku masyarakat dan pedoman
para penegak hukum.
Namun, hukum tertulis tidak boleh
dimutlakkan bahkan ketika berseberangan dengan keadilan masyarakat. Pada saat
hukum ditegakkan dengan menabrak keadilan masyarakat, saat itu hukum telah
kehilangan hakikatnya sebagai instrumen keberadaan masyarakat. Hukum justru
merusak keadilan dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar