Menyambut
Poros Maritim, Membuka Gerbang Pasifik
Hendrik Kawilarang Luntungan ; Wakil
Sekjen DPP Partai Persatuan Indonesia;
Alumnus The Australian National University
|
KORAN SINDO, 23 April 2015
Dalam
pidatonya di hadapan kepala-kepala negara Asia-Afrika dalam acara pembukaan
Konferensi Asia-Afrika Presiden Jokowi menyerukan solidaritas baru
Asia-Afrika di bidang ekonomi. Salah satu sektor kerja sama yang menjadi
fokus Presiden Jokowi adalah memosisikan Indonesia sebagai negara maritim,
poros yang menjamin konektivitas benua Asia dan Afrika. Sejak masa kampanye,
Jokowi berkali-kali mengulang kata ”poros
maritim dunia”. Tentu konsep itu bukan datang begitu saja. Ini dilatari
oleh apa yang disebutnya ”telah lama
kita memunggungi laut.”
Itu
telah lama ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya berjudul Arus Balik. ”Ketika penguasa mengabaikan kekuatan di laut maka nasib Jawa dan
Nusantara sudah dapat ditentukan ambruk entah sampai berapa keturunan,”
demikian tulis Pram.
Core National Interest
Sudah
banyak kajian bahkan kebijakan maritim yang mendahului konsep Presiden Jokowi
serta tak kalah banyak konsep maritim yang lahir setelah itu. Namun, sejak
era Soekarno sampai hari ini tidak ada yang benar-benar bisa mengembalikan
kejayaan laut Nusantara.
Seiring
jatuhnya Selat Malaka, ditutup pula sejarah emas kerajaan maritim Nusantara.
Sultan Hamengkubuwono X menuliskan: ”Arus
utara memukul kita mundur sangat jauh, bahkan sampai ke desa dan pedalaman
diri dan nurani kita.” Masa yang oleh Anthony Reid disebut sebagai ”The Age of Commerce” di Asia Tenggara
itulah yang selalu menjadi penyemangat bangsa ini untuk kembali menjadi poros
maritim dunia.
Namun,
proposal Presiden Jokowi dalam Konferensi Asia-Afrika tentang poros maritim
Asia-Afrika tampaknya tidak dengan mudah terwujud. Negara-negara Asia dan
Afrika tidak lagi sama dengan 60 tahun lalu. Apalagi sebagian dari mereka
adalah negara-negara yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi terbaik.
China,
India, dan Afrika Selatan adalah contohnya. Di tengah nilai tukar rupiah yang
semakin melemah terhadap dolar Amerika, rasanya pidato Presiden Jokowi lebih
terdengar seperti tindakan penyelamatan ketimbang ajakan solidaritas yang
optimistis.
Intinya,
Jokowi harus membenahi beberapa pekerjaan rumah, termasuk di dalamnya
menjadikan ambisi Poros Maritim sebagai core
national interest Indonesia. Dari sana perencanaan ekonomi, politik,
sosial, dan budaya dibangun. Karena ”memunggungi laut” hari ini, bukan lagi
soal visi pemerintahan, melainkan juga secara mental, kita sudah lama
meninggalkan laut.
Prasyarat Poros Maritim
Pekerjaan
rumah Jokowi sangat besar dan mahal. Meski secara geografis Indonesia sangat
memenuhi syarat untuk menjadi poros maritim, Indonesia belum memiliki armada
laut yang besar. Ini yang disebut Wiranggaleng, tokoh dalam Arus Balik,
sebagai ”makin lama kapal kita akan semakin kecil, untuk kemudian tidak
mempunyai sama sekali.”
Seiring
dengan bangkitnya ekonomi Asia dan Afrika, Selat Malaka akan semakin padat. Sekarang
saja ada sekitar 60.000 kapal melintasi Selat Malaka atau dua kali lipat dari
Terusan Suez. Namun, sangat disayangkan, kapal-kapal yang melintas itu
singgah di Singapura dan Tanjung Pelepas yang baru dibangun oleh Malaysia.
Yang
lebih miris, dari jumlah kapal yang melintas dan beroperasi di perairan
Indonesia, sebanyak 90% milik asing. Prasyarat kedua tentu adalah membangun
kembali pelabuhan-pelabuhan dengan standar internasional. Yang paling pertama
harus dilakukan adalah menetapkan prioritas pembangunan pelabuhan di titik
strategis secara geografis dan ekonomi politik.
Baru
kemudian diperkuat dengan manajemen pelabuhan yang baik, tenaga kerja ahli
dan akhirnya adalah dukungan teknologi maritim dan pelabuhan yang baik.
Ketika jumlah kapal sudah ada, pelabuhan telah dibangun, pada saat bersamaan,
membangun kebudayaan maritim.
Hilmar
Farid dalam pidato kebudayaannya berjudul ”Arus Balik Kebudayaan” menjelaskan
”ini sejatinya ini adalah masalah
kebudayaan, bukan mengembalikan kebudayaan yang hilang, tapi bagaimana
menghidupkan kembali kemampuan, sistem pengetahuan, cara pandang dan cara
hidup”.
Membuka Gerbang Pasifik
Salah
satu hal penting dalam menyambut proposal Jokowi adalah bagaimana Selat
Malaka yang semakin padat bisa memberi keuntungan bagi Indonesia. Jokowi dan
timnya memiliki tugas besar agar kepadatan Selat Malaka terasa sampai ke
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Salah
satu yang membuat ekonomi kita bertumpu di barat adalah kepadatan lalu lintas
laut di Selat Malaka. Barang-barang datang langsung ke Pelabuhan Singapura
dengan mother vessel lalu dibawa oleh feeder vessel ke Tanjung Priok. Baru
setelah itulah didistribusikan ke bagian negeri yang lain.
Dengan
kondisi itu, wajar saja ketimpangan barat dan timur semakin jauh. Bangsa ini
harus bisa memindahkan kepadatan tersebut kebagian timur negeri ini. Salah
satu yang harus didukung adalah dibuka hub internasional di wilayah timur
negeri ini. Dari beberapa opsi yang ada, Bitung diyakini sebagai titik
strategis pembangunan pelabuhan internasional.
Selain
memenuhi syarat sebagai pelabuhan alam internasional, juga karena Bitung
terletak persis di bibir Samudera Pasifik. Ketika gerbang Pasifik kita buka,
Timur bisa mengejar ketertinggalan saudara sebangsa di Barat. Maka itu,
kedaulatan teritori dan kedaulatan budaya sebagai poros maritim dunia bisa
diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar