Pengajaran
Sejarah
Siswono Yudo Husodo ; Ketua
Yayasan Pendidikan dan Pembina
Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 23 April 2015
John
W Gardner dalam bukunya Can We Be Equal
and Excellent Too menyatakan ”Tidak
ada negara bangsa yang dapat menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan
kalau sesuatu yang diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa
kemajuan peradabannya”.
Sekolah
adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas sekolah bukan
hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik, meningkatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan membentuk kepribadian
siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika Serikat, kalau ada fenomena negatif
merebak di masyarakat, pertanyaan diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.
Beberapa
waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk bergabung dengan
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas, 25-27 Maret
2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan keresahan masyarakat,
antara lain, tiga dari empat responden mengkhawatirkan pengaruh radikalisme
terhadap keluarga mereka. Sembilan dari 10 responden menilai paham NIIS tidak
sesuai kepribadian bangsa Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa
agama dipandang publik mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk. Guna mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia,
17,2 persen responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa
secara lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai
kepribadian bangsa diperlukan.
Mengincar kaum muda
Mereka
yang bergabung dengan NIIS adalah kalangan muda. Di samping itu, politisi
koruptor juga tak sedikit dari generasi muda. Ada muatan yang tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa melenggangmasuk buku sekolah. Buku Kurikulum 2013
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk kelas X dan XI
terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditarik Mendikbud Anies
Baswedan dari peredaran karena memuat ajaran radikal. Di buku kelas Xdimuat
narasi mengenai konflik Rohingya di Myanmar dengan sudut pandang menyerang
umat agama tertentu. Di buku kelas XI, ada kalimat bahwa orang tertentu boleh
dibunuh. Berbeda sekali dengan pelajaran agama di masa saya sekolah dulu yang
menekankan kedamaian dan moral individu. Sebaiknya semua buku pelajaran
sekolah yang terkait pendidikan kepribadian dan karakter siswa yang tengah
beredar di Tanah Air diperiksa ulang.
Liberalisasi
pendidikan, berupa beroperasinya sekolah internasional/asing yang menerima
warga Indonesia sebagai siswa dengan kurikulum internasional, menjadikan
kesempatan membangun kepribadian sebagai orang Indonesia menjadi terbatas.
Berbagai dinamika dari given condition
Indonesia sebagai bangsa majemuk, negara yang kaya sumber daya alam, tetapi
sumber daya manusianya tertinggal yang selalu mendapat tarikan-tarikan
kepentingan global, sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang besar dan
beragam, perlu dihadapi dengan kepribadian yang kuat dari setiap individu
warga bangsa, agar tidak ada lagi bentrokan berlatar suku, agama, dan ras,
berkembangnya etnosentrisme dan primordialisme sempit serta meningkatnya
fanatisme golongan yang memerosotkan sikap pluralisme yang inklusif dan toleransi
serta agar meningkat kemampuan masyarakat menyelesaikan berbagai friksi yang
ada secara santun.
Seperti
John W Gardner dan para pemimpin kita terdahulu, saya pun meyakini diperlukan
cara yang efektif untuk membangun integritas dan kepribadian bangsa. Pada
Orde Lama diupayakan melalui indoktrinasi dengan materi Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi (Tubapi) yang meliputi Pancasila, UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Manifesto Politik, dan
Kebudayaan Indonesia.Pendekatan ini tidak efektif mewarnai perikehidupan
rakyat sehari-hari karena sifatnya yang indoktrinatif. Di era Orde Baru
melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Juga kurang
efektif membentuk kepribadian bangsa karena menjadi syarat kenaikan
pangkat/jabatan dan akhirnya menjadi hafalan dengan 36 butir pengamalan
Pancasila.
Amerika
Serikat mengandalkan pengajaran sejarah di sekolah sampai perguruan tinggi
untuk menyosialisasikan nilai-nilai utama negara itu yang disebutkan dalam Declaration of Independence,
liberalisme, freedom of thought
(kebebasan berpikir), demokrasi, serta perjalanan sosial, politik, budaya,
ekonomi, hankam negara bangsanya. Ketokohan orang-orang besar, George
Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Franklin Delano Roosevelt, dan
Dwight D Eisenhower, disampaikan dalam pelajaran sejarah tentang sikap-sikap
luhurnya dan karya-karya besarnya yang menjadi legacy ketika memimpin bangsanya. Bahkan hal yang tampak
sederhana, disampaikan menjadi sesuatu yang ideologis, seperti pada tengah
malam 18 April 1778, Paul Revere menunggang kuda keliling pelosok New
England, mengabarkan bahwa pasukan Inggris mulai menyerang dan perang
kemerdekaan Amerika dimulai. Peristiwa itu dicatat di kesadaran rakyat
Amerika sebagai kemenangan pertama perang melawan kolonialisme dalam sejarah
dunia.
Inggris,
Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Tiongkok, dan Jepang, negara-negara yang
maju itu, juga menerapkan pola serupa melalui pelajaran sejarah di sekolah
untuk menanamkan nilai-nilai utama masyarakat mereka masing-masing, bahkan di
Jerman sejak taman kanak-kanak berupa dongeng sampai pendalaman di
pascasarjana. Penyajiannya tak menekankan siswa untuk menghafal peristiwa,
tanggal, dan tempat kejadian. Tetapi, substansi dan latar belakang terjadinya
suatu peristiwa dan penonjolan nilai-nilai luhurnya.
Uraian
sejarah itu juga membela tindakan politik dan menghargai tokoh-tokoh masa
lalu yang bagi orang di luar negara itu dianggap kontroversial. Perancis
menggambarkan Napoleon Bonaparte sebagai pahlawan pembangun semangat
kebangsaan Perancis, walaupun dicerca oleh bangsa-bangsa Eropa sebagai
ekspansionis. Bahkan Hitler yang dicaci maki dunia, walau diuraikan sisi
negatifnya yang sauvinisme, tetap dihargai dalam buku pelajaran sejarah siswa
sekolah dasar sampai pascasarjana Jerman sebagai Fuhrer yang paling banyak
membangun jalan raya di Jerman, dengan ucapannya ”ekonomi mengikuti jalan
raya”. Konrad Adenauer adalah Kanselir Jerman yang dikenang karena upayanya
yang luar biasa menghijaukan kota di seluruh Jerman dengan membangun hutan-hutan
kecil.
Pelajaran
sejarah itu mengandung dimensi pendidikan ideologi, politik, moral, dan
etika. Hal itu efektif, karena ideologi adalah endapan dari nilai-nilai utama
sejarah yang kemudian mengkristal mewujud menjadi jalan hidup suatu bangsa.
Pelajaran
sejarah memang amat efektif membentuk karakter suatu bangsa. Sejarah adalah
sumber sah mewujudnya ideologi suatu negara dan bangsa. Kita telah
memilikinya, yaitu sejarah panjang negara besar ini, melewati kurun waktu
sangat lama dengan peristiwa besar, kaya dengan tokoh yang memiliki kandungan
pelajaran akan teladan serta nilai-nilai luhur, yang akan memperkuat
kepribadian kita sebagai bangsa, guna membekali bangsa ini bertransformasi
menjadi negara bangsa yang besar, maju, modern yang tetap berciri Indonesia.
Selama ini, kita hanya kurang piawai mengekspos sejarah besar Indonesia untuk
bisa menginspirasi jalannya bangsa ini. Pelajaran sejarah memang tak boleh
kering dan dingin. Materinya harus menarik dan mengangkat nilai-nilai luhur
yang akan menjadi nilai-nilai utama kehidupan bangsa ini. Bangsa yang tak
mampu menghayati dan memetik pelajaran dari sejarah masa lalunya, akan
dihukum di perjalanan sejarah berikutnya dengan mengalami kembali kepahitan
masa lalunya.
Revitalisasi pendidikan
Pelajaran
sejarah untuk siswa-siswa kita lebih merupakan hafalan tanggal dan tahun
serta lokasi suatu peristiwa. Siswa SD hafal bahwa di abad ke-8 dan 9 dinasti
Syailendra dengan arsiteknya Gunadharma membangun Candi Borobudur. Tetapi,
tidak diberi tahu bahwa bangunan megah itu dibangun dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang amat maju untuk masanya serta relief-relief berisi
filsafat Buddha yang dikembangkan ke kondisi lokal,ketika Eropa masih
terbelakang. Siswa SMP hafal bahwa Fatahillah menyerbu Sunda Kelapatahun
1526; Sultan Hasanuddin menyerang benteng Belanda di Makassar tahun 1667, dan
Perang Diponegoro 1825-1830. Tetapi, tak ada ucapan atau inti pikiran mereka
yang bisa diingat para siswa,sementara siswa high school di AS hafal ucapan
John F Kennedy: ”Don’t ask what your
country can do for you, but ask what you can do for your country”, suatu
ungkapan yang membangunkan kesediaan pemuda-pemuda AS berkorban untuk
negaranya.
Siswa
SD tahu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sepatutnyalah mereka juga
tahu bahwa Indonesia adalah negara pertama di dunia yang merdeka setelah
berakhirnya Perang Dunia II dan 10 November 1945 di Surabaya adalah perang
mempertahankan kemerdekaan; dan kita menang menghadapi Belanda yang akan
kembali menjajah kita yang didukung oleh Sekutu yang baru saja memenangi
Perang Dunia II. Peristiwa itu telah memberi inspirasi pada perjuangan
kemerdekaan banyak negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, untuk membebaskan
dirinya dari penjajahan.
Siswa
SMA tahu Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, tetapi tidak mengaitkannya dengan
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bahwa tekad satu nusa adalah daratan dan
lautan di antara pulau-pulau kita. Banyak buku sejarah menyebut tahun
penumpasan pemberontakan PRRI, Permesta, RMS, G30S/PKI, DI/TII dan lain-lain yang
didukung oleh negara adidaya, tetapi tidak mengingatkan bagaimana kepentingan
asing selalu mengintai kita. Banyak orang ingat bahwa negara kita mengalami
periode Demokrasi Terpimpin dan periode Orde Baru, tetapi buku sejarah tak
meninjaunya sebagai suatu kontinuitas dalam mengembangkan konsepsi Negara
Kesatuan RI.
Siswa
SMA tahu bahwaKonferensi Asia Afrika diselenggarakan pada 19-24 April 1955.
Mereka juga perlu tahu tentang Dasasila Bandung yang semangatnya adalah
prinsip-prinsip dari konstitusi kita bahwa kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan; yang menggambarkan
konsisten dan persistennya Indonesia. KAA juga diselenggarakan ketika Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo memerintah kurang dari 2,5 tahun dengan
pemerintahan yang jatuh bangun rata-rata setiap 1,5 tahun akibat
intrik-intrik politik, namun Indonesia tetap menjadi pemimpin dunia baru
karena yang diintrik dan yang mengintrik sama-sama idealis untuk memajukan
negara, tetapi dengan konsep berbeda, bukan intrik untuk menguasai
sumber-sumber daya ekonomi.
Revitalisasi
pendidikan kepribadian bangsa melalui pendidikan politik kebangsaan yang
komprehensif perlu segera dilakukan melalui pelajaran sejarah di sekolah dari
SD sampai perguruan tinggi, termasuk untuk siswa warga Indonesia di sekolah
internasional. Sebaiknya, para ahli komunikasi dilibatkan dalam membuat buku
pelajaran sejarah, membantu para sejarawan menajamkan ulasan/mengekspos makna
yang lebih dalam dari suatu peristiwa sejarah, mengangkat bentuk-bentuk
kearifan, moral, integritas, way of
thinking, way of life, berbagai legacy
tokoh-tokoh yang ada dan nilai-nilai luhur kehidupan para tokoh sejarah
bangsa kita. Hal-hal itulah yang akan mewarnai kepribadian, cara berpikir,
dan ideologi kita sebagai suatu bangsa. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar