Jenjang
Karier Dosen
Elisabeth Rukmini ; Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 29 April 2015
Lebih dari dua tahun
lalu saya menulis "Rumitnya Jenjang Karier Dosen" (Kompas,
16/2/2013). Kali ini saya menulis demikian rumitnya jenjang karier dosen oleh
tambahan peraturan dari pemerintah.
Peraturan itu ironis
dengan fakta bahwa penyelenggara pendidikan tinggi terus mengeluhkan betapa
sulit merekrut dosen. Karier dosen bukan pilihan terbaik lulusan S-1 hingga
S-3 kita, apalagi jika mereka tahu jenjang karier dosen amat rumit.
Saya mengikuti
beberapa pertemuan terkait sumber daya dosen di tingkat nasional. Pertemuan
terakhir bersangkutan secara khusus dengan dosen Fakultas Kedokteran. Sungguh
sulit merekrut dokter jadi dosen, apalagi, setelah direkrut, lebih sulit lagi
membina dan mempertahankan dosen. Mengapa jenjang jabatan akademik dosen
perlu diperumit lagi? Tulisan Rhenald Kasali (Kompas, 15/9/2014) yang disanggah Erry Yulian Triblas Adesta (Kompas, 2/12/2014) menunjukkan
kegelisahan apa benar "harga dosen naik?".
Tulisan ini menyumbang
saran bagaimana mungkin menaikkan harga dosen jika penilaian atas kualitas
dosen demikian kaku dari pemerintah, yang mengatur jenjang karier dosen?
Apakah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) akan
memperebutkan dosen yang "hanya" asisten ahli? Berapakah
"harga dosen" lektor kepala, sementara karena kakunya peraturan,
lektor kepala saat ini harus doktor? Cukup berhargakah dosen muda yang belum
S-2/S-3 dan hanya menunjukkan potensi publikasi?
Segera pula teringat
isu tentang otonomi perguruan tinggi sebagaimana terus didengungkan Satryo
Soemantri Brodjonegoro (terakhir: Kompas,
9/3/2015), termasuk tulisan para pakar pendidikan tinggi yang pro otonomi
pendidikan tinggi dalam beragam aspek. Benarkah langkah pemerintah jadi
penentu hingga juklak perhitungan teknis dan aturan kaku menilai karier dosen
sehingga dosen di mana pun berada dengan sifat institusi sangat heterogen
dinilai dengan cara seragam? Demikian besarkah kekuatan aturan pemerintah
menentukan jenjang karier dosen secara sama rata?
Perhitungan teknis
Awal November 2014 ada
perubahan pada perhitungan teknis beban kredit untuk publikasi ilmiah
internasional dengan perhitungan kredit demikian kaku. Sebelumnya, publikasi
internasional dapat memiliki poin maksimal 40, kini dibuat tiga kategori:
maksimal 40 poin, maksimal 30 poin, dan maksimal 20 poin. Kelas pertama untuk
artikel yang terbit dalam jurnal ilmiah internasional dengan impact factor dan terindeks Scopus
atau ISI; kelas kedua untuk yang tak memiliki impact factor, tetapi terindeks
di Scopus atau ISI; kelas ketiga untuk yang terindeks "hanya" di Directory of Open Access Journal
(DOAJ), Google Scholar, dan Copernicus.
Dalam kerumitan ini
terkandung sedikitnya empat kekurangpahaman. Benarkah dosen kita mayoritas
telah mampu atau dimampukan meneliti dan publikasi? Cukup dipahamikah makna
terindeks oleh lembaga berbayar indeks? Dengan begitu rumitnya jenjang karier
ini, bagaimana dunia pendidikan tinggi melakukan rekrutmen (naikkah harga
dosen?)? Jika remunerasi bagi dosen masih dipandang tak menarik, apalagi
dengan kerumitan jenjang karier, apakah yang dapat dijanjikan dunia
pendidikan tinggi merekrut dosen baru (apalagi calon dosen berkualitas)?
Bahwa harga dosen naik
dan jadi rebutan tentu akan benar bagi dosen berkualitas dan memenuhi tri
dharma dengan mumpuni. Berapa persen yang demikian? Sementara, lembaga yang
membesarkan dosen itu hingga mumpuni dapat ditinggalkan dan sah saja dalam
dunia profesional. Pertanyaannya, bagaimana PT baru, PTS, PTN relatif
berukuran sedang dan kecil dapat bersaing atau dapat mempertahankan para
dosennya?
Tulisan ini hanya
membahas masalah pertama. Perlu diakui, dosen di negeri ini amat heterogen.
Ribuan alasan jadi dosen. Heterogenitas bukan saja personal, juga
institusional. Jenjang PT terbagi secara institusional berdasarkan
kepemilikan (PTN dan PTS) serta jenjang studi yang ditawarkan (D-1 hingga
S-3). Heterogenitas termasuk juga penghargaan atas tersebarnya PTN dan PTS
dari Sabang hingga Merauke. Lokasi menentukan warna karier dosen.
Keheterogenan juga
berimbas pada karya ilmiah yang paling mungkin dihasilkan dosen pada keadaan
tertentu. Jumlah publikasi berbanding positif dengan ragam prodi dan
jenjangnya. Riset mengenai ini sudah banyak dilakukan para ahli manajemen
pendidikan tinggi di dunia. Dapat ditengarai, PT berprodi S-2 dan S-3, para
dosennya "diuntungkan" dengan ketersediaan sumber daya yang dapat
bekerja sama untuk penelitian dan penulisan ilmiah demi kepentingan mutualisme
akademik.
PT dengan prodi S-1
tentu masih dapat bekerja sama dengan produk penulisan ilmiah yang dapat saja
terserap sebagai tulisan di jurnal internasional, tetapi dengan kemungkinan
lebih kecil dibandingkan PT jenis pertama. Bagaimana dengan PT yang jenjang
prodinya D-1 hingga D-3? Bagaimana dengan PT yang terletak di kepulauan
dengan akses terbatas untuk publikasi ilmiah?
Sulit diseragamkan
Jelaslah, jenjang
karier dosen atas nama heterogenitas amat sulit diseragamkan. Idiom
"sejarah ditulis pemenang" agaknya menemukan pembenarannya pada
aturan seragam jenjang karier dosen ini. Pemenangnya adalah institusi dengan
umur cukup senior, memiliki sumber dana cukup untuk mayoritas dosennya
melakukan penelitian dan publikasi, memiliki jenjang prodi sedikitnya S-1 dan
terutama S-2 dan S-3, memiliki berbagai fakultas: ilmu sosial, IPA, terapan,
serta studi komprehensif, memiliki pusat studi, jejaring nasional dan
internasional.
Tak terlalu sulit
memahami kebalikan dari semua sifat itu adalah ketakberdayaan dosen berkarier
lebih cepat dan berkualitas, apalagi dengan peraturan sedemikian kaku dari
pemerintah. Imbasnya, institusi yang tak memiliki sifat itu, atau mayoritas
dari sifat tersebut, ditengarai tersendat. Apa yang harus dilakukan? Tentu
telah ada upaya pemerintah mengangkat PT yang butuh asuhan. Bimbingan
disediakan dalam rupa pertukaran dosen atau pakar dari PT lebih maju ke PT
perlu bimbingan. Rekrutmen dosen PTN di beberapa tempat juga diberikan kuota
lebih daripada di tempat yang sudah maju. Kopertis disediakan untuk membina
PTS.
Langkah itu perlu
dihargai. Meski demikian, jika aturan dibuat sangat kaku dan seragam
(termasuk untuk pihak tak berdaya), memberdayakan yang kurang berdaya saja
tak cukup. Asuhan perlu diberikan dalam kerangka kebijakan. Bantuan adalah
kebijakan yang berbeda pada tenggat tertentu. Namun, jika hal ini dibuat,
betapa banyak peraturan harus dimunculkan pemerintah karena heterogenitas
tadi. Alternatif solusinya: beri ruang-waktu bagi PT yang perlu dibina dengan
peraturan yang dibuat PT itu dengan pendampingan pemerintah.
Alternatif lain,
pemerintah menghapus kekakuan peraturan baru itu. Sebagai imbal bagi prestasi
dosen yang bisa melebihi aturan, beri penghargaan untuk dosen dan institusi
yang memenuhi kriteria terbaik. Dengan alternatif ini, pemerintah dapat
memfokuskan peraturan yang membela banyak khalayak civitas academica
Indonesia (yang heterogen), sekaligus memfokuskan usaha memberdayakan
institusi dan dosen yang perlu pembinaan. Tentu tak luput memberi pacuan kepada
institusi dan dosen yang sudah terbina, sudah maju, untuk lebih maju. Peran
ini lebih sederhana. Jelas lebih memberikan otonomi ke penyelenggara PT,
tetapi juga memberi kesempatan pemerintah menjalankan fungsi monev.
Dalam pertemuan rapat
koordinasi PTS, Direktur Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti
Hermawan Kresno Dipojono mengandaikan tekad untuk orientasi pada riset 2045
dapat tercapai jika tahun ini tekad itu jadi histeria massa ristek, terutama
para pihak terkait civitas academica pendidikan tinggi. Sudah saatnya
pemerintah ambil peran lebih bijak, bukan pada produk kaku yang menghambat
kemajuan pihak tak berdaya. Pemerintah adalah pembela dan pemberdaya bangsa
Indonesia, termasuk civitas academica perguruan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar