Apakah
Penulis Kita Kalah Bermutu?
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak
nasional di Indonesia
|
JAWA POS, 20 April 2015
BEBERAPA pembaca menanyakan perihal Shakespeare setelah tulisan
saya yang terakhir menyebut-nyebut pujangga Inggris itu. Salah satu terasa
seperti menggugat, perlukah kita mempelajari pujangga dari negara lain dan
kenapa kita tidak mempelajari pujangga kita sendiri. ”Apakah Anda menganggap
penulis asing jauh lebih baik dibandingkan penulis kita sendiri?” tanya dia.
Saya menjawab cukup panjang, tetapi intinya seperti ini. ”Ya,
apa boleh buat. Tidak semua penulis asing lebih bagus. Tetapi, sejumlah nama
besar yang kita kenal, baik para pemenang Nobel Sastra maupun nama-nama lain
yang tidak memenangi Nobel Sastra, jelas lebih bagus ketimbang para penulis
yang kita miliki.”
Membandingkan mutu karya para penulis tentu saja tidak sama
dengan membandingkan kekuatan para petinju di ring adu jotos. Berbeda juga
dengan membandingkan mana yang lebih enak, tempe atau hamburger. Ketika
menyebut-nyebut Shakespeare dalam tulisan yang lalu, saya hanya ingin
menyampaikan bahwa kita sesungguhnya belajar dari siapa saja, dari penulis
mana saja, agar kita memiliki seluruh kecakapan yang kita perlukan untuk
menyampaikan masalah-masalah kita sendiri.
Pujangga Inggris itu cakap dalam mengolah emosi-emosi manusia.
Dia juga mampu mengangkat dialog antarmanusia ke level yang lebih tinggi,
seperti pertemuan antar pemikiran, ketimbang obrolan pergunjingan
sehari-hari. Dialog dalam karya sastra, Anda tahu, bukanlah tiruan belaka
dari percakapan sehari-hari. Jika Anda menganggap dialog yang baik adalah
yang seperti kenyataan, silakan Anda merekam obrolan sehari-hari tetangga
Anda dan ubahlah rekaman itu dalam bentuk tertulis, apa adanya, dan Anda akan
mendapati bentuk percakapan yang membosankan untuk dibaca.
Satu orang menganggap saya terlalu mengagungkan karya penulis
asing dan memandang rendah karya penulis kita sendiri. Saya tidak ingin membantah
hal itu. Bagi saya, karya sastra tidak mengenal batas-batas geografi. Sebagai
pembaca, urusan saya adalah memilih buku-buku bacaan yang bagus. Saya akan
lebih memilih buku karya penulis dari Somalia atau Timbuktu, misalnya, jika
ia memang bagus dan ada terjemahannya dalam bahasa yang bisa saya cerna
ketimbang membaca karya tetangga sendiri, anak bangsa dari Desa Tambaklorok,
yang sama sekali tidak bagus.
Karena itu, saya akan sangat senang jika di toko-toko buku
tersedia karya para penulis bagus, dari mana pun asalnya, dan dalam
terjemahan yang baik mutunya. Buku-buku terjemahan yang baik mutunya akan
membuat kita lebih mudah mengakses karya-karya dari mana saja. Sebab, Anda
tahu, jauh lebih banyak di antara kita yang tidak bisa membaca buku-buku berbahasa
asing. Mereka berhak juga mendapatkan bacaan-bacaan yang bagus agar tidak
kalah terlalu jauh jika dibandingkan dengan orang-orang yang mampu membaca
buku-buku berbahasa asing.
Namun, masih ada masalah lain seandainya buku-buku bagus itu ada
di rak toko buku. Kebanyakan dari kita tidak suka membaca dan saya tidak
yakin sistem pendidikan kita akan bisa mengajarkan kesastraan secara lebih
baik. Sekolah kita bahkan gagal melahirkan siswa-siswa yang gemar membaca
buku. Itu masalah serius pendidikan kita. Dengan sistem pendidikan yang tidak
mampu melahirkan orang-orang yang gemar membaca, perkembangan ilmu
pengetahuan akan tersendat-sendat. Bagaimanapun, para pemikir menyampaikan
pengetahuan mereka melalui buku-buku yang mereka tulis dan kita menyerap pengetahuan
dari mereka melalui tindakan membaca. Rata-rata dari kita tidak cakap dalam
dua hal itu: menulis dan membaca.
Dalam sistem pendidikan yang mengajarkan kecakapan berbahasa
secara bagus, para siswa mungkin sudah diperkenalkan dengan nama-nama besar
sejak kanak-kanak. Karya-karya Shakespeare, Cervantes, dan berbagai karya
klasik sudah diperkenalkan kepada siswa-siswa SD melalui saduran untuk
pembaca pemula. Beberapa dari kita baru akan mengenal nama-nama itu
bertahun-tahun nanti atas upaya sendiri karena merasa harus belajar dari
berbagai sumber. Dan itu berarti kita sudah kalah start bertahun-tahun jika
dibandingkan dengan mereka.
Bila dibandingkan dengan anak-anak di sana, kemampuan berbahasa
kita lebih rendah dan itu tampaknya tidak dianggap sebagai hal yang
merisaukan. Padahal, transfer pengetahuan akan berlangsung beres ketika orang
memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Pemikiran disampaikan melalui bahasa
dan sebaliknya, dengan kemampuan berbahasa yang baik, orang akan mampu
mencerna pemikiran.
Secara tidak langsung, dengan mempertahankan sistem pendidikan
yang seperti sekarang, sekolah kita hanya mampu melahirkan orang-orang yang
senang menonton televisi, senang bergunjing, atau menyukai dunia yang
ingar-bingar. Tetangga atau teman kita mengajak bergunjing, menyampaikan
prasangkanya tentang orang lain dan kita sepakat dengan apa-apa yang dia
katakan, serta kita mengisi pikiran dengan sosok orang yang kita benci
menurut gambaran yang disampaikan oleh orang lain. Televisi menawarkan kepada
kita acara-acara yang membuat kita terharu oleh hal-hal yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kehidupan sehari-hari kita. Emosi kita diaduk-aduk
oleh acara pemilihan idola cilik. Kita menghabiskan waktu di depan televisi
untuk menyaksikan berita-berita kejahatan di sekitar kita. Ia memberi tahu
kita satu hal: Dunia ini tidak aman.
Padahal, dunia ini baik-baik saja dan kehidupan berjalan
baik-baik saja. Orang-orang jahat ada di setiap masa. Orang-orang baik juga
ada di setiap masa. Yang Anda anggap sebagai kenyataan sesungguhnya adalah
proyeksi dari pandangan dunia Anda. Jika Anda menganggap diri Anda adalah
orang yang sial, begitulah Anda. Jika Anda menganggap diri Anda orang yang
beruntung, begitu pulalah Anda. Itu yang disampaikan Emile Coue, pelopor
teknik sugesti diri, yang menyampaikan kepada kita bahwa masalah terbesar
kita adalah pemikiran kita tentang diri sendiri.
Kesukaan terhadap keriuhan, Anda tahu, lazim terjadi pada
orang-orang yang tidak gemar membaca dan menulis. Membaca dan menulis adalah tindakan
asketis yang memerlukan kesediaan orang untuk memasuki dunia yang hening dan
sunyi serta menjauhi dunia yang riuh.
Kalau itu semua telanjur, dan memang susah sekali mendorong
orang yang tidak suka membaca menjadi suka membaca –sebetulnya sangat susah
mengubah kebiasaan, apa pun jenisnya–, yang masih bisa kita syukuri adalah
kita memiliki pikiran. Salah satu topik yang saya sukai adalah keajaiban
pikiran.
Di India, ada orang sakti yang tidak makan dan minum selama dua
belas tahun. Dia makan dan minum hanya dengan bermeditasi, memfokuskan
pikiran di bawah cahaya matahari pagi serta menjadikan sinar matahari yang
diserap dari keningnya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Saya
bayangkan jika ingin makan rendang, dia hanya perlu berjemur sebentar di
bawah matahari. Demikian pula jika dia perlu makan lontong opor atau makan
semur jengkol.
Dia bukan tukang sulap dan tidak mencari uang dengan
atraksi-atraksi. Dia seorang pertapa, yang menjalani hidup dengan
menenteramkan pikiran dan mencoba menjalani cara hidup yang muskil.
India adalah salah satu pusat keajaiban. Di Sungai Gangga, ada
ritual yang melibatkan dua belas juta lelaki telanjang. Mereka melumuri
sekujur tubuh, entah dengan serbuk kapur entah dengan tepung, dan menceburkan
diri ke sungai. Orang-orang suci dari kalangan mereka memperagakan
gerakan-gerakan ajaib. Salah satunya adalah membungkukkan badan, mengarahkan
mulut ke telapak kaki, kemudian mengisap jempol kaki sendiri.
Itu hanya salah satu cara menghibur diri sendiri –melalui situs
YouTube. Beruntung bahwa sekarang kita bisa mengembara ke mana saja dengan
hanya duduk di depan komputer. Hiburan lain yang masih saya lakukan hingga
sekarang adalah membaca cerita anak-anak. Saya masih senang membaca lagi
Pippi si Kaus Kaki Panjang, misalnya, membaca karya H.C. Andersen, membaca
dongeng-dongeng dari berbagai negara. Saya masih senang membaca
dongeng-dongeng yang dikarang Enid Blyton, pengarang Lima Sekawan yang sangat
populer ketika saya remaja. Lalu, saya tahu bahwa Toni Morrison, pemenang
Nobel Sastra, rupanya juga menulis beberapa cerita anak-anak. Antonio
Skarmeta, penulis bagus dari Cile, juga menulis cerita anak-anak.
Saya membayangkan betapa beruntung anak-anak di negara-negara
lain yang perbukuannya maju serta tradisi membaca dan menulisnya jauh lebih
baik daripada kita. Sejak kecil, mereka dikenalkan dengan nama-nama besar di
dunia sastra. Jika dibandingkan dengan anak-anak di sana, kita sangat
terlambat dalam mengenal sastra dan kita kalah dalam urusan membaca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar