Seberapa
Islamkah Islam ISIS?
Ulil Abshar-Abdalla ; Cendekiawan Muslim
|
KORAN TEMPO, 21 April 2015
Ini guyonan yang sempat beredar di media sosial Arab: kalau Anda tak tahu
benar Islam, dalam pengertian membaca secara mendalam sumber-sumber Islam
klasik, Anda menjadi muslim moderat. Tapi kalau Anda tahu benar, ada dua
kemungkinan, Anda bisa menjadi seperti ISIS, atau muslim kritis seperti Nasr
Hamid Abu Zaid (seorang sarjana Muslim asal Mesir).
Tentu saja ini memang sekadar guyonan, tapi ia menjawab sejumlah
pertanyaan yang menyeruak, kala publik menonton dengan penuh histeria, tapi
juga rasa ingin tahu yang besar, parade kebrutalan yang dilakukan oleh ISIS
di Irak. Apakah ISIS itu Islam atau tidak? Kalau Islam, kenapa begitu brutal?
Apakah Islam seperti itu? Bukankah Islam adalah agama yang membawa rahmat?
Reaksi umum masyarakat Islam, bukan saja di Indonesia, tapi juga
di kawasan dunia yang lain, adalah "This
is not Islam!" Tak mungkin Islam seperti itu. Kita bersyukur bahwa
reaksi umat hampir secara aklamasi menyatakan menolak kebrutalan ISIS sebagai
tindakan yang bisa dibenarkan secara keagamaan. Anda bisa bayangkan jika
reaksinya lain, misalnya, "Yes,
this is Islam!" Reaksi semacam ini tentu akan memberikan dukungan
moral yang besar kepada ISIS, dan akan menambah kepercayaan mereka sebagai
duta dan suara umat Islam di seluruh dunia. Alhamdulillah, kemungkinan yang kedua ini tidak terjadi.
Tapi, jika kita telaah lebih jauh lagi, sebetulnya ada jawaban
kedua, seluruh yang dilakukan ISIS pada dasarnya memiliki dalil dan dasarnya
dalam sumber-sumber otentik Islam. Jawaban kedua ini memang tidak cukup
populer. Sebab-akibatnya secara psikologis bisa menyakitkan umat Islam
sendiri, sekaligus mengkonfirmasi tuduhan kalangan Islamofobia (pembenci Islam)
bahwa Islam adalah agama kekerasan. Tapi banyak kalangan dalam Islam yang
sebetulnya sadar bahwa memang ada dasar-dasar bagi tindakan ISIS dalam
sumber-sumber Islam.
Majalah The Atlantic
edisi Maret tahun ini menurunkan artikel panjang yang ditulis oleh Graeme
Wood, seorang wartawan Kanada. Dengan mengutip Bernard Haykel, seorang ahli
Islam dari Universitas Princeton, AS, Wood menegaskan bahwa Islam ala ISIS
adalah Islam yang otentik, yang memiliki dasarnya dalam korpus Islam klasik.
Meskipun, dalam pandangan Haykel, Islam ala ISIS itu adalah sejenis
anakronisme, karena ingin membangkitkan Islam dari abad ke-7 dan ke-8 dalam
konteks sosial dan historis yang sudah sama sekali berbeda. Bukan saja
membangkitkan secara spirit, tapi juga secara harfiah.
Apa yang dikemukakan oleh Haykel bukan hal yang baru dan aneh.
Seperti sudah saya katakan, kalangan Islam sendiri, terutama mereka yang
sangat akrab dengan teks-teks klasik Islam, tahu benar bahwa apa yang
dikatakan ISIS tak seluruhnya salah dilihat dari sudut otentisitas. Hanya,
pendapat semacam ini memang secara psikologis susah diterima oleh publik
Islam yang umumnya tidak melakukan kajian secara mendalam atas sejarah dan
ajaran Islam dalam sumber-sumber klasik.
Ambil contoh, misalnya, beberapa kebijakan yang diambil oleh
ISIS sekarang. Yang pertama dan paling menonjol, negara khilafah. Semua orang yang
mempelajari kitab-kitab tentang fiqh
al-siyasah (teori politik Islam), seperti Al-Ahkam al-Sulthaniyya karya Al-Mawardi (w. 1058 M, Baghdad),
akan tahu bahwa gagasan tentang negara khilafah itu memang ada
dalam sumber klasik Islam. Gagasan khilafah juga
punya rujukan dalam sebuah hadis yang terkenal riwayat Imam Ahmad (w. 855 M).
Apakah kita bisa mengatakan bahwa negara khilafah adalah murni
"fabrikasi" atau buatan ISIS tanpa dasar-dasar dalam sumber otentik
Islam? Tentu saja tidak. Dasarnya ada.
Yang lebih fantastis lagi adalah hukuman yang diterapkan ISIS
kepada tawanan perang muslim asal Yordania bernama Muaz Kasasbeh. Ia dihukum
dengan cara ditaruh dalam sebuah sangkar besi dan dibakar di depan
publik-suatu tontonan surealistis yang hanya bisa kita lihat di film-film
Hollywood tentang era Eropa Abad Pertengahan.
Pertanyaannya, apakah hukuman yang brutal semacam ini ada
dasarnya dalam Islam? Jawaban ISIS, ada. Mereka sudah memiliki tim fatwa yang
menyediakan dalil khusus untuk setiap tindakan mereka yang akan dianggap oleh
publik sebagai "un-fathomable
brutality". Tim fatwa ISIS mengutip sebuah keterangan dari kitab
klasik yang juga populer di kalangan pesantren NU, Fathul Bari. Di sana,
dikatakan bahwa menurut mazhab Hanafi dan
Syafii (mazhab yang banyak diikuti di Indonesia dan Asia Tenggara), hukum
bakar tubuh dibolehkan dalam Islam.
Joke yang saya kutip di pembukaan esai ini, untuk sebagian, ada
benarnya. Mereka yang tak membaca secara mendalam sumber-sumber Islam klasik,
akan menjadi Muslim moderat: dalam pengertian, dia tak akan bisa membenarkan
tindakan ISIS dan memandangnya sebagai hal yang bukan Islam. Pandangan mereka
ini bukan didasari oleh landasan yang kokoh selain ketidaktahuan saja. Joke
itu ada benarnya, walaupun tidak seluruhnya.
Yang membaca secara mendalam sumber Islam klasik, bisa
berhadapan dengan dua kemungkinan, dia menjadi radikal seperti ISIS dan
menganggap bahwa semua hal yang tertulis di Al-Quran, hadis, dan
sumber-sumber klasik lainnya, harus diterapkan mentah-mentah di zaman modern
sekarang, tanpa penafsiran ulang.
Kemungkinan kedua, dia tak mengingkari bahwa dalam sumber-sumber
Islam sendiri memang ada hal-hal "antik" seperti yang dipraktekkan
oleh ISIS tersebut, tapi hal semacam itu tak bisa direplikasi dan dibawa ke
dalam kehidupan modern tanpa melalui penafsiran ulang secara kontekstual.
Sebab, Islam adalah agama yang dinamis dan
kontekstual. Menerapkan ajaran Islam haruslah memperhatikan konteks. Jika
tidak, kita bisa terjatuh ke lubang ISIS.
Saya ingin tambahkan kemungkinan lain, seseorang bisa membaca
secara mendalam sumber-sumber Islam klasik, dan dia menjadi muslim moderat
seperti yang kita lihat pada kiai-kiai di seluruh pesantren NU sekarang ini.
Mereka mempelajari semua yang dikemukakan oleh "juru fatwa" ISIS
itu. Tapi, kiai-kiai itu tetap tak bisa membenarkan praktek ISIS. Sebab,
penerapan Islam tetap harus melalui "hikmah" atau local wisdom. Jika tidak, citra Islam
sendiri yang akan tercoreng. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar