Pidato
Megawati, Apa yang Salah?
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 21 April 2015
Gaung Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali
bukan terpilihnya secara aklamasi Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum,
melainkan pidatonya yang menggelegar, tegas tetapi disertai dengan beberapa
kalimat bersayap. Berbagai pernyataannya mencerminkan kegerahan Megawati
terhadap praktik politik kekinian dan hubungannya yang kurang harmonis dengan
Presiden Joko Widodo, memicu debat publik yang mengarah pada PDI-P seakan
menjadi musuh bersama. Pertanyaan mendasar, apa yang salah dari pidato itu?
Setelah mencermati teks pidato, beberapa isu spektakuler dan
memantik polemik antara lain sebagai berikut. Pertama, pernyataan kader
partai adalah petugas partai. Penegasan tersebut dapat dibenarkan kalau
kinerja parpol telah memenuhi kaidah-kaidah yang merupakan alasan mendasar
(raison d'etre) eksistensi parpol sebagai institusi dan pilar demokrasi.
Dalil utamanya antara lain (1) ideologi parpol diterjemahkan dalam kebijakan
yang memihak rakyat, (2) demokratisasi internal dan prinsip meritokratik
rekrutmen kader, (3) mendidik kader yang berwatak, serta (4) terampil
mengelola aspirasi rakyat sebagai basis kebijakan publik.
Pemenuhan persyaratan primer itu akan menghasilkan atmosfer
politik yang memuliakan kekuasaan dan rasa hormat publik terhadap penguasa.
Dalam konteks ini, sebutan petugas partai terhadap para kadernya bermuatan
kehormatan. Mereka adalah abdi rakyat yang mewakafkan dirinya berjuang
mewujudkan kesejahteraan umum.
Namun, apabila persyaratan itu jauh dari pakem dan parpol hanya
mirip kerumunan pemburu kekuasaan yang menghalalkan cara mencapai tujuan,
ditambah lagi parpol terperangkap dalam patronase, oligarki, politik
kekerabatan, feodalisme, dan sebangsanya, martabat parpol sangat rendah di
mata publik; akan menggiring persepsi publik, sebutan petugas partai
diasosiasikan sebagai pesuruh, jongos, kuda tunggangan, atau sekadar bidak
catur para elitenya.
Kedua, partai dianggap hanya ornamen demokrasi, tunggangan
kekuasaan politik. Rasa waswas itu sebenarnya merupakan sinyal awal bagi
elite PDI-P dan publik mengenai urgensi reformasi parpol. Parpol harus
dikembalikan pada jati diri sebagai "kawah candradimuka", tempat
kader parpol digembleng agar tangguh dalam mengemban amanat rakyat yang
mulia, bukan tempat para penikmat kekuasaan.
Ketiga, kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat dan setia mutlak
kepada konstitusi. Wanti-wanti yang amat bijak merupakan repetisi penegasan
pada Pemilu Presiden 2014 agar Jokowi kalau menjadi presiden hanya tunduk
kepada konstitusi dan kehendak rakyat. Pesan itu juga mengandung harapan,
apabila kebijakan publik disusupi kepentingan subyektif, bahkan jika berasal
dari ketua umum dari partai pendukung (Koalisi Indonesia Hebat) sekalipun,
apabila tidak sejalan dengan kehendak rakyat, Jokowi harus berani menolak.
Penegasan Megawati lainnya dalam pidato tersebut agar kemenangan
PDI-P dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 harus menjadi
kemenangan rakyat seluruhnya. Tampaknya Megawati ingin memastikan agar
setelah Kongres Bali kader-kader PDI-P tidak mengecam Jokowi secara terbuka.
Ia khawatir, Jokowi akan mengalihkan basis politik pada Koalisi Merah Putih
(KMP). Pragmatisme membuktikan antisipasi itu.
Misalnya, mulusnya penyusunan RUU APBN Perubahan dan yang lebih
spektakuler dukungan penuh KMP terhadap kebijakan Jokowi mengenai melantik
atau tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sementara itu, PDI-P kukuh
mendukung pelantikan Budi Gunawan. Oleh karena itu, penguatan relasi antara
Jokowi dan PDI-P setelah Kongres Bali adalah keniscayaan.
Ketiga, isu tentang penumpang gelap, menyalip di tikungan,
mengalami banyak pengkhianatan, bahkan berkali-kali ditusuk dari belakang.
Sebagai ketua umum dari partai yang selalu berkiblat pada penderitaan wong
cilik, Megawati tentu banyak mengalami berbagai siasat dan kasak-kusuk lawan
politiknya yang menjengkelkan. Bahkan, mungkin beberapa kadernya membuat ia
repot karena mereka melakukan manuver politik yang hanya mementingkan
kedudukan tanpa memedulikan kepantasan berpolitik. Oleh karena itu,
pernyataan tersebut harus mendorong PDI-P melakukan konsolidasi internal dan
merapatkan barisan sehingga tidak kedodoran dalam merespons dinamika internal
dan eksternal. Selain itu, PDI-P juga harus mampu melakukan pendidikan agar
menghasilkan kader yang berkarakter, bermartabat, dan mempunyai keterampilan
berpolitik sehingga sebagai partai yang berkuasa tidak menjadi bulan-bulanan
lawan politiknya.
Oleh karena itu, memaknai pidato Megawati tidak dapat hanya
melalui cara pandang benar atau salah. Pidato seyogianya diletakkan dalam
narasi politik yang lebih besar. Dalam perspektif tersebut, pidato Megawati
memberikan kesan kuat bahwa ia menekankan "apa dan bagaimana seharusnya"
berpolitik secara bermartabat. Sementara itu, publik menilai pidatonya dalam
konteks kekinian dan praktik politik tidak terpuji para kader parpol dewasa
ini.
Publik berharap, pidato Megawati yang sangat paham bagaimana
seharusnya berpolitik yang elok, tidak hanya memicu kegaduhan politik tanpa
roh, tetapi menjadi momentum bagi PDI-P memelopori penataan kehidupan
kepartaian sesuai pakemnya sehingga parpol jadi wahana menempa generasi muda
menjadi pejuang dan pembela kepentingan wong cilik. Semua itu karena Megawati
sangat tahu bagaimana berpolitik yang bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar