Ketegasan
Lincoln Pelajaran Demokrasi yang Mahal
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 27 April 2015
MENJADI Amerika yang
hebat seperti sekarang ternyata juga tidak mudah. Bahkan, ketika negara itu
sudah berumur 90 tahun (tahun ini negara kita berumur 70 tahun) masih
mengalami guncangan yang nyaris membuat semuanya berantakan: perang sipil.
Itu terjadi gara-gara
rakyat di tujuh negara bagian di wilayah selatan tidak puas atas kemenangan
calon presiden Abraham Lincoln. Misi yang dibawa calon presiden itu dianggap
tidak sejalan dengan aspirasi di tujuh negara bagian tersebut. Mereka
menginginkan perbudakan tetap diperbolehkan. Sedang Lincoln sejak kampanye
ingin mengakhiri perbudakan.
Waktu itu calon
presidennya empat orang. Lincoln mendapat suara 1.866.000. Calon berikutnya
mendapat 1.376.000 suara. Sedang dua lainnya mendapat 850.000 dan 560.000-an
suara. Total pemilih baru 3.600.000-an. Pada 1861 itu, saat republik sudah
berumur 90 tahun, perempuan masih belum boleh memiliki hak pilih. Demikian
juga warga kulit hitam. Penduduk di 14 negara bagian juga belum punya hak
pilih. Pada tahun itu, mereka belum menjadi negara bagian. Status Kansas,
Colorado, Nevada, sampai Washington masih teritori.
Perjalanan menjadi
sebuah negara demokrasi seperti sekarang ternyata tidak secepat yang kita
perkirakan. Begitu bencinya terhadap presiden terpilih, tujuh negara bagian
tersebut menyatakan memisahkan diri dari Amerika. Mereka membentuk negara
sendiri dengan nama Confederate States
of America atau disingkat Confederacy.
Mereka juga memiliki bendera nasional tersendiri: merah disilang biru dengan
bintang putih sebanyak tujuh di silang warna biru itu. Tapi, bendera tersebut
kemudian diganti dan diganti lagi sampai tiga kali.
Bagi wilayah selatan,
budak itu penting. Penghasilan pokok wilayah tersebut berasal dari kapas.
Kebun kapas memerlukan banyak buruh. Tanpa buruh, perkebunan itu bisa lumpuh.
Tapi, karena upah buruh itu amat murah, persaingan ekonomi menjadi tidak
fair. Wilayah utara tidak menganut sistem perbudakan karena perbudakan
dianggap melanggar moralitas dan ajaran agama.
Untuk melihat gambaran
itu, minggu lalu saya ke Nashville di Tennessee. Saya ingin tahu mansion
(rumah) presiden ketujuh Amerika yang dikelilingi perkebunan kapas seluas 150
hektare. Kini perkebunan tersebut menjadi taman hijau yang mengelilingi
mansion-nya. Menurut catatan di situ, Jackson memiliki 300 budak.
Jackson kawin dengan
seorang janda. Tapi, karena sang janda belum punya surat cerai, perkawinan
itu diperbarui beberapa tahun kemudian. Dia pernah marah kepada mantan suami
itu karena selalu mem-bully-nya.
Jackson menulis surat, menantangnya untuk duel adu tembak. Meski lawannya
dikenal sebagai jago tembak, Jackson minta dia menembak lebih dulu. Tembakan
itu mengenai dada Jackson, tapi tidak membuatnya roboh. Giliran Jackson
menembaknya: tewas.
Tujuh negara bagian di
wilayah selatan (South Carolina, Florida, Mississippi, Alabama, Georgia,
Texas, dan Louisiana) seperti itu semua. Karena perbudakan dilarang, mereka
pilih mendirikan negara baru. Inisiatornya South Carolina. Proklamasi itu
dilakukan setelah Lincoln terpilih, tapi sebelum dilantik.
Bahkan, ketika
presiden terpilih itu dalam perjalanan menuju tempat pelantikan, seseorang
berusaha membunuhnya. Waktu itu perjalanan kereta api dari kampungnya di
Illinois ke Washington sudah tiba di Baltimore, tinggal satu jam lagi sampai
Washington DC. Untuk keselamatannya, sisa perjalanan itu dilakukan secara
rahasia.
Tapi, Lincoln tidak
gentar. ”Saya pilih mati daripada berkompromi dengan mereka,” ujar Lincoln
dalam satu pidato waktu itu.
Separatis di selatan
itu dia nilai melanggar konstitusi dan harus dihadapi dengan tegas. Tidak ada
negosiasi dan tidak ada kompromi. Maka, ketika tentara Confederacy mulai menyerang satu kota perbatasan di wilayah Union (istilah untuk wilayah Amerika
yang tidak memisahkan diri), Lincoln mengerahkan pasukan habis-habisan.
Terjadilah perang
sipil yang berlarut. Selama empat tahun. Korban luar biasa. Mencapai hampir
1,5 persen dari jumlah penduduk. Amerika ternyata pernah menempuh jalan yang
begitu mahal untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya. ”Kalau sekarang, 1,5
persen itu berarti 1,5 juta orang,” ujar ahli sejarah di Indiana yang saya
ajak ngobrol bulan lalu.
Pada akhir masa
jabatannya, popularitas Lincoln benar-benar merosot. Dia sendiri merasa tidak
akan terpilih lagi. Sebulan sebelum pilpres, Lincoln seperti pasrah akan
nasibnya, tapi tidak pasrah mengenai sikapnya terhadap para separatis.
Bahkan, dia menegaskan akan meningkatkan serangan ke wilayah Confederacy di
sisa masa jabatannya yang pendek. Termasuk akan memanfaatkan masa empat bulan
antara terpilihnya presiden baru dan pelantikannya. Pokoknya, perang harus
berakhir sebelum dia secara resmi turun dari Gedung Putih. Dan harus menang.
Peningkatan serangan
itu membuat tentara Confederacy kian lemah. Lincoln ternyata kembali terpilih
dengan kemenangan telak. Maka, kemenangan tentara Union menjadi kian nyata.
Kemenangan kembali
Lincoln dan gelagat Confederacy yang akan kalah membuat seseorang yang sangat
benci Lincoln berbuat nekat. Tepat sebulan setelah Lincoln dilantik untuk
masa jabatan kedua, orang itu, John Wilkes Booth, menembaknya dari jarak
dekat di bagian belakang kepala Lincoln. Tewas.
Malam itu Lincoln dan
Wakil Presiden Johnson diagendakan nonton bersama di sebuah teater di
Washington. Booth tahu tentang agenda itu. Dia pun ikut nonton dengan tujuan
membunuh dua orang tersebut. Dia agak kecewa karena di detik terakhir, wakil
presiden batal ikut nonton karena harus pergi ke rumah putranya. Saat
pengawal bersenjata ingin minum kopi dengan cara meninggalkan balkon khusus
tempat presiden menonton, Booth menyelinap. Dor! Lincoln dilarikan ke rumah
sakit, tapi tidak tertolong.
Booth melarikan diri.
Dia bersembunyi di daerah pertanian di Virginia. Ketika 14 hari kemudian
diringkus, dia melawan. Lalu ditembak di daerah pertanian itu. Mati.
Lincoln sempat tahu
bahwa Confederacy sudah menyerah
total pada 6 April 1865, hanya seminggu sebelum penembakan itu terjadi.
Rupanya, Booth sangat terpukul oleh penyerahan diri panglima Confederacy tersebut.
Ahli sejarah sepakat bahwa Lincoln adalah satu di antara
tiga presiden terhebat yang dimiliki Amerika Serikat. Dia tegas dan menang.
Bukan tegas tapi kalah. Atau menang tapi tidak tegas. Dia tercatat sebagai
presiden yang mengatasi tiga krisis sekaligus: krisis moral (soal
perbudakan), krisis konstitusi (soal pemisahan diri), dan krisis politik
(melakukan manuver politik untuk berkelit dari kompromi).
Lincoln sebenarnya
anak desa yang tidak memiliki pendidikan formal. Dia lahir di pedalaman
Kentucky, lalu pindah ke pedalaman Illinois. Di sini, Lincoln muda jadi
tukang belah kayu untuk membuat bantalan rel kereta api. Kemudian menjadi
pengacara. Lalu menjadi politikus lokal. Setelah menjadi politikus nasional,
akhirnya dia mencalonkan diri sebagai presiden.
Ketika berkampanye di
Chicago, di wilayahnya, seorang gadis berumur sebelas tahun sangat bersimpati
kepadanya. Gadis itu begitu iba saat melihat tubuh Lincoln yang kerempeng dan
wajahnya yang tirus. ”Baiknya Anda memelihara jenggot. Agar tidak kelihatan
tirus,” ujar gadis itu. Setelah dilantik menjadi presiden, Lincoln
benar-benar memelihara jenggot. Sampai akhir hayatnya di usia 56 tahun.
Demokrasi ternyata
begitu mahal, untuk Amerika sekalipun. Tapi, sejarah mencatat, segala
pengorbanan itu membuahkan hasil. Amerika menjadi segara superpower seperti
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar